Coba siapa pembaca Mamah Gajah Ngeblog yang gemes dengan tingkahnya Sheldon Cooper, si anak genius dalam serial TV Young Sheldon? Sebagai informasi, Sheldon ini adalah anak yang masuk College di usia 11 tahun, lulus di usia 14 tahun, dan mendapatkan PhD-nya di usia 16 tahun.
Perilakunya yang egois, sulit bersosialisasi dengan orang, cenderung sombong dan kasar, bikin kita sebagai penonton bisa merasakan beratnya tantangan mengasuh anak seperti ini. Beneran deh ya, tiap keluarga itu ada tantangannya masing-masing. Tetap semangat ya Mah, untuk mendampingi anak-anak dan keluarga!
Kebetulan sekali, Persona kami bulan ini adalah Mbak Yanti Herawati yang bisa kita ajak berbagi mengenai keseruannya membesarkan anak dengan bakat spesial.
Di tahun 2017, Mbak Yanti sempat ramai diberitakan dalam media-media nasional. Saat itu putra keduanya, Izzan diterima di jurusan Matematika ITB melalui jalur SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dalam usia 14 tahun. Sebenarnya ini adalah percobaan kedua Izzan, setelah tahun sebelumnya ia gagal lolos. Izzan sendiri telah lolos Paket C pada tahun 2016 saat usianya 13 tahun.
Itu sebabnya saya senang sekali ketika Mbak Yanti bersedia menyempatkan waktu untuk bertemu di kampus ITB pada akhir Mei lalu. Rasanya banyak sekali yang saya kepoin dari Mamah satu ini mengenai pengalaman membesarkan putra-putrinya.
Bukan hanya Izzan yang unik, tapi juga putri pertamanya Nanda yang kuliah di Teknik Geologi ITB angkatan 2015 dan si bungsu Fadhil yang saat ini tengah menempuh pendidikan di Filsafat UI angkatan 2022.
Mamah yang lain penasaran juga nggak?
Masa Penuh Tantangan
Saya sebenarnya sudah cukup lama mengenal Mbak Yanti sebagai sesama anggota ITBMotherhood. Dari sejak tahun 2009, Mbak Yanti biasa membagikan catatan di FB-nya tentang kegiatan anak-anaknya. Beberapa catatan itu akhirnya dikemas rapi dan dibukukan dengan judul Melihat Dunia, Delapan Tahun Pergulatan Memahami Anak Gifted dengan Keluarbiasaan Ganda (Bentang, 2016).
Saya sangat mengagumi cara Mbak Yanti merekam pengalamannya dalam buku tersebut. Begitu rinci, mengalir, jujur dan tidak membosankan. Dan uniknya, tidak lekang waktu.
Tapi ternyata mendengar ceritanya langsung dari Mbak Yanti bisa lebih menarik dari pada sekedar membaca bukunya. Karena kita tahu, apa yang terjadi beberapa tahun kemudian.
Kejujuran Mbak Yanti membagikan masa-masa berada di titik nadir kehidupan dalam untaian kalimat di buku setebal 331 halaman itu, membantu para Mamah yang bisa jadi berada dalam kondisi yang sama. Ada saatnya kita begitu lelah secara fisik, emosi, hingga dompet.
Saat anak-anaknya kecil, Mbak Yanti juga berada di masa-masa yang berat. Bayangkan saja, memiliki 3 anak kecil yang mengalami masalah alergi yang serius dan perilaku yang sulit dipahami, kondisi finansial yang masih jauh dari stabil, dan suami yang harus bekerja di luar kota.
Ditambah lagi, alumni Planologi 89 ini merasa memiliki luka batin pengasuhannya sendiri dari masa kecil yang mempengaruhi emosinya saat bersama anak-anak. Merasa sulit dipahami dan dianggap tidak pintar oleh lingkungan ternyata sangat berbekas dalam diri Mbak Yanti.
Masalah Kesehatan Anak-anak
Bisa jadi karena lahir prematur, ketiga anak Mbak Yanti mengalami sejumlah masalah kesehatan yang cukup berat pada masa balita mereka.
Nanda yang lahir dalam usia 8,5 bulan mengalami kelainan kelenjar air mata. Hal tersebut membuatnya sering mengalami sakit mata hingga usianya 8 bulanan.
Ditambah lagi ia sangat peka dengan kondisi udara dan makanan yang dikonsumsinya. Nanda kecil mudah terserang batuk, pilek, dan diare hingga usia 3,5 tahun. Repotnya, mereka belum punya mobil pribadi, jadilah harus mengandalkan taksi kemana-mana kalau butuh membawa Nanda.
Izzan lahir saat usia Nanda hampir 5 tahun. Masalah kesehatan Izzan kecil adalah katup lambungnya yang belum tumbuh sempurna. Ini menyebabkannya selalu muntah proyektil yang bisa mencapai belasan kali dalam sehari. Untuk menjaga agar tidak muntah, setiap selesai menyusui, Mbak Yanti harus benar-benar menjaga posisi bayinya tegak dan suasana yang hening. Untungnya si Kakak yang memang mendambakan adik laki-lakinya ini bisa diajak bekerja sama.
Ketika Izzan menginjak usia 11 bulan, Mbak Yanti hamil anak ketiga. Izzan pun terpaksa disapih lebih awal. Ditambah lagi Mbak Yanti mengalami Plasenta Previa total yang membuatnya perlu lebih banyak bedrest.
Fadhil lahir di usia kandungan 8 bulan 1 minggu. Saat itu kondisinya bilirubinnya masih tinggi hingga 1 bulan. Ternyata kondisi tersebut mempengaruhi perkembangan otak anak. Istilahnya ada minor brain damage yang bisa jadi menjadi penyebab Fadhil mengalami disleksia dan sering tantrum.
Masalah Perilaku Anak-anak
Seiring waktu, anak-anak tumbuh dengan keunikannya masing-masing yang tidak bisa dibilang sederhana juga.
Bisa jadi Izzan yang paling menyita perhatian karena perilaku agresifnya yang lumayan ekstrim. Seperti memiliki hobi menabrakkan diri ke anak lain sehingga anak lain terjatuh, hobi melempar barang atau batu-batuan ke genteng, membongkar dan merobek barang-barang, serta kenakalan-kenakalan lain yang membuatnya dijauhi oleh orang-orang disekitarnya.
Duh, ibu mana yang tidak sedih anaknya mendapat perilaku seperti itu.
Dalam satu sesi psikolog, sempat disampaikan bahwa Izzan itu secara fisik adalah anak 7 tahun, namun memiliki kecerdasan anak usia 16 tahun, sementara emosinya di level anak 4 tahun. Ini bagaikan menghadapi 3 anak dalam 1 badan.
Mbak Yanti juga mengalami anak dengan perilaku tantrum. Ini terjadi pada Fadhil. Ia bisa mengamuk hanya karena tidak sengaja pesanan minumannya diminum oleh ibunya.
Kalau anak-anak sudah tantrum, tidak ada yang bisa dilakukan selain menjaganya agar tidak melakukan sesuatu yang ekstrem. Tidak bisa dilarang atau dimarahi karena itu tidak akan mempan.
Kebayang nggak sih kalau melihat seorang ibu yang punya anak dengan perilaku mengganggu, pastinya banyak orang yang gatal untuk menghakimi. Membuat si ibu makin terpuruk atau malah defensif. Kita sepertinya perlu belajar dari salah seorang teman Mbak Yanti yang akhirnya bisa memberikan saran yang tepat.
Menurut cerita Mbak Yanti, temannya ini adalah seorang psikolog dan punya anak seumuran Izzan. Ia menyampaikan kalau kondisi Izzan seperti tidak biasa dan perlu perlakuan khusus. Karena dilihat agresifnya tidaklah biasa.
Dari situlah Mbak Yanti sadar untuk mulai serius mendatangi sejumlah psikolog untuk mencari tahu apa yang bisa dilakukan untuk membuat anak-anaknya bahagia.
Bagaimana Melalui Masa Berat
Setiap orang punya tantangannya masing-masing. Masa-masa berat sebagai orang tua adalah sebuah keniscayaan yang memang perlu diterima.
Namun sebagai Mamah yang cerdas, tentunya kita perlu aktif juga untuk bisa menemukan solusi dari tantangan hidup ini. Nah ini nih, yang bikin saya kagum sama sosok persona MGN kali ini. Mbak Yanti dalam kondisi terpuruknya, tetap berusaha aktif mencari tahu apa yang mungkin bisa ia lakukan untuk anak-anaknya.
Menulis
Dari hasil Googling, Mbak Yanti menemukan sebuah terapi bagi orang-orang yang mengalami gangguan emosi, gangguan fokus, konsentrasi, impulsivitas, dan interaktif dengan metoda yang namanya Da Vinci. Prinsipnya adalah menyalurkan energi untuk sesuatu yang produktif seperti menulis.
Dari situlah hobi menulisnya berkembang. Ia menulis apa saja yang terlintas dalam pikiran. Berhubung yang banyak menyita pikirannya adalah kondisi anak tengahnya yang unik, maka itulah yang banyak jadi isi tulisannya.
Dari tulisan yang rutin dibagikan di laman FB-nya, terjadilah banyak interaksi dengan orang-orang. Mbak Yanti mulai terhubung dengan orang-orang yang bisa membantunya untuk memahami anak-anak.
Konsultasi dengan Psikolog
Untuk memahami anak-anak, ia pun menyadari perlunya diagnosa dari orang-orang yang lebih ahli mengenai perkembangan anak-anaknya yang unik. Tidak kurang dari 9 psikolog dan biro psikologi yang pernah mereka hubungi. Semua cerita tentang pengalaman ini dituliskan dalam buku Melihat Dunia.
Kapan kita merasa perlu bantuan Psikolog? Bukankah perilaku anak-anak bisa kita anggap wajar dan nanti akan berubah sendiri saat mereka dewasa?
“Saya juga awalnya berpikir begitu,” kata Mbak Yanti.
Tapi ternyata akhirnya memang ada batasnya. Yaitu ketika anak-anak kita membahayakan orang lain atau dirinya sendiri. Di situ kita mulai memerlukan second opinion untuk bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Jika memang memerlukan terapi, bisa dilakukan dengan cepat.
Menurut Mbak Yanti, faktanya banyak orang dewasa yang sebenarnya masih punya gejala sisa.
“Anak-anak dengan kecenderungan gangguan belajar hanya sedikit yang bisa berhasil dalam hidup dan mengeluarkan potensi terbaik mereka jika tidak ditangani dengan benar.”
Mendampingi anak Homeschooling
Ketika anak terlihat perlu bimbingan khusus, Homeschooling menjadi solusi yang dipilih keluarga ini. Tepatnya saat Nanda kelas 5, mereka memulai program belajar di rumah.
Dengan belajar di rumah, anak-anak bisa lebih fleksibel belajar bidang yang mereka minati. Terlebih untuk Izzan yang cenderung hanya menyukai bidang-bidang tertentu saja.
Nanda dan Izzan mengikuti ujian paket A untuk mendapatkan kesetaraan ijazah SD pada tahun 2010. Saat itu Nanda berusia 12 tahun dan Izzan yang sudah mengikuti pelajaran seperti kakaknya berusia 7 tahun 10 bulan.
Ujian paket B untuk kesetaraan ijazah SMP baru bisa mereka ikuti 3 tahun kemudian pada 2012. Setelah itu Nanda memilih masuk ke sekolah formal di SMA Labschool. Dari situlah jalannya untuk bisa lolos jalur SBMPTN 2015 ke jurusan Teknik Geologi ITB.
Sementara Izzan tetap melanjutkan Homeschooling dan mengikuti Ujian Paket B pada 2013 dan Paket C pada 2016. Pada tahun itu mereka sempat bingung dalam mengisi nomor induk peserta didik yang diminta diinput pada lembar jawaban. Karena sebagai anak Homeschooling, Izzan tidak memiliki nomor induk.
Bisa jadi faktor kegagalan Izzan di tahun pertama percobaannya menembus SBMPTN. Baru pada tahu kedua diinformasikan kalau nomor tersebut memang harus diisi dengan angka 0 saja. Yang penting tidak boleh kosong. Benar saja, di tahun 2017 Izzan bisa merasakan jadi mahasiswa ITB termuda di usia 14 tahun 8 bulan.
Menikmati Hobi
Saya rasa faktor penting lain yang perlu diapresiasi adalah usaha Mbak Yanti untuk tetap bisa melakukan hobinya yang dekat dengan alam.
Mbak Yanti sendiri sempat menjadi Ketua Unit Kegiatan Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Ganesha ITB. Hingga kini, ia masih aktif di komunitas pecinta alam. Ia suka naik gunung dan traveling naik sepeda.
Sejak anak-anak kecil, kegiatan jalan-jalan selalu menjadi bagian dari hidup mereka. Anak-anak senang karena mengekplorasi alam, Mamanya juga bahagia.
Cerita Keluarga
Kebetulan sekali saat ngobrol bersama Mbak Yanti, saya berkesempatan untuk bertemu dengan Nanda yang tengah liburan dari pekerjaannya sebagai Geologist di PT Merdeka Copper Gold Gorontalo.
Salah satu rasa penasaran saya yang terbesar dari tiga bersaudara ini apakah ada rasa cemburu dengan saudara mereka yang sepertinya menyita banyak perhatian orang tua dan bahkan publik.
Kalau menurut Nanda, ia nggak cemburu sih. Bahkan bisa ikut bangga dengan adiknya. Pada dasarnya Nanda memang anak yang cenderung mandiri sejak kecil. Ia bisa asyik main sendiri, membaca, atau menulis untuk mengisi waktunya.
Bahkan saking mandirinya, ia bahkan sempat tidak merasa perlu menyampaikan ke orang tuanya ketika ia demam selama beberapa hari. Ia baru sadar itu berbeda setelah temannya ada yang begitu mudah untuk menyampaikan segala sesuatu ke orang tua mereka.
Tiap anak memang punya karakternya masing-masing ya.
Selain Nanda, hadir juga sang kepala rumah tangga, Mas Mursid Widjanarko. Kalau menurut Mas Mursid, masalah pengasuhan anak-anak memang teknisnya lebih banyak dipegang oleh Mbak Yanti.
“Memang selalu dibicarakan berdua, walau Yanti lebih banyak menentukan arahnya,” kata Bapak lulusan TI 89 ini. Kalau pun ada yang berbeda pandangan, seperti kapan anak perlu disiplin dengan jadwal dan kapan anak bisa menentukan targetnya sendiri, mereka berdua bisa mengkompromikannya.
Punya teman diskusi itu memang penting ya Mah.
Buku Melihat Dunia
Pengalaman membesarkan anak yang luar biasa kan ya Mah? Buat Mamah-mamah yang tertarik untuk mengetahui pengalaman Mbak Yanti dengan lebih lengkap, saya sarankan untuk membaca dan memiliki buku Melihat Dunia.
Dari buku terbitan Bentang Pustaka tahun 2016 ini kita sekaligus bisa belajar bagaimana cara seorang ibu mencatat perkembangan putra-putrinya dengan begitu detail namun tetap asyik untuk dibaca. Karena Mbak Yanti menceritakan pengalamannya dengan jujur dan apa adanya. Ya seru, ya sedih, ya kocak juga. Ah… begitu lah ya perjalanan menjadi orang tua.
Buat yang tertarik membeli buku ini, bisa langsung japri ke FB Mbak Yanti Herawati. Kebetulan masih ada beberapa stok buku dengan harga Rp 60.000,- saja.
Penutup
Tidak terasa sudah ribuan kata tercurahkan dari hasil ngobrol hampir 4 jam kebersamaan kami. Mbak Yanti beneran teman ngobrol yang asyik deh, terutama untuk pengasuhan anak-anak.
Belajar dari pengalaman Mbak Yanti, perlu digarisbawahi pentingnya percaya pada anak dan mencintai mereka tanpa syarat.
“Jangan pernah menganggap anak itu harus seperti apa yang ada dalam bayangan kita. Memaksakan anak mengikuti norma standar yang berlaku umum belum tentu benar. Saya ibu yang banyak salah juga.”
Yanti Herawati, Planologi ITB 89
Dari sana, kita bisa mencoba untuk aktif mencari solusi dengan banyak membaca dan bertanya kepada para ahli agar kita dapat mengambil keputusan terbaik untuk perkembangan dan pertumbuhan anak-anak.
Dan percayalah bahwa masa-masa sulit akan berlalu. Kini ketiga putra-putri Mbak Yanti dan Mas Mursid sudah mandiri. Nanda dan Izzan sudah mendapatkan pekerjaan yang baik. Izzan bahkan sudah bisa kos dan masak sendiri untuk menjaga kesehatannya. Dan si bungsu Fadhil tengah kuliah.
Saya benar-benar merasa beruntung bisa membagikan pengalaman luar biasa ini kepada para Mamah semua. Mudah-mudahan banyak Mamah yang mungkin punya masalah dalam membesarkan anak-anak yang membutuhkan perhatian lebih bisa mendapatkan semangat dan inspirasi.
————-