Kilas Balik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Peran RRI di Dalamnya

Bagi rakyat Indonesia di mana pun berada, Agustus selalu disambut dengan gegap gempita. Sejak tanggal 1, dekorasi merah putih mewarnai setiap sudut kota, pemukiman warga, perkantoran, sekolah, hingga pasar dan pusat perbelanjaan. Busana bernuansa merah putih pun tak luput disiapkan. Penyebabnya tak lain adalah hari kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus. 

Pada tanggal itu, 79 tahun yang lalu, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur 56, pukul 10 pagi. Sang Saka Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati turut dikibarkan untuk yang pertama kali. 

Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia

Peristiwa yang Mendahului 

Peristiwa bersejarah ini dipicu oleh kekalahan Jepang terhadap Sekutu pada 14 Agustus 1945 setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Momen kekosongan kekuasaan ini tidak disia-siakan. 

Sempat terjadi perdebatan antara pemuda dan golongan tua. Para pemuda mendesak agar proklamasi kemerdekaan segera dilaksanakan, sedangkan golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan pertumpahan darah jika para pejuang Indonesia belum siap. Golongan tua condong kepada pelaksanaan proklamasi sesuai janji Jepang, yakni pada 24 Agustus. Ini bertentangan dengan semangat para pemuda yang menginginkan kemerdekaan hasil usaha sendiri, bukan pemberian Jepang.

Akibatnya, pada 16 Agustus dini hari, para pemuda membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok agar tidak terpengaruh Jepang. Selama itu, di Jakarta, Wikana (pemuda) dan Achmad Soebardjo (golongan tua) berunding. Achmad Soebardjo menyetujui desakan pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. 

Setelah Soekarno dan Hatta tiba kembali di Jakarta pada 16 Agustus malam, mereka baru mengetahui bahwa pada siang harinya turun perintah dari Tokyo, Jepang tidak dapat memberikan kemerdekaan untuk Indonesia. Soekarno dan Hatta merasa kecewa lantas meminta pemerintahan militer Jepang untuk tidak menghalangi persiapan kemerdekaan Indonesia. 

Pada 17 Agustus dini hari, bertempat di ruang makan kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, teks proklamasi dirumuskan oleh Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo dari pihak Indonesia. Selain itu, di ruang depan hadir perwakilan pemuda, yakni B.M. Diah, Sayuti Melik, Soekarni, dan Soediro. 

Yang tidak banyak diketahui, hadir pula beberapa orang dari pemerintahan militer Jepang, yakni Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, Shigetada Nishijima, dan Shunkichiro Miyoshi. Mereka tidak menyetujui beberapa kata, seperti “penyerahan”, “dikasihkan”, diserahkan”, atau “merebut”. Akhirnya dipilih “pemindahan kekuasaan” untuk menjelaskan “transfer of power”. 

Naskah Proklamasi 

Ternyata ada dua versi naskah proklamasi, lo, Mah. Pertama, versi tulisan tangan Soekarno yang dinamakan “Proklamasi Klad”. Naskah ini kemudian disalin dan ditik oleh Sayuti Melik, disebut dengan “Proklamasi Otentik”. Setelah rampung, Soekarno dan Hatta membubuhkan tanda tangan di bawah nama “Soekarno/Hatta”. Bila dibandingkan, terdapat beberapa perubahan tulisan dalam versi Otentik. Apa saja?

  1. Kata “Proklamasi” menjadi “P R O K L A M A S I”;
  2. Kata “Hal²” menjadi “Hal-hal”;
  3. Kata “tempoh” menjadi “tempo”;
  4. Kata “Djakarta, 17 – 08 – ’05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05”;
  5. Kata “Wakil² bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”.

Eh, kok ‘05, bukan ‘45? Sejujurnya saya juga baru sadar tahun ini setelah sekian tahun lulus sekolah. Jadi saya ke mana waktu pelajaran Sejarah tentang ini? Hahaha. 

Teks asli Proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno (foto: Gramedia).

Ini bukan saltik, ya, Mah. Penulisan ini mengacu pada tahun Jepang atau sistem kalender Jimmu sebab saat itu Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang. Sistem kalender ini dihitung berdasarkan tahun diangkatnya kaisar pertama Jepang, Kaisar Jimmu, pada 660 Sebelum Masehi. Dengan kata lain, tahun 1945 pada kalender Masehi sama dengan tahun 2605 pada kalender Jepang, yang disingkat menjadi ‘05. 

Oh iya, naskah Proklamasi Klad sempat dibuang ke tong sampah oleh Sayuti Melik karena dianggap tidak lagi berguna. Adalah B.M. Diah yang menemukan dan menyimpannya sebagai dokumentasi pribadi selama 47 tahun. Pada 1992, kertas tersebut diserahkan kepada Museum Nasional dan menjadi bukti sejarah bangsa Indonesia. 

Isi Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, diketik oleh Sayuti Melik (foto: RRI dari Kemendikbud RI). 

Pada tahun itu, belum ada teknologi perekaman video dengan suara sehingga yang ada hanya foto Soekarno sedang membacakan teks proklamasi. Bagaimana dengan rekaman suara beliau yang sering diputar di media massa?

Jusuf Ronodipuro, pendiri Radio Republik Indonesia (RRI), berperan besar dalam hal ini. Menyadari pentingnya dokumentasi suara, Jusuf meminta Soekarno untuk merekam suara pembacaan teks proklamasi. Semula Soekarno menolak dengan alasan proklamasi hanya dibacakan sekali saja. Berkat bujukan Jusuf, akhirnya Soekarno bersedia.

Proses perekaman suara berlangsung di Studio RRI Jakarta pada 1951. Hasil rekaman dikirim ke studio Lokananta di Solo, Jawa Tengah untuk digandakan dan disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Dengan adanya rekaman ini, tidak hanya rakyat Indonesia pada waktu itu, generasi sekarang pun masih bisa mendengar dan merasakan momen bersejarah tersebut.

Penyebaran Berita Kemerdekaan

Berita dalam harian Pikiran Rakyat (foto: dok. pribadi Hani).

Hari itu Kamis, 15 Agustus 2024, pada halaman pertama koran Pikiran Rakyat, tertulis judul berita “Pergulatan Menyebarkan Berita Kemerdekaan”.

Lewat radio, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diterima Domei, Kantor Berita Jepang di Bandung pada 17 Agustus 1945. 

Dari sana, berita menyebar ke seluruh kota. Namun muncul bantahan resmi dari Jepang satu jam kemudian. Tjahaya, harian atau kantor berita Bandung sulit turut serta menyebarkan berita kemerdekaan tersebut lantaran adanya bantahan, keberadaan pengawas Jepang dan keengganan editor pelaksananya.

Zaman dulu penyebaran berita memang tidak secepat sekarang, dalam sekian detik kita bisa mendapatkan informasi mutakhir. Di zaman itu, bahkan untuk menyiarkan berita bahwa Indonesia sudah merdeka harus kucing-kucingan terlebih dahulu dengan pemerintah Jepang. 

Tak kurang akal, sebagian wartawan muda membuat poster di luar bangunan kantor, yang diikuti dengan pencopotan oleh pengawas. Berulang kali terjadi ketika pencopotan dibalas dengan penempelan kembali.

Aksi penempelan poster pun diganti dengan aksi penyebaran pamflet yang cukup efektif. Akibatnya, dalam waktu sehari, berita bahwa Indonesia merdeka sudah menjangkau seluruh kawasan di kota Bandung.

Tak berhenti di sini, dilakukan aksi penyalinan teks proklamasi yang dilakukan di Kantor Domei di Bandung, kemudian ditempelkan di papan tulis di depan Kantor Domei, di tepi Jalan Dago, Bandung. Bahkan Suriasaputra, Bupati Bandung saat itu juga menelepon dan berpesan bahwa teks proklamasi harus disebarluaskan kepada rakyat banyak.

Maka disampaikanlah ke Radio Hoso Kyoku Bandung untuk disiarkan hari itu juga atau pada malam harinya. Tahukah, Mah? Radio Hoso Kyoku Bandung ini merupakan cikal bakal RRI, Radio Republik Indonesia. 

Gedung Radio Hoso Kyoko Bandung, sekarang Gereja Kristen Immanuel Jemaat Gloria di Jalan Moch. Toha (foto: bandung)

Proklamasi kemerdekaan akhirnya disiarkan pada malam hari pukul 19.00, 20.00, dan 21.00 WIB. Proklamasi disiarkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris kemudian ditutup lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Para pemuda hebat yang membacakan teks proklamasi tersebut adalah Sakti Alamsyah, Odas Sumadilaga, dan R.A. Darya.

Sekilas tentang RRI Bandung

Mempelajari sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan upaya wartawan muda mewartakan Proklamasi Kemerdekaan tak lepas pula kita perlu mempelajari Radio Republik Indonesia.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 19.00 itu, dunia digemparkan oleh pekik kemerdekaan yang disuarakan dengan penuh keyakinan dan keberanian dari R.A. Darya:

“Di sini Bandung, siaran Radio Republik Indonesia”

Padahal negara kita belum betul-betul dibentuk sebagai negara dengan sistem pemerintahan republik. Berkat pekik ini, BBC London pun turut menggaungkan negara kita sebagai Republik Indonesia. 

RRI baru resmi berdiri pada tanggal 11 September 1945 dan sejak itu membuat khawatir pemerintah Belanda yang masih bercokol di Indonesia. Bahkan, 25 November 1945 pun sempat dibumihanguskan oleh tentara sekutu.

Peran besar RRI berikutnya adalah ketika diadakan Konferensi Asia Afrika pertama di Bandung. Bersama 10 radio asing, RRI Bandung bekerjasama dengan RRI Jakarta, meliput selama konferensi dari balkon timur Gedung Merdeka. Begitu pula ketika terjadi peristiwa G30S/PKI yang pecah pada tahun 1965, kemudian ketika Reformasi dan krisis ekonomi di tahun 1998.

Dalam perjalanannya, RRI mengubah eksistensinya dari government service broadcasting menjadi public service broadcasting agar RRI betul-betul menjadi lembaga penyiaran publik, melanjutkan misi perjuangan para pahlawan.

Sekarang ini RRI Bandung menjalankan empat stasiun radio, salah satu di antaranya merelai RRI Programa 3 dari kantor pusat RRI di Jakarta. Empat stasiun radio tersebut disiarkan, baik di gelombang FM maupun AM. Stasiun-stasiun radio tersebut antara lain:

Gelombang FM

  • RRI Programa 1 Bandung (FM 97.6 MHz)
  • RRI Programa 2 Bandung (FM 96 MHz)
  • RRI Programa 3 Bandung (FM 88.5 MHz)
  • RRI Programa 4 Bandung (FM 106.9 MHz; khusus untuk wilayah Subang dan sekitarnya)

Gelombang AM

  • RRI Programa 4 Bandung (AM 540 KHz; untuk wilayah Bandung dan sekitarnya)
Gedung RRI Bandung, jalan Diponegoro no 61 (foto: dok. pribadi Hani)
ruang penyiaran RRI di selasar depan Gedung RRI Bandung (foto: dok. pribadi Hani)
Ruang Studio RRI Net dan Museum Radio (foto: dok. pribadi Hani)
jajaran studio penyiaran RRI Bandung (foto: dok. pribadi Hani)

Penutup 

Sejarah menuliskan, kemerdekaan Indonesia memang hasil perjuangan rakyat Indonesia sendiri. Namun, dunia tidak akan menyadari bahwa kita telah merdeka tanpa memberitakannya secara luas.

Peran media dari dulu hingga sekarang memang tidak bisa dianggap enteng. Menyuarakan proklamasi Indonesia tidak akan diketahui oleh dunia, tanpa peran dari media komunikasi, waktu itu, yaitu telegram dan radio.

Di tengah maraknya serba digitalisasi, radio, termasuk RRI, sejak pertengahan dekade tahun 2010-an melaksanakan uji coba implementasi radio digital, bersama-sama RRI Bandung, RRI Jakarta, dan RRI Surabaya.

Penulis: Tri Wahyu Handayani dan Mutiara Sidharta

Gambar unggulan: Frans Mendur (also Frans Mendoer) (1913 – 1971) – Photo attributed to the Department of Information [1]Presidential Documents, National Library of Indonesia [2], Domain Publik.

Mutiara Sidharta
Mutiara Sidharta
Articles: 10

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *