Komang: Kisah Manis Tanpa Gula

Memanfaatkan cuti lebaran yang belum tuntas, saya dan suami memutuskan nonton bioskop berdua. Pilihan jatuh pada film Komang. Penutup liburan yang kami anggap lebih pas daripada film tentang demit atau perselingkuhan.

Sempat agak pesimis karena jam tayangnya sudah sangat sedikit, kami akhirnya berhasil menonton film besutan Naya Anindita, yang sebelumnya sukses menjadi sutradara web series Imperfect the Series ini, di sebuah bioskop yang ada di alun-alun kota Bandung.

Anyway, di luar perkiraan saya, studio tempat Komang diputar cukup penuh. Mungkin banyak juga yang perlu kisah manis tanpa embel-embel gula. Kiri kanan tempat kami duduk, isinya pasangan-pasangan tak lagi muda. Nontonin kisah kasih anak muda memang hiburan yang menyenangkan untuk nostalgia.

Komang diangkat dari kisah nyata Raim Laode, seorang komika sekaligus musikus Indonesia, dan isterinya yang bernama Komang Ade. Berlatar belakang kota Bau-Bau di pulau Buton, kisah mereka merupakan gambaran nyata dari hal yang mungkin terjadi di negara dengan penduduk dari berbagai suku bangsa.

Raim Laode dan Komang Ade di kehidupan nyata.

***

Raim adalah pemuda muslim asal Sulawesi yang taat menjalankan agamanya. Sementara Komang adalah gadis hindu berdarah Bali yang masih memegang erat adat dan tradisi kepercayaannya. Takdir mempertemukan mereka ketika Komang menonton pertunjukkan stand up comedy dengan Raim sebagai salah satu penampilnya.

Dari seluruh komika yang unjuk gigi, hanya Raim yang berhasil membuat Komang tertawa.

Pucuk dicinta ulampun tiba, Raim dan Komang bertemu kembali di situasi yang lain. Cinta pada pandangan pertama memang benar adanya. Dari detik pertama Raim melihat Komang, hatinya sudah tertambat pada gadis manis itu. Begitupun dengan Komang, yang langsung menjatuhkan pilihan hatinya pada pemuda ceria tersebut.

Sayangnya cinta keduanya tidak bisa berlanjut begitu saja. Ada tembok tinggi yang sukar untuk dilalui. Seperti kata Raim, kiblat mereka berbeda.

Tak begitu menjadi ganjalan bagi Raim yang sudah siap melihat ke sisi seberang tembok dengan hati yang terbuka. Begitupun dengan ayah, ibu, dan kakaknya yang sudah bersedia menyesuaikan diri dengan pilihannya.

Raim berasal dari keluarga yang hangat. Menerima Komang apa adanya.

Tapi perbedaan menjadi masalah besar bagi Komang yang harus berhadapan dengan keengganan ibunya. Bagi wanita itu, hidup akan lebih mudah bagi Komang jika memilih jodoh yang sekufu. Keraguan Ibunya membebani Komang, terutama saat dia kurang yakin dengan pilihan hatinya. Apalagi salah satu mimpi Komang adalah membahagiakan wanita yang telah melahirkannya tersebut.

Konflikpun muncul dari kesalahpahaman, ketika Raim yang bertekad mengejar mimpinya sebagai stand up comedian dan musikus harus meninggalkan Komang. Membuat gadis itu makin lama makin tak yakin dengan kepastian hubungan mereka.

Menurut Ibunya, pada akhirnya Komang akan lebih bahagia dengan jodoh yang punya latar belakang yang sama dengannya

Untuk yang ragu menonton film ini karena membawa-bawa perihal agama, tidak perlu khawatir. Walaupun latar belakang ceritanya memang perbedaan keyakinan, di film ini semuanya ditampilkan secara natural. Perbedaan yang ada tidak menjadi dasar utama dari konflik cerita.

Dari awal Raim dan Komang sadar betul bahwa perjalanan cinta mereka tidak akan mudah karena perbedaan tersebut. Film ini memang menangkap lika-liku kisah mereka untuk dapat bersatu dengan restu, tapi resolusinya santun dan anggun tanpa menyinggung pihak manapun.

***

Hal yang mencolok dari film berdurasi 1 jam 47 menit ini adalah akting para pemerannya yang sangat memikat. Semuanya pas dan enak dilihat. Tidak ada satupun yang bermain kaku atau memaksakan diri. Kudos untuk casting director-nya!

Aurora Ribero sebagai Komang memukau dengan logat dan gerak gerik yang sangat luwes sebagai gadis Bali. Sementara Kiesha Alvaro menawan dengan ekspresi wajah yang hidup. Membuat orang dengan mudah terbawa oleh emosi tokoh yang dimainkannya.

Menurut saya, di film ini Kiesha Alvaro berhasil debut sebagai pemain utama yang mengesankan. Tak akan mengherankan jika setelah Komang, akan ada banyak sutradara dan produser film yang ingin menjadikan putra dari musikus Pasha Ungu ini sebagai pemeran utama.

Pemeran lainnya, seperti Mathias Muchus dan Cut Mini Theo tidak diragukan lagi kualitas aktingnya. Kemunculan Mathias Mucus memang singkat, tapi penampilannya menjadi dasar yang solid untuk adegan yang, saya yakin, membuat satu studio menangis.

Sementara Ayu Laksmi dengan raut muka stoic sepanjang penampilannya, membuat efek yang mengugah hati ketika akhirnya ekspresi kaku tersebut luluh di penghujung film. Lalu Arie Keriting dengan ad libs-nya membuat suasana menjadi ringan, bahkan ditengah adegan yang menguras emosi jiwa.

Penampilan Mathias Muchus yang singkat tapi penuh makna.

***

Satu hal yang saya sayangkan dari film ini adalah pengambilan gambarnya yang menurut saya kurang artistik. Kebanyakan adegan disorot dari jarak dekat sehingga mengesankan seperti dalam studio atau menggunakan layar hijau. Tidak banyak adegan landscape atau pengambilan gambar dari jarak jauh. Padalah syutingnya sendiri berlangsung di Buton yang terkenal karena keindahan pantainya.

Mungkin keterbatasan dana atau memang pilihan artistik supaya ekspresi para pemerannya lebih menonjol daripada pemandangan latar belakang adegannya.

Kebanyakan adegan diambil dari jarak dekat.

Hal lainnya adalah tambahan adegan childhood connection ala Drama Korea yang menurut saya tidak ada esensinya. Tidak terlalu menganggu sih hanya kurang penting saja.

Childhood connection yang menurut saya agak dipaksakan.

***

Keistimewaan cerita Komang memang ada pada ketulusan hati para tokoh di dalamnya. Tidak ada yang berniat jahat. Tidak ada yang berperilaku buruk. Tidak ada yang dramatis. Tapi mungkin karena itulah filmnya jadi sangat menyenangkan untuk dinikmati.

Sebuah film sederhana bertema cinta yang berhasil mencentang semua syarat sebagai film romantis: (1) Pertemuan pertama yang manis, (2) Kisah cinta yang meyakinkan, (3) Tantangan yang solid, dan (4) Penyelesaian yang memuaskan.

Tapi apapun itu, saya sama sekali tidak merasa rugi menonton film ini, sebagai penutup masa liburan yang menyenangkan.

Restu Eka Pratiwi
Restu Eka Pratiwi
Articles: 37

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *