Bahasa Indonesia, Pemersatu Kita

Hallo Mamah, selamat hari Sumpah Pemuda!

Sumpah Pemuda

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Hari ini kita semua memperingati hari Sumpah Pemuda, yang jatuh pada tanggal 28 Oktober. Sumpah Pemuda merupakan salah satu momen besar di dalam sejarah bangsa Indonesia, yang menjadi awal dalam kesadaran berbangsa.

Sumpah Pemuda ini dibacakan dalam acara Kongres Pemuda II, tanggal 28 Oktober 1928 yang dihadiri oleh kaum muda dari lintas suku, agama, dan daerah. Peristiwa yang bersejarah ini seperti ini memeteraikan sebuah keyakinan, bahwa perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata dapat disatukan di dalam paham Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi satu jua”. 

Diorama suasana Kongres Pemuda II (Foto: kompas)

Di dalam Kongres Pemuda II ini, lagu Indonesia Raya juga dinyanyikan untuk pertama kalinya. Semangat dan rasa persatuan yang tercipta di antara para pemuda ini lah yang kemudian melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 tahun kemudian.

Untuk kita yang sehari-hari menikmati hidup nyaman dan bebas di dalam keadaan negara yang merdeka, saya pikir akan sulit untuk menyadari apa pentingnya Sumpah Pemuda ini. Berbelas tahun menghabiskan masa sekolah dan setiap kali ada perayaan Sumpah Pemuda, saya pun tidak bisa terlalu memahami mengapa janji untuk bersatu itu menjadi sesuatu yang sangat penting.

Jarang ada orang Indonesia yang tinggal di Indonesia dan merasa bisa berbahasa Indonesia itu istimewa. Jarang terpikir bahwa ternyata menguasai bahasa Indonesia dan menggunakannya merupakan sesuatu yang penting. Kita bicara menggunakan bahasa Indonesia setiap hari di rumah, di sekolah, di luar, di mana pun, apa istimewanya?

Saya pun berpikir demikian sampai saya merantau dan tinggal di negeri orang. Tinggal di negara yang berbahasa Inggris, bahasa Indonesia hanya saya gunakan dengan sesama orang Indonesia. Waktu itu karena saya cukup menguasai bahasa Inggris, saya masih tidak terlalu pusing dengan masalah bahasa.

Tetapi ketika hidup membawa saya berlayar lebih jauh ke Eropa, saya pun terdampar di sebuah negara yang menggunakan bahasa yang sangat asing untuk saya: bahasa Belanda. Untungnya bahasa Belanda masih menggunakan aksara latin dan relatif mudah untuk dilafalkan. Itupun rasanya hidup menjadi sangat sepi ketika mengkomunikasikan hal-hal yang mudah pun menjadi sulit. Di situlah saya sadar, saya bukan penduduk lokal dan hanyalah seorang pendatang. Saya sadar bahwa saya adalah orang asing di sebuah negara dan bangsa milik orang lain.

Kalau sehari-hari harus membaca tulisan yang kita tidak mengerti, baru terasa bahwa kita bukan penduduk lokal. Rindu Bahasa Indonesia! (Foto: istockphoto)

Bahasa Indonesia sebagai identitas

Barulah terasa sekarang bahwa bahasa yang saya kuasai bisa menjadi identitas diri saya. Ketika kami sedang berjalan di keramaian kota dan tiba-tiba ada terdengar sayup-sayup orang Indonesia, otomatis kepala langsung menoleh dan melirik-lirik mencari wajah-wajah yang familiar. Di balik tebalnya jaket, ada sebuah wajah dengan kulit sawo matang dan sekali lagi mendengar mereka berbicara, ada rasa hangat mengalir di hati dan berkata: “Oh, itu orang kita”.

Lagi di bus dan tiba-tiba dengar orang lain ngobrol dalam Bahasa Indonesia bisa bikin senyum-senyum. (Foto: istockphoto)

Atau ketika kami yang sedang asyik mengobrol dan tiba-tiba ada orang lain menyapa, “Kamu orang Indonesia ya?” Dan ketika saya bertanya bagaimana dia tahu, dia menjawab, “Dari bahasamu”. Seperti sebuah seragam, atau sebuah label, bahasa bisa menjadi identitas diri kita.

Bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa

Rasa familiar yang kita dapatkan ketika sedang berada di rantau dan mendengar orang lain berkata-kata dalam bahasa kita – itu adalah salah satu perasaan yang membuat kita merasa satu, merasa ada persamaan dengan orang itu. Otomatis ada perasaan senang bisa bertemu sesama orang Indonesia, atau ada perasaan aman karena merasa tidak asing sendirian.

Meskipun pengalaman bertemu orang Indonesia secara tidak sengaja di jalan ini kebanyakan tidak berlanjut di dalam bentuk pertemanan, tetapi tetap saja, bertemu dengan sesama anak bangsa itu membawa perasaan senang.

Tentu saja hal ini sulit dibayangkan buat kebanyakan dari kita di zaman sekarang. Tetapi coba bayangkan hampir 100 tahun yang lalu di saat Sumpah Pemuda dicetuskan, perasaan saya yang terasing karena tidak berbahasa yang sama dengan orang lain itu pasti banyak dirasakan sesama pemuda Indonesia yang datang dari tempat yang berbeda-beda.

Nusantara yang terdiri atas puluhan bahkan ratusan atau ribuan pulau, dan banyaknya suku yang berbeda, yang masing-masing punya ciri khas dan budayanya sendiri, dan penduduk mereka yang sangat kental menjunjung kesukuannya. (Buktinya, sampai tahun 2000an, saya rasa mayoritas orang Indonesia masih lebih nyaman kalau anaknya yang sudah dewasa menikah dengan orang yang datang dari suku yang sama).

Coba para Mamah bayangkan, di saat bangsa lain masih menjajah bangsa kita, para pemuda ini menjadi perwakilan rakyat yang sudah gerah dengan intimidasi orang Belanda. Berulang kali mereka berusaha membebaskan diri dengan perang-perang lokal di berbagai daerah. Tetapi para pemuda ini tahu bahwa harus ada sebuah kesatuan sebagai sebuah negara untuk dapat mewujudkan kemerdekaan yang resmi dan diakui secara internasional. Dan bagaimana mereka bisa bersatu, bila tidak ada pemersatunya?

Untunglah teman-teman dari Jawa Tengah dan Timur tidak ngotot hanya menulis dalam aksara Jawa, atau orang Sunda ngotot hanya berbahasa Sunda. Untung kita semua bisa berbicara dengan satu bahasa. (Foto: Suara Jatim)

Di situlah bahasa Indonesia, yang bagi kita adalah sesuatu yang sudah terasa biasa saja, diangkat dan digunakan sebagai ikrar, bahwa inilah salah satu hal yang mempersatukan kita: karena kita berbahasa yang sama, Bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia, pemersatu di era globalisasi

Di masa ini, manusia bisa berkomunikasi dengan mudah meskipun terpisah di lain benua. Dan kita pun bisa dengan mudah menemukan atau membentuk sebuah komunitas meskipun tinggal di tempat-tempat yang berbeda.

Salah satu komunitas yang saya temukan adalah Mamah Gajah Ngeblog ini. Meskipun pemersatu utama adalah fakta bahwa kita semua pernah berkuliah di Institut Cap Gajah, tetapi salah satu faktor pemersatu lainnya adalah bahwa kita semua menggunakan bahasa yang sama: Bahasa Indonesia.

Mamah MGN yang tinggal di Thailand, Korea Selatan, Jerman, Perancis dan Belanda, atau di Malaysia dan masih banyak negara lain lagi… Mamah-mamah ini saya yakin semua merasa bahagia, dan lega, karena dengan adanya MGN mereka bisa dengan bebas mengekspresikan diri mereka di dalam bahasa Indonesia.

Pasti ada banyak komunitas menulis lain yang juga bisa membantu di dalam belajar dan memberikan dorongan untuk lebih produktif, tetapi kenyataan bahwa kita menggunakan bahasa yang sama, yaitu Bahasa Indonesia, membuat kita semua merasa bahwa kita satu keluarga. 

Berbincang-bincang di whatsapp group maupun menuliskan tantangan bulanan, atau membaca dan menuliskan tulisan di website MGN – semua itu kita lakukan menggunakan Bahasa Indonesia. Dan melalui penggunaan bahasa yang sama ini, kita merasa yakin bisa dengan mudah menyampaikan pemikiran, pendapat dan isi hati kita. Dan merasa yakin bahwa sang penerima pesan bisa memahaminya.

Webinar pendidikan yang diadakan oleh komunitas profesional di Belanda. Bisa di’hadiri’ oleh siapa saja, asal bisa berbahasa Indonesia. (Foto: I&P Indonesia)

Segala macam sumber informasi, baik berupa website atau pun webinar, di mana pun diadakan atau ditulis, selama menggunakan bahasa Indonesia – hal ini sudah menjadi sebuah jaminan bahwa informasi ini terbuka luas untuk orang Indonesia, di mana pun dia tinggal.

Bahasa Indonesia, (jangan menjadi) bahasa yang sulit

Bulan September yang lalu, MGN telah menyelenggarakan Tantangan dengan tema Pengalaman Berbahasa Seumur Hidup. Para Mamah MGN sudah menceritakan pengalaman dan pandangan mereka yang bervariasi tentang berbahasa.

Buat saya pribadi, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang mudah untuk dipelajari. Tidak sama dengan bahasa Inggris yang jelas aturan grammarnya, Bahasa Indonesia terlihat mudah untuk dikuasai (karena sejak lahir selalu memakai bahasa Indonesia), tapi sungguh tidak mudah dimengerti bila dijelaskan menurut aturan-aturannya.

Hukum DM: Dijelaskan-Menjelaskan adalah satu-satunya nama aturan dalam tata bahasa Indonesia yang saya tahu. Itu pun saya tidak ingat apa isinya, dan bagaimana aturannya. Tidak mengherankan kalau nilai mata kuliah Bahasa Indonesia saya di TPB berakhir tragis dan perlu ujian ulang.

Belum lagi dengan adanya perkembangan bahasa serapan dari bahasa asing, di mana istilah-istilah asing sudah di-Indonesia-kan. Buat saya yang lebih sering menggunakan istilah-istilah tersebut dalam bahasa aslinya, harus menggunakan istilah luring, ataupun daring merupakan hal yang membuat saya gagu.

Ditambah bahasa ‘gaul’ atau bahasa ‘alay’, singkatan-singkatan yang tidak baku yang banyak dipakai oleh anak-anak muda – duh, terkadang membaca pesan berbahasa Indonesia itu bisa seperti membaca bahasa planet lain rasanya!

Terjemahan: boleh kenal nggak, nih? Boleh ya kayaknya. (Foto: liputan6)

Di situlah saya merasakan sendiri bahwa kita semua perlu untuk melestarikan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa yang terus terjaga aturannya, agar semua yang menggunakan, baik generasi sekarang maupun yang akan datang bisa memiliki pemahaman yang sama.

Menulis, dayaku berbahasa Indonesia

Mungkin para Mamah tidak menyadari ini, tapi saya percaya bahwa kegiatan kita para Mamah Gajah Ngeblog untuk merekam tulisan di dalam blog adalah salah satu daya kita di dalam melestarikan bahasa Indonesia.

Bahasa yang diucapkan dalam sekejap akan dilupakan. Tetapi bahasa yang tercatat, selamanya akan diingat. Dengan menulis blog di dalam Bahasa Indonesia, dan kemudian memberikan akses untuk dibaca oleh orang banyak, kita sudah mempromosikan penggunaan Bahasa Indonesia.

Semakin banyak tulisan yang menggunakan Bahasa Indonesia (yang baik dan benar) beredar di dunia internet, semakin luas kita menjangkau orang lain dan memberikan semangat bagi mereka untuk menggunakan Bahasa Indonesia dan tidak melupakannya. 

Saya sendiri adalah seorang yang suka menulis tapi dulunya sangat jarang menulis di dalam Bahasa Indonesia. Bergabung dengan komunitas menulis seperti MGN membuat saya ‘terpaksa’ belajar menulis di dalam Bahasa Indonesia. Membaca tulisan tantangan para Mamah, mencoba membuat tulisan dengan tema yang sudah ditentukan, melatih saya untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang sebenarnya sulit, dan ternyata bisa dilakukan.

Menulis dan nge-blog, mempromosikan Bahasa Indonesia di jagat internasional melalui internet. (Foto: MGN)

Yuk para Mamah, jangan jemu untuk menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jangan jemu untuk menulis blog, jangan jemu untuk ikut dalam Tantangan Bulanan MGN. Untuk bekal bacaan anak-anak kita di kemudian hari, dan sebagai tanda sebuah kesatuan: di mana pun kita berada, kita ini semua satu keluarga, keluarga Bangsa Indonesia.

Salam Persatuan, Salam Sumpah Pemuda!

Irene Cynthia
Irene Cynthia

Seorang mamah gajah, ibu rumah tangga biasa, suka menulis dan sedang belajar untuk kembali rajin membaca. Sekarang ini sedang merantau di negeri Belanda.

Articles: 5

15 Comments

  1. Hai teh Dea …(nama di blog teh Irene ya?)
    Artikel yang inspiratif dan 11/12 sih aku juga dengan gabung di mgn jadi lebih aktif menulis dan seneng aja gitu dibaca banyak orang dari lintas negara.

    kutipan paragraf ini sangat mewakili:
    “Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang mudah untuk dipelajari. Tidak sama dengan bahasa Inggris yang jelas aturan grammarnya, bahasa Indonesia terlihat mudah untuk dikuasai (karena sejak lahir selalu memakai bahasa Indonesia), tapi sungguh tidak mudah dimengerti bila dijelaskan menurut aturan-aturannya.”
    Nilai bahasa Indonesia tidak pernah tinggi bisa jadi karena hal tersebut.

    • Hallo teh Dewi, iya.. nama penaku (cieeeh nama pena) Irene.
      Oh gitu ya teh soal bahasa Indonesia mungkin bernilai tidak tinggi karena tata bahasanya kurang jelas. Jadi penasaran buku apa sih yang lengkap yang menjelaskan tata bahasa Indonesia.

  2. […] Tentu dong nggak menang, hehehe. Karena penasaran, saya mencoba untuk menulis di dalam bahasa Indonesia. Duh, rasanya ngganjel banget menyusun kalimat-kalimatnya. Tapi ternyata bisa lho! Dengan sebuah keterpaksaan menulis di dalam Bahasa Indonesia, saya malah menyadari ternyata dengan bergabung di dalam komunitas KLIP dan MGN, saya ini bisa ikut serta melestarikan Bahasa Indonesia! […]

  3. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa dan harus dilestarikan, begitu kan ya teh. Tapi, sekarang saya sering menemukan, terutama dulu ketika masih di Jakarta, anak-anak kecil justru malah fasih berbahasa inggris dengan teman-teman maupun dengan kedua orang tuanya. Ketika di Pontianak, saya pun menemukan hal yang sama, meskipun tidak sebanyak di Jakarta. Ini sepertinya tantangan ke depan untuk Bahasa Indonesia, bagaimana agar tetap lestari di era globalisasi.

    • Ohhh teteh di Pontianak. Beneran di kota tempat suamiku kecil nih hehehe.
      Iya.. kayaknya banyak yang pingin mempersiapkan anak2 nya biar nanti gampang melaju ke dunia internasional. Kami sendiri bermasalah dengan hal ini karena anak2 tidak lancar berbahasa Indonesia soalnya mereka di sekolah pakai bahasa Belanda..

      Semoga sampai generasi anak-anak terus bisa bahasa Indonesia yang baik ya teh.

  4. Semangaaat, note buat diri sendiri nih biar tetep semangat nulis hehe. Makasih teh artikelnya. Btw saya kira kalau tinggal di luar dan ketemu gak sengaja sesama Indo bakal lanjut jadi pertemanan hehe, ternyata engga juga ya teh?

  5. Hehe kadang kita lagi rempong bawa bayi2 ya udah lanjut aja teh.. gak bisa lama2 ngobrol. Palingan menyapa dan melempar senyum.

    Di sini termasuk banyak juga sih orang Indonesia. Banyak yang menikah dengan orang lokal gitu..

  6. Untung yaa kita pakai aksara yang normal, kalau nggak bisa keriting mataku membacanya seperti di Thailand sini hehehe. Eh tapi, tulisan di blog ku banyak yang belum terlalu mengikuti kaidah bahasa yang baik dan benar, kadang-kadang ada banyak kosa kata yang kurang enak dipakai dan lebih enak ditulis dalam bahasa asing. Masih berusaha sih memperbaikinya, mudah-mudahan tapi nggak bikin semangat nulis ilang karena mikirin padanan kata, hehehe…

  7. Dea terimakasih sudah menuliskan ini. Beruntung banget kita punya bahasa Indonesia, yang bisa jadi bahasa persatuan dari Sabang sampai Merauke.

    Sejak kenal MGN aku juga semangat nulis pakai Bahasa Indonesia, biar ga lupa hehe.

  8. Jadi ingat dulu pernah ngomong ke guru bahasa Jerman, kalau bisa bahasa Jerman paling bisa ngomong sama 100 jutaan orang, tapi kalau bisa bahasa Indonesia, bisa bicara dengan 270 juta orang. Haha sombong amat ya…

    • Ya itulah… Tapi orang jerman yang menulis keknya masih jauh lebih banyak dibanding orang indonesia yang menulis, makanya biar kita perlu terus menulis. Gitu kira-kira hehehe

  9. Ya itulah dia… Tapi orang jerman yang menulis keknya masih jauh lebih banyak dibanding orang indonesia yang menulis, makanya biar kita perlu terus menulis. Biar bahasa Indonesia lebih banyak terekam di dalam bentuk tulisan. Gitu kira-kira hehehe

  10. Ternyata waktu itu saya belum sempat berkomentar ya ehehe. Waktu itu hanya membaca saja.

    Tulisannya baguuus, Dea. Sungguh memunculkan semangat nasionalisme dalam diri.

    “Untuk kita yang sehari-hari menikmati hidup nyaman dan bebas di dalam keadaan negara yang merdeka, saya pikir akan sulit untuk menyadari apa pentingnya Sumpah Pemuda ini. Berbelas tahun menghabiskan masa sekolah dan setiap kali ada perayaan Sumpah Pemuda, saya pun tidak bisa terlalu memahami mengapa janji untuk bersatu itu menjadi sesuatu yang sangat penting.”

    Kadang saya juga merasa seperti ini. Karenanya saya berusaha untuk tidak take it for granted. Peringatan Sumpah Pemuda setiap tahunnya, semoga bisa selalu membuat kita dan para generasi muda selanjutnya memaknai peristiwa penting ini.

    Makasiiiy ya Dea. 🙂

Tinggalkan Balasan ke Riskawati ChandrqCancel Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *