Mengapa Mahasiswa Perlu Belajar Berorganisasi?

Berorganisasi memberikan banyak manfaat, lebih dari sekedar menambah teman dan memperluas pergaulan. Menurut Mamah sendiri, perlukah mahasiswa belajar berorganisasi?

Halo, Mamah-mamah kece, apa kabarnya? Semoga selalu dalam keadaan sehat, ya.

Kali ini saya ingin membahas sebuah hal yang berkaitan erat dengan dunia kemahasiswaan. Apakah itu?

Organisasi, Mah.

Apakah Mamah mengijinkan anak Mamah berorganisasi? Berkumpul dengan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama, belajar bekerja sama untuk mencapai tujuan itu, di samping menjalankan tugas utamanya sebagai pelajar atau mahasiswa?

Banyak orangtua yang menganggap kegiatan berorganisasi itu tidak perlu.

Sudahlah, belajar saja baik-baik, cepat lulus, dan cepat dapat kerja.

Banyak orangtua yang memberi nasihat seperti itu kepada anaknya yang akan memasuki dunia perkuliahan. Padahal, Mah, organisasi pertama yang ditemui anak-anak kita yang berstatus pelajar mulai ada di tingkat SMP, lho. Ketika mereka masih berusia 12 atau 13 tahun, mereka sudah diperkenalkan pada OSIS, atau Organisasi Siswa Intra Sekolah.

Jadi, mereka tidak ujug-ujug ketemu yang namanya organisasi, yang bergerak di segala bidang dengan rupa-rupa tujuan, saat mereka sudah berstatus mahasiswa. Ketika mereka masih praremaja mereka sudah diajak, diperkenalkan, dan diarahkan untuk berserikat. Mereka ditunjukkan bahwa adalah baik berkumpul dengan orang-orang yang memiliki minat, bakat, atau hal lain yang sama demi mencapai satu tujuan yang positif.

Waktu SMP, saya bergabung di Divisi Kewirausahaan di OSIS. Selama dua tahun (masa kepengurusan berhenti di kelas 3 karena siswa kelas 3 diharapkan hanya berfokus pada ujian akhir sekolah), saya ditempatkan di koperasi sekolah. Tugas saya dan teman-teman satu divisi saat itu adalah berbelanja barang dagangan, menentukan harga jual, membuat label harga, dan berdagang setiap jam istirahat.

SMP saya menerapkan jam belajar yang panjang, pukul 06.30 – 16.00 setiap hari Senin sampai dengan Jumat. Setiap hari ada satu kali istirahat berdurasi 45 menit dan dua kali istirahat berdurasi masing-masing 15 menit. Setiap waktu istirahat, kami dari Divisi Kewirausahaan akan bergantian menjaga koperasi dan berjualan.

Masa-masa itu adalah pengalaman yang tak terlupakan dan sangat berharga untuk saya. Orangtua saya tentu saja memberi nasihat yang pasti familiar juga bagi Mamah:

“Jangan kebanyakan berorganisasi, jangan kecapekan, jangan kebanyakan nongkrong.

Belajar tetap yang paling utama.”

Concern mereka itu muncul ketika saya menghabiskan banyak waktu di hari Sabtu untuk berbelanja ke hipermarket dan mengatur barang dagangan di koperasi dengan teman-teman OSIS. Padahal hari Sabtu dikhususkan oleh sekolah untuk kegiatan ekstrakurikuler dan beristirahat, karena jam sekolah yang panjang (9.5 jam) setiap hari Senin sampai dengan Jumat pada tahun 1990-an bukanlah hal yang lazim ditemui.

Saya tetap mengutamakan belajar, tetapi berorganisasi itu mengasyikkan sekali, Mah. Saya belajar banyak sekali hal yang tidak saya pelajari dari guru di kelas, dan sekaligus mempraktekkan apa yang saya pelajari di kelas dalam kehidupan berorganisasi.

Contohnya adalah pengetahuan akan matematika dan akuntansi. Di koperasi sekolah saya mempraktekkan:

  1. Cara menentukan harga jual dengan cara menambahkan persentase dari harga beli barang untuk mendapatkan margin.
  2. Cara membuat jurnal akuntansi.
  3. Cara menghitung laba-rugi.
  4. Dan seterusnya.

Sejak SMP, saya sudah bergabung dengan banyak sekali organisasi dimana saya berusaha untuk tidak sekedar menjadi anggota. Jika seseorang berorganisasi, maka ada baiknya dia mencoba memegang jabatan struktural atau fungsional di organisasi. Tujuannya hanya satu, supaya bisa mengalami sendiri bahwa mengatur orang-orang itu tidak semudah yang terlihat, Mah.

Dari pengalaman saya berorganisasi saya selama 27 tahun terakhir (wah, ketahuan deh saya angkatan berapa, hehe), ijinkan saya memaparkan alasan-alasan mengapa mahasiswa perlu belajar berorganisasi.

Sebenarnya tulisan ini tidak spesifik untuk mahasiswa saja karena pelajar, pekerja, bahkan ibu rumah tangga sekalipun bisa aktif berorganisasi sesuai dengan minat mereka. Akan tetapi, masa kuliah adalah masa paling kondusif untuk berorganisasi saat mahasiswa memiliki kemandirian untuk mengatur sendiri waktu kuliah dan jam belajar mereka.

Mahasiswa tidak terikat dengan durasi belajar yang ketat seperti pelajar SMP dan SMA, Mereka juga tidak terikat dengan jam kantoran dan cuti yang sangat sedikit (rata-rata hanya 12 hari per tahun) seperti karyawan. Ibu rumah tangga biasanya memiliki segudang tanggung jawab, sehingga organisasi dimana mereka tergabung biasanya lebih fleksibel.

1.      Berorganisasi untuk mengenal diri sendiri

Sebelum memutuskan untuk bergabung dengan organisasi mana pun, seseorang perlu mengenal dirinya sendiri. Bukan hanya soal minat dan bakatnya, tapi juga watak, temperamen, dan karakter yang ia miliki.

Misalkan saya adalah seseorang yang tidak menyukai musik. Kecil kemungkinannya saya akan bergabung dengan paduan suara di kampus.

Misalkan lagi saya memiliki minat untuk menekuni bidang musik. Seberapa besar pun minat saya, tetap saja saya memerlukan tekad kuat untuk mengejar ketertinggalan dari anggota organisasi yang lain yang mungkin lebih menyukai, menguasai, dan berprestasi di bidang musik.

Kemampuan mengenal diri sendiri adalah kunci sebelum memutuskan akan bergabung dengan organisasi mana. Untuk mudahnya, jangan bergabung dengan organisasi yang tidak memiliki tujuan yang beresonansi dengan tujuan pribadi kita.

Ada kalanya tujuan pribadi berubah sehingga lebih selaras dengan tujuan organisasi. Hal ini baik, tapi jarang sekali terjadi, karena manusia cenderung tidak berubah. Dia hanya beradaptasi di setiap lingkungan yang dia temui.

Waktu berorganisasi, anak kita jadi belajar mengetahui apa yang dia sukai/tidak sukai, terima/tidak terima, dan harapkan/tidak harapkan dari orang lain.

Misalkan love language-nya adalah words of affirmation. Dia akan merasa dihargai dan diperhatikan jika ada orang yang secara langsung memujinya dan/atau menghargai sumbangsihnya secara terang-terangan.

Atau misalkan love language-nya adalah receiving gifts. Dia akan merasa terlihat dan eksis di dalam organisasi ketika diberikan penghargaan seperti medali atau piala sebagai ganjaran atas sumbangsihnya untuk organisasi.

Hal-hal seperti yang saya jabarkan di atas dapat anak kita ketahui dan pelajari dari diri mereka sendiri hanya jika mereka berinteraksi dengan orang lain selama beraktivitas di dalam organisasi.

2.      Berorganisasi untuk mengenal orang lain

Manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Dia tidak dapat hidup sendirian; dia memerlukan orang lain untuk bisa survive. Salah satu cara untuk menjadi penyintas adalah dengan mengetahui “medan”, mengenal berbagai jenis orang, dan memutuskan aksi seperti apa yang dapat menimbulkan reaksi tertentu dari mereka.

Ada begitu banyak jenis manusia di muka bumi ini, mulai dari yang baik, jahat, pemarah, pendendam, welas asih, penipu, pemaaf, dan seterusnya, dan sebagainya. Anak kita dapat menemui segala jenis ini dalam keseharian mereka di kampus, tapi interaksi mereka dengan orang lain akan dibatasi oleh waktu.

Jam kuliah dari jam A sampai jam B, misalnya. Selama durasi itu anak kita belajar di kelas dan minim berinteraksi dengan dosen dan teman-teman sekelasnya, sampai mereka diberikan tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok.

Percayalah, Mah, cara tercepat mengenal orang lain adalah dengan bekerja sama dengan mereka.

Dari situ anak kita bisa belajar bagaimana cara dia dan cara orang lain bekerja, yang bisa jadi kompatibel/tidak kompatibel satu dengan yang lain. Misalnya, orang yang satu lebih senang bekerja setelah semua data terkumpul. Orang yang lain lebih senang bekerja secepat mungkin karena data bisa dikumpulkan sambil jalan. Dalam kehidupan berorganisasi, anak kita akan menemui masalah semacam ini, atau bahkan lebih kompleks dari ini.

Dengan berorganisasi dia akan belajar mencari titik tengah supaya tidak terjadi perselisihan, dengan tetap menghormati karakter setiap individu dan tentunya dapat mencapai tujuan organisasi.

Dengan berorganisasi, anak kita akan mengembangkan kebijaksanaan untuk menilai manusia lain dan situasi, dan terutama memberikan respon yang tepat terhadap lingkungannya.

Sewaktu masih bekerja di Divisi Human Resources bertahun-tahun silam,saya sering mewawancarai kandidat yang nilai-nilainya hampir sempurna di atas kertas. Mereka terlihat dan terdengar sangat pintar ketika diwawancarai.

Namun, begitu diberi instruksi untuk bekerja sama dengan kandidat lain dalam Focus Group Discussion (FGD) untuk memecahkan sebuah masalah imajiner, kandidat itu biasanya diam seribu bahasa. Dia tidak memiliki ide, inisiatif, dan lain-lain.

Disclaimer: ini hanya sharing pengalaman pribadi saya, ya, bukan generalisasi untuk semua kandidat yang saya temui ketika interview.

Semua kandidat di dalam FGD adalah orang asing satu lama lain. Oleh karena mereka orang asing, banyak yang merasa tidak apa-apa untuk bersikap judes dan merendahkan orang lain karena ada kesenjangan pengetahuan, keterampilan, atau yang lainnya.

Kandidat yang saya ketahui memiliki pengalaman beroganisasi langsung terlihat cepat meng-assess situasi, memetakan para peserta FGD, dan mengambil langkah-langkah yang menguntungkan bagi semua peserta. Kemampuan menganalisa, kecepatan membuat strategi, dan keteguhan hati untuk mengeksekusi rencana biasa ditemukan pada kandidat yang biasa berorganisasi, Mah.

Mereka yang biasa bertemu, bekerja sama, dan berkomunikasi dengan banyak tipe orang akan lebih luwes dalam meraih tujuannya, tujuan pribadi maupun tujuan organisasi.

3.      Berorganisasi untuk mengelola ekspektasi

Kita berharap semua anak kita yang menempuh perkuliahan akan lulus suatu hari nanti dan memasuki dunia kerja ya ‘kan, Mah? Di dunia kerja mereka akan bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan diharuskan untuk bisa bekerja sama demi menyelesaikan sebuah pekerjaan.

Jika mereka terbiasa berorganisasi di kampus, maka mereka akan terbiasa dengan hal ini, Mah. Organisasi di kampus ‘kan ada banyak sekali ragamnya, tidak terbatas hanya pada himpunan di jurusan.

Di jurusan, jenis manusianya cukup seragam karena orang-orangnya mempelajari hal yang sama dalam ruang yang sama pada kurun waktu yang sama. Di organisasi lintasjurusan, jenis manusianya sangat bervariasi. Ada yang malas mandi, ada yang gemar meminjam barang milik temannya, ada yang suka bolos kuliah, wah segala macam ada, deh.

Dengan berorganisasi, anak kita diajarkan untuk mengelola ekspektasinya. Maksudnya bagaimana?

Begini, Mah. Semua orang memiliki kumpulan standar nilai tersendiri. Semua orang memiliki ekspektasi terhadap orang lain yang berkorelasi dengan nilai-nilai yang dia anut. Saya ambil contoh, saya berharap orang lain akan baik pada saya karena saya juga berusaha baik pada orang lain.

Ekspektasi seperti ini wajar adanya dan unik bagi setiap orang. Yang tidak wajar adalah ketika kita memaksakan standar nilai kita dan mengharuskan, alih-alih mengharapkan, orang lain untuk memenuhi standar yang kita pegang.

Ketika berorganisasi, anak kita dilatih untuk mengelola ekspektasi yang dia miliki. Tujuannya satu, supaya dia juga dapat mengelola kekecewaannya ketika ekspektasinya tidak dapat dipenuhi.

Untuk teman berorganisasi anak kita yang jarang mandi karena sehari-hari praktikum di laboratorium minyak yang penuh dengan debu dan tumpahan minyak, misalnya. Alangkah kurang elok jika anak kita memaksakan teman itu selalu wangi setiap saat seperti dia yang tidak praktikum di laboratorium yang jauh dari kata bersih.

Sebagai kesimpulan, dengan berorganisasi anak kita dapat belajar mengenali diri sendiri dan mengenali orang lain. Muara dari kedua hal itu adalah kemampuan untuk mengelola ekspektasi dan pada akhirnya kemampuan untuk mengelola kekecewaan.

Apakah ini ada hubungannya dengan kesehatan mental? Tentu saja ada. Tumpukan kekecewaan sangat berpengaruh pada kesehatan mental. Dengan berorganisasi, anak kita dilatih untuk menjaga kesehatan mentalnya sejak dini.

Walaupun kita mendorong anak untuk aktif berorganisasi semasa kuliah, kita tetap mengingatkan mereka bahwa belajar adalah hal yang paling utama. Sisi negatif dari kegiatan berorganisasi yang sering diungkit ‘kan tentang kebiasaan nongkrong tanpa juntrungan dan membuang-buang waktu.

Sebagai orangtua kita bisa menekankan pada mereka apa yang utama, apa yang penting, apa yang baik, dan apa yang perlu. Setelah mengajari mereka, hanya doa kitalah yang mengiringi langkah mereka ketika mereka berada jauh dari kita.

Apakah Mamah mengijinkan anak Mamah berorganisasi? Jika ya, sejak umur berapa? Boleh share di kolom komentar, ya.

Meskipun usia saya hampir kepala empat, saya sendiri masih aktif berorganisasi. Saat ini saya bergabung dengan tiga komunitas yang menggiatkan literasi, salah satunya adalah Mamah Gajah Ngeblog, tempat saya membagikan pemikiran kali ini.

Semoga bermanfaat ya, Mah. Berorganisasi memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan, daya juang, dan jaringan pertemanan Ananda. Tugas kita adalah memandu supaya mereka tetap berada pada koridor yang benar dan tidak melupakan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai mahasiswa.

Rijo Tobing
Rijo Tobing

Penggemar filsafat, taekwondo, piano, dan bahasa Korea.

Dapat disapa di rijotobing.wordpress.com

Articles: 4

6 Comments

Tinggalkan Balasan ke Solo Player, Team Player – Rijo TobingCancel Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *