bosscha.jpg

100 Tahun Bosscha: Mengintip Rahasia Sang Pencipta

Fasilitas Berharga Ilmu Astronomi di Indonesia

Saat kuliah, jurusan saya berada di gedung yang sama dengan Program Studi Astronomi. Ilmu langit kami menyebutnya. Karena yang dipelajari jauh berada di atas sana dengan segala rahasianya. Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), yang merupakan satu-satunya jurusan astronomi di Indonesia, memiliki aset yang sangat berharga yaitu Observatorium Bosscha, yang berada di Lembang.

Mamah mungkin mengenalnya sebagai salah satu landmark Kabupaten Bandung, yang pernah ditampilkan dalam film Petualangan Sherina yang tayang pada sekitar tahun 2001.

Di film Petualangan Sherina (2001), Sherina dan Saddam bersembunyi di dalam Bosscha dari para penjahat yang menyulik Saddam. Karena film musikal tidak lupa sambil sembunyi, sambil nyanyi (Sumber: vice.com)

Di tahun 2023 ini, observatorium Bosscha genap berusia 100 tahun, lho Mah. Sudah tua juga ya. Fasilitas pengamatan langit ini diprakarsai pembangunannya oleh astronom berkebangsaan Belanda bernama Joan Voute, bekerja sama dengan seorang pengusaha perkebunan teh Hindia Belanda, yang kaya raya, bernama, Karel Albert Rudolf Bosscha. Walaupun profesinya pengusaha, Karel Bosscha, yang namanya diabadikan sebagai nama observatorium ini, memiliki ketertarikan pada ilmu pengetahuan, terutama astronomi.

Perancang Kubah Bosscha yang ikonik adalah seorang arsitek bernama C. P. Wolf Schoemacher, yang juga adalah pengajar di Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB). Kubah dengan diameter 14.5 meter ini, memiliki sistem mekanik yang memungkinkannya untuk diputar ke segala arah mengikuti arah teropong. Teknologi yang dipakai merupakan yang tercanggih di masa tersebut.

Gagasan mengnai pembangunan observatorium ini dicetuskan Joan Voute karena di zaman itu belum ada observatorium modern yang berada di belahan bumi selatan. Kebanyakan observatorium modern saat itu, berlokasi di benua eropa atau amerika yang notabene berada di belahan bumi bagian utara. Sehingga langit di atas bumi bagian selatan saat itu masih menjadi misteri, karena tidak dikenal.

Pembangunan observatorium Bosscha diawali dengan pembentukan Perhimpunan Bintang Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Sterrenkundige Vereenigning, disingkat NISV) pada tahun 1923. Bintang yang dimaksud di sini tentu saja benda langit ya, bukan para artis. Perhimpunan ini kemudian menjadi wadah para pengusaha pencinta astronomi dan juga ilmuwan untuk membangun observatorium pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang sangat canggih pada zamannya. Saking canggihnya, teknologi yang ada di observatorium ini, bahkan masih relevan digunakan sampai sekarang lho!

Pembangunan observatorium berlangsung selama 5 tahun sampai akhirnya diresmikan pada tahun 1928. Setelah perang kemerdekaan Indonesia, di tahun 1951, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kepemilikan observatorium ini pada pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian menunjuk Institut Teknologi Bandung sebagai pengelolanya.

Salah Satu Observatorium Terunik

Observatorium Bosscha, dengan kubah khasnya yang bisa diputar, konon sering didapuk sebagai salah satu observatorium terunik karena lokasinya. Berada tepat di garis khatulistiwa, konon para pengamat di observatorium tersebut bisa memantau posisi langit bagian utara (northern hemisphere) sekaligus langit bagian selatan (southern hemisphere). Para ilmuwan dari luar negeri sering mengunjungi observatorium ini khusus untuk melihat fenomena tersebut.

Langit di atas wilayah bagian selatan bumi yang lebih banyak terdiri atas perairan, dulunya disebut sebagai Terra incognita atau wilayah tak dikenal. Keberadaan observatorium Bosscha membantu para peneliti untuk mempelajari langit di wilayah tersebut.

Saat ini di observatorium Bosscha terdapat 12 teleskop bintang, dengan yang terbesar bernama Teleskop Refraktor Ganda Zeiss. Mamah mungkin pernah mendengar merk Carl Zeiss, saat membeli telepon genggam ataupun kamera. Perusahaan yang membuatnya adalah perusahaan Jerman yang sama yang membuat lensa teleskop yang ada di Bosscha. Di masa awal berdirinya, teleskop ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia.

Teleskop Refraktor Ganda Zeiss merupakan teleskop bintang tercanggih pada masanya. Saat ini, teleskop yang telah berusia 100 tahun ini sudah mulai tertinggal dalam hal teknologi. Wilayah penjelajahan langit dengan teleskop ini sangat terbatas dibandingkan dengan teleskop bintang yang ada sekarang ini.

Sebelum pandemi, observatorium Bosscha sering menjadi tempat kunjungan, terutama oleh para pelajar. Di sana, para pengunjung bisa sejenak masuk ke dunia “lain”, yaitu dunia luar angkasa. Saya sendiri belum pernah berkunjung ke Bosscha nih Mah, tapi kata yang sudah pernah berkunjung, berada di sana bisa membuat kita jadi berpikir, betapa kecilnya kita di alam semesta ini. Karena teleskop yang terlihat sangat besar saja, ternyata hanya bisa mengamati sebagian kecil dari alam semesta ini.

Masalah Polusi Udara

Masalah pelik yang dihadapi oleh Observatorium Bosscha sekarang adalah masalah polusi cahaya. Dalam perkembangannya yang sangat pesat kota Bandung menjadi sangat penuh cahaya artifisial. Hal ini membuat pengamatan bintang dari Bosscha, semakin hari semakin jelek kualitasnya. Karena cahaya dari bintang-bintang nun jauh di sana terhalang cahaya kota. Padahal pengamatan bintang dan benda langit lainnya sangat tergantung pada pancaran cahaya dan sinar di sekitarnya. Sekarang boro-boro melihat cahaya galaksi far far away lain nun jauh disana, lensa teleskop mungkin sudah terbanjiri pancaran lampu mall Paris Van Java 🙂

Oleh karena itu, semenjak beberapa tahun yang lalu, pemerintah Indonesia melalui Badan Antariksa Indonesia, mulai menjajaki kemungkinan pembangunan observatorium di tempat yang lebih terpencil, seperti Nusa Tenggara Timur. Hal ini diharuskan agar pengamatan langit di daerah khatulistiwa terus bisa dilakukan.

Pada tahun 2004 observatorium Bosscha ditetapkan sebagai benda cagar budaya nasional, dan pada tahun 2006 sebagai objek vital negara yang harus dilindungi keberadaannya. Sementara itu, wilayah berdirinya Bosscha sendiri dalam waktu dekat, akan dijadikan kawasan cagar budaya. Jadi meskipun teropong-teropong bintang di Bosscha makin lama makin tidak bisa digunakan karena terkendala teknologi, kawasan Bosscha masih bisa dilestarikan sebagai bukti sejarah kemajuan ilmu astronomi di Indonesia.

Aktivitas di Bosscha lebih aktif dijalankan saat malam, ketika langit gelap pekat. Sayangnya sekarang langit di atas lembang sudah jarang hitam pekat, karena polusi cahaya dari kota Bandung. (Sumber: detik.com)

Penutup

Ilmu pengetahuan terus berkembang pesat. Sayangnya di Indonesia, bahkan setelah hampir 78 tahun merdeka, ilmu pengetahuan masih menjadi salah satu hal yang kurang diperhatikan. Apalagi ilmu-ilmu alam murni seperti astronomi yang acapkali hanya dipandang sebelah mata. Fasilitas-fasilitas ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia, kebanyakan merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang makin lama semakin obsolete dan tertinggal jauh dari dunia. Sayangnya upaya-upaya untuk memajukan fasilitas-fasilitas tersebut hanya sebatas “melindungi” saja. Bukan memperbaharui. Sehingga ilmu pengetahuan di Indonesia seperti jalan di tempat saja.

Saya sempat memperhatikan kasus dimana pengelola Bosscha tersinggung hingga membantah mati-matian dengan penampilan “objek” yang mirip Bosscha di film Pengabdi Setan 2: Communion. Alasannya takut Bosscha akan diidentikkan dengan hal klenik. Kalau menurut saya pribadi, hoax maupun tidak hoax, viralnya “Bosscha” di film tersebut justru harusnya dijadikan momentum bagi pengelola Bosscha untuk menarik awareness masyarakat mengenai Bosscha. Tidak semua hal yang viarl itu buruk. Siapa tau jika masyarakat menjadi perhatian, dana dan dukungan bisa mengalir dengan deras untuk pembangunan fasilitas pengamatan langit lainnya.

Thirty Meter Telescope (TMT), merupakan salah satu teleskop bintang terbesar dan termodern di dunia, direncanakan dibangun di Pegunungan Mauna Kea Hawaii. Seperti namanya teleskop ini memiliki diameter 30 meter. Jauh lebih besar daripada teleskop dengan diameter 3.5 meter yang akan dibangun di observatorium pengganti Bosscha di Nusa Tenggara Timur.

Siapa tau dengan viralnya Bosscha ada anak-anak yang terinspirasi menjadi ilmuwan, walaupun pada awalnya bukan itu fokus mereka. Bagaimanapun pada awalnya Bosscha dibangun atas dukungan para pecinta bintang, yang tidak melulu adalah seorang ilmuwan. Semoga kedepannya fasilitas-fasilitas ilmu pengetahuan di Indonesia bisa belajar dari NASA (National Aeronautics and Space Administration USA) yang mengizinkan hampir semua pihak untuk menggunakan namanya di banyak karya. Akhirnya nama NASA sendiri menjadi sangat populer dan banyak orang terinpirasi karenanya. Menjadi seorang ilmuwan, donatur, dan sebagainya. Hal ini pada akhirnya membuat NASA menjadi salah satu lembaga ilmu pengetahuan paling maju di dunia.

Demikian tulisan saya bulan ini Mamah. Sudah lama sekali saya tidak menulis di sini. Terus jaga kesehatan, dan jangan lupa jika sedang berada di luar rumah saat malam hari, tengok ke atas, dan perhatikan bintang-bintang yang mungkin sebenarnya adalah galaksi. Mungkin bisa dapat inspirasi untuk menulis Tantangan Blogging MGN bulan ini 🙂

Restu Eka Pratiwi
Restu Eka Pratiwi
Articles: 32

4 Comments

  1. Seumur-umur belom pernah ke sini. Padahal pengen banget. Pengen juga ngajakin anak ke sini biar tahu ‘megahnya’ ilmu astronomi, tapi kenapa ya waktu itu mau ke sana, kok disuruh rombongan segala. Ribet amat.

    Saya yakin, meskipun Bosscha tidak tampil di “Petualangan Sherina” dan “Pengabdi Setan 2”, banyak anak-anak (dan orangtuanya) yang pengen berkunjung ke sini.
    ***
    Btw, ku ngakak sih pas nonton film horor klenik itu, ada banyak mayat di Bosscha. Ya ampuuun. Wkwkwkwk.

  2. Kepingin banget ke sini aku tuh … Kalo di Jakarta kan pernah ajak Teteh ke Planetarium.
    Oya … Katanya harus rombongan ya teh gak sendiri gitu ke Bosscha?
    Trus harus malam kah kalo mau ngintip langit? Kebayang atuh di sana mala-malam gitu he3 …

  3. […] Umur memang tidak ada yang tahu. Jika sudah takdir, tak ada satupun yang bisa mencegahnya. Tapi waktu tak bisa diulang dan penyesalan akan selamanya tertinggal di dalam hati. Maka dari itu tolong tetap awasi anak-anak, walaupun sedang rileks liburan. Minimal jangan biarkan anak dibawah 10 tahun berkeliaran/berenang sendirian tanpa pengawasan. Walaupun itu di kolam renang hotel dengan watch guard sekalipun. Bahkan ketika si anak sudah jago berenang. Karena kalau ramai, watch guard juga tidak bisa mengawasi semuanya dan tragedi tenggelam bisa terjadi pada orang yang sangat jago berenang. […]

Tinggalkan Balasan ke dewi laily purnamasariCancel Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *