Review Film Ngeri-Ngeri Sedap: Pesan Universal tentang Arti Keluarga

Ngeri-Ngeri Sedap adalah salah satu film paling sukses di tahun 2022. Sampai hari ini film garapan sutradara dan penulis Bene Dion Rajagukguk ini telah berhasil menarik hati 2,6 juta penonton. Walaupun ceritanya berlatar belakang keluarga Batak, akan tetapi apa yang diceritakan oleh film ini relatable untuk sebagian besar keluarga dari kebudayaan manapun. Karena permasalahan keluarga seringkali memang universal. Yuk cek ulasannya berikut ini Mah!

Gajah di Pelupuk Mata

Keluarga Domu Purba dikarunai empat orang anak yang sudah beranjak dewasa. Sarma sang putri tunggal masih tinggal bersama mereka di suatu desa di pinggir danau Toba, sementara ketiga saudara laki-lakinya nya, Domu, Gabe, dan Sahat merantau ke Pulau Jawa.

Keluarga Domu Purba (sumber: meramuda.com)

Sekilas keluarga ini terlihat harmonis dan bahagia. Tidak ada masalah yang nampak. Hubungan Pak Domu dan Mak Domu terlihat rukun dan mesra. Mereka bahkan didapuk sebagai pasangan percontohan oleh Amang Anggiat, sang pendeta setempat. Anak-anak mereka berhasil lulus dari perguruan tinggi dan memiliki pekerjaan yang mapan.

Tapi bagai peribahasa Semut di sebrang lautan tampak, Gajah di pelupuk mata tidak tampak, ternyata semua hal tersebut masih belum cukup bagi Pak Domu. Baginya anak-anaknya belum mencapai kesuksesan yang membanggakan menurut standar “yang berlaku” di tanah Batak. Sehingga ia belum merasa puas.

Anak pertama mereka Domu, yang berprofesi sebagai PNS di Jawa Barat, berniat menikah dengan seorang wanita Sunda. Seseorang yang menurut Pak Domu tidak akan pernah mengerti mengenai adat batak. Gabe, seorang lulusan jurusan hukum, memilih menjadi pelawak, daripada seorang pengacara. Putri mereka satu-satunya, Sarma, belum berkeluarga. Sementara sang anak laki-laki bungsu, Sahat, yang menurut adat punya kewajiban merawat orang tuanya, malah memilih untuk menetap di Yogyakarta. Merawat orang tua lain yang tidak punya hubungan kekerabatan dengannya.

Pak Domu tak segan mengungkapkan kekecewaan dan keinginannya pada anak-anaknya, setiap kali beliau menghubungi mereka. Membuat putra-putranya jengah dan malas untuk bicara dengannya. Sehingga memilih untuk tidak pulang bertemu dengan orang tuanya.

Masalah muncul ketika Ibunda Pak Domu, yang oleh para cucunya disebut Oppung, akan mengadakan pesta sulang-sulang pahompu. Sebuah pesta pengukuhan pernikahan dalam adat Batak Toba. Di pesta ini Oppung mengharapkan seluruh cucunya hadir. Keinginan untuk memenuhi harapan ibunya bercampur rasa gengsi dalam dirinya membuat Pak Domu memiliki ide untuk membuat anak-anaknya bersedia pulang. Berpura-pura bertengkar hingga akan cerai dengan isterinya. Taktik ini berhasil membuat keluarga mereka berkumpul kembali untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun. Tapi bak senjata makan tuan, ide tersebut juga membuat keluarga mereka terncam benar-benar terpecah belah.

Acara Sulang-Sulang Pahompu diadakan untuk mengukuhkan pernikahan bagi pasangan yang sebelumnya belum pernah melaksanakan upacara adat untuk merayakan pernikahan (sumber: seleb.tempo.com)

Kasih Ibu Sepanjang Masa, Kasih Anak Sepanjang Galah

Hal menarik dari film Ngeri-Ngeri Sedap menurut saya adalah penokohannya yang sangat realistis. Film berdurasi 114 menit ini secara apik menggambarkan mengenai perasaan ibu, perasaan ayah, dan perasaan anak-anak, dan konflik yang terjadi karena benturan perasaan-perasaan tersebut.

Tokoh Mak Domu, menurut saya adalah yang paling relatable. Mewakili kaum Ibu-Ibu apa pun latar belakangnya. Tangguh dengan caranya. Bersabar menghadapi suami yang seringkali masih kekanak-kanakan. Memilih diam untuk kedamaian keluarga. Mengesampingkan perasaan, terutama rasa rindu pada anak-anak. Tokoh yang diperankan oleh Tika Pangabean ini mampu membuat hati saya ikutan cenat-cenut terutama pada adegan dimana Mak Domu tidak mampu menutupi rasa bahagianya melihat anak-anaknya berkumpul kembali. Rasa rindu yang membuncah dari adegan tersebut seakan menyeruak dari layar bioskop dan membuat saya tak tahan untuk tidak nyengir sambil menangis.

Duh gimana nanti kalau anak-anak sudah besar dan tidak mau pulang juga?

Adegan paling mengharukan untuk saya. Ketika Mak Domu tak tahan untuk tidak menyambut anak-anaknya dengan tangan terbuka. Tidak mengindahkan perintah suaminya untuk mengabaikan mereka (Sumber: tabloidbintang.com)

Pak Domu sebagai tokoh ‘antagonis’ di film ini juga sangat realistis sekali. Ada banyak bapak-bapak, terutama dalam kultur patrilineal yang kental, terlalu dominan dalam hal mengambil keputusan mengenai keluarga. Mereka seringkali tidak menyadari bahwa anak-anak sejatinya bukan milik orangtuanya. Anak-anak tidak jarang punya pilihan sendiri yang mungkin tidak sesuai dengan harapan orang tuanya. Saya ingin ikutan sebal dengan Pak Domu karena terlalu mengatur, tapi sebagai orang tua saya juga paham tindakannya. Terkadang pikiran merasa tau yang terbenar dan terbaik untuk anak memang membutakan. Sampai tidak bisa melihat bahwa anak-anak lama kelamaan bisa berpikir sendiri juga. Padahal orang tua sebagai manusia biasa, tentu tak luput dari kesalahan.

Sementara tokoh anak-anak yang diperankan oleh para stand up comedian berdarah Sumatera Utara sangat relatable di bagian malas pulang. Dari zaman dulu kala hingga sekarang, banyak anak yang malas pulang menemui orang tuanya. Entah dengan alasan kesibukan, jarak, biaya, atau permasalahan dengan orang tua seperti yang ada di film ini. Sebagai seorang anak, saat menonton film ini, saya jadi merasa ikut dilema. Ingin membela anak-anak tersebut dan ikut menyalahkan Pak Domu atau ingin menasehati anak-anak tersebut tentang orang tuanya yang sudah lanjut usia. Karena umur tidak ada yang tahu dan penyesalan selalu datang terlambat.

Tiada Gading yang Tak Retak

Semua keluarga pasti punya masalahnya sendiri. Ada yang diuji dengan hubungan yang tak harmonis, kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Dalam film Ngeri-Ngeri Sedap faktor ketidaktahuan menjadi permasalahan utama.

Bapak Domu tidak tahu cara lain untuk menjadi ayah yang baik selain meniru cara ayahnya membesarkan dirinya. Mak Domu tidak tahu cara lain untuk bersikap selain yang sudah didiktekan oleh adatnya. Sementara anak-anak tidak tahu cara lain untuk menghadapi ayahnya yang keras kepala selain dengan menghindar. Karena dari kecil mereka dididik untuk pantang membantah orang tua terutama ayahnya.

Mencoba berkomunikasi dengan menghindari permasalahan yang sebenarnya. Tapi pemandangannya bagus, jadi sudahlah. Haha. (sumber: cinemags.co.id)

Konfllik dalam film ini mungkin sedikit ekstrim, tapi permasalahannya bisa terjadi di keluarga manapun. Komunikasi adalah salah satu kunci utama untuk menyelesaikan masalah keluarga. Because, you don’t know what you got until it is gone.

Saya bisa paham kenapa film ini bisa sukses. Cerita yang sangat relatable dibalut dengan sentuhan komedi yang ringan. Menyorot permasalahan keluarga yang umum terjadi dengan latar belakang yang tidak biasa diangkat. Menurut penulisnya ini memang film drama bukan film komedi. Pesan yang kuat disajikan dalam kemasan yang ringan. Seperti Mie Gomak buatan Mak Dompu yang gurih, manis, dan menghangatkan. Cocok ditonton bersama pasangan. Untuk mengingatkan diri sendiri akan kewajiban, baik sebagai anak maupun orang tua.

Jangan lupa bahagia, Mah!

Restu Eka Pratiwi
Restu Eka Pratiwi
Articles: 32

3 Comments

  1. Teh Restu keren banget ini reviewnya. Jadi kepingin nonton dan melihat latar lokasi film Danau Toba yang pasti indah (juga bikin kangen kepingin ke sana lagi). Oya … aku juga punya tetangga keluarga pendeta Batak seumuran mamahku. Keluarga ini sudah meng-Jakarta he3 (semua anaknya kelahiran Jakarta) …

    Salam hangat.

Tinggalkan Balasan ke dewi laily purnamasariCancel Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *