time line

Apa Makna Merdeka? Berguru Kepada Inggit Garnasih

Merdeka!

Sekali merdeka tetap merdeka!

Bendera merah putih telah berkibar gagah di seantero Nusantara jelang perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2024. Tak ketinggalan banyak kegiatan tujuh belasan yang dilaksanakan oleh warga dengan segala kemeriahannya.

Bendera merah putih berkibar di gerbang kampus ITB Jalan Ganesha 10. Sumber: dokumen pribadi.

ITB dan Presiden Soekarno

Akhir pekan lalu, aku berkesempatan berkunjung ke kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jalan Ganesha 10. Tampak di pintu gerbang telah berkibar bendera merah putih. Entah mengapa hatiku bergetar dan terasa haru yang menjalar hingga tak terasa ada tetes airmata yang membasahi pipi.

Adakah demikian juga perasaan Mamah? Ketika melihat bendera merah putih yang berkibar.

Tampak latar jam legendaris di koridor utama kampus ITB. Sumber: dokumen pribadi.

Langkahku bergegas menuju ke Plaza Widya Nusantara untuk memotret sebuah monumen yang berisi kalimat ucapan selamat dari Presiden Soekarno. Beliau adalah alumni ITB atau Technische Hoge School (THS) dari Teknik Sipil. Kisah kesuksesan Soekarno sebagai mahasiswa THS tidak lepas dari peran seorang perempuan lembut dan baik hati bernama Inggit Garnasih.

Monumen di Plaza Widya Nusantara yang ditandatangani Presiden Soekarno. Sumber: dokumen pribadi.

Aku memiliki sebuah koleksi buku berjudul ‘Di Bawah Bendera Revolusi‘ sebagai rujukan belajar sejarah dari surat-surat dan karya tulis Soekarno. Terdapat foto-foto yang bernilai sejarah tinggi termasuk foto Soekarno saat kuliah di THS.

Soekarno dan teman-temannya sesama mahasiswa ITB atau student THS. Sumber: buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’.

Inggit Garnasih Cinta Pertama Soekarno Muda

Menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, tentu kita sebagai anak bangsa kembali bersemangat menilik sejarah. Dalam buku ‘Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah’ karya Mulyono, salah satu tokoh hebat itu bernama Inggit Garnasih yang dilahirkan pada 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Bandung. Soekarno lahir 6 Juni 1901 di Peneleh Surabaya. Soekarno menjadi mahasiswa di THS tahun 1922.

Perbedaan usia dan status tidak menjadi penghalang berseminya cinta di antara mereka. Inggit dan Soekarno menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Soekarno yang saat itu sedang studi di THS. Pada  surat pernikahan tersebut tertulis usia Soekarno adalah 24 tahun saat menikah dan Inggit 23 tahun. Padahal sebenarnya, Soekarno 22 tahun dan Inggit 35 tahun. 

Inggit dan Soekarno. Sumber: Wikipedia.

Merenungkan jejak kisah cinta Inggit pada Soekarno, bukan sekadar istri. Namun, lebih dari itu, dia menjelma sebagai sosok  ‘ibu’, kekasih, sekaligus sahabat terdekat dalam perjuangan. Perpaduan karakter perempuan hebat ini mencerminkan maternalitas dan feminitas. Inggit hadir pada saat-saat yang paling menentukan dan mampu menjadi tempat berbagi kala Soekarno dilanda kesulitan.

Inggit Garnasih Pendukung Pendidikan Soekarno

Inggit yang menikahi seorang lelaki yang masih kuliah, tentu sadar betul bahwa suaminya tidak memiliki penghasilan. Meski Soekarno menerima kiriman uang dari orang tuanya setiap bulan. Uang tersebut hanya cukup untuk biaya kuliahnya. Inggit merasa berkewajiban ‘mengemong’ Soekarno supaya cepat meraih gelar sarjana. Salah satu kesulitan dan kegelisahan itu bermula saat Soekarno berjuang menamatkan kuliah di THS.

Kala itu Soekarno tak punya biaya yang cukup. Inggit berjuang dengan berjualan jamu untuk membiayai kuliah Soekarno hingga menyandang gelar insinyur. Saat itu, dengan bangga, Inggit mengatakan, ”Aku merasa, aku bukan perempuan sembarangan. Aku telah membuktikannya. Aku selamat mendampinginya sampai di tempat yang dituju. Tujuan yang pertama tercapai sudah. Dia lulus dengan membuat sebuah rencana pelabuhan dan meraih gelar insinyur sipil (Ramadhan K.H., 2002).”

Soekarno akhirnya lulus dari THS pada tahun 1926. Beliau satu dari empat orang pribumi yang berhak menyandang gelar insyinyur. Sumber: buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’.

Pada Dies ke-6 tanggal 3 Juli 1926, dari 22 orang kandidat insinyur yang lulus berjumlah 19 orang dengan 4 orang di antaranya adalah pribumi. Saat itulah untuk pertama kalinya THS menghasilkan insinyur orang Indonesia. Salah satu dari keempat orang itu adalah Soekarno: Bapak Proklamator sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia.

Sejarah mencatat, tak bisa dibantah lagi bahwa keberhasilan Soekarno dalam meraih gelar insinyur tidak lepas dari jasa Inggit. Soekarno bahkan mengakui kalau ia berhutang budi kepada Inggit yang tak terlunaskan seumur hidupnya. Inggit adalah ratu di hati Soekarno. So sweet ya Mah …

Inggit Garnasih Tetap Setia Saat Soekarno di Penjara

Kala Soekarno muda yang gigih mengemukakan pikiran-pikiran tentang nasionalisme dan kemerdekaan bangsa, Inggit menjadi tempat aman dan nyaman bagi Soekarno. Saat Soekarno didera kegelisahan, Inggit juga mampu meredakannya dengan kasih sayang dan kedewasaan.

Pada tahun 1927, Inggit menjadikan rumahnya sebagai tempat deklarasi berdirinya organisasi politik Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Soekarno ditangkap polisi Belanda pada 29 Desember tahun yang sama dan dimasukkan ke Penjara Banceuy Bandung. Dengan beragam taktik, Inggit berhasil masuk penjara untuk mengirimkan pesanan Soekarno seperti uang, makanan, koran, dan buku. Inggit rela berpuasa selama tiga hari agar bisa menyelipkan buku di dalam kain kebaya yang dikenakannya. Dari perjuangan itulah, lahir teks pidato Indonesia Menggugat.

Aku berkunjung ke Penjara Banceuy Bandung. Sumber: dokumen pribadi.

Tak dapat dipungkiri, sejarah mencatat kesetiaan Inggit kepada Soekarno juga terbukti kala ia menjual segala miliknya. Termasuk rumah keluarga dari ibunya dilepas dengan ikhlas, kala Soekarno diasingkan ke Ende Flores tahun 1933. Selama lima tahun, Soekarno bersama Inggit hidup dalam pembuangan. Pada tahun 1938, mereka pindah ke Bengkulu karena Soekarno terserang malaria. Inggit tetap setia mendampingi Soekarno.

Bukan waktu sebentar, selama 20 tahun, Inggit setia mendampingi Soekarno.

Akhinya Inggit pun melepaskan Soekarno yang dicintainya kepada Fatmawati dan meminta untuk dipulangkan ke Bandung. Mereka resmi bercerai pada 29 Januari 1943 dengan perjanjian di bawahnya berupa jaminan hidup dan tunjangan yang disaksikan oleh Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H Mas Mansoer. Inggit berbesar hati melepas Soekarno yang ingin memperoleh keturunan untuk menikahi Fatmawati. Inggit tidak bersedia dimadu, begitu pula Fatmawati.

Inggit Garnasih dan Makna Merdeka

Merdeka!

Sekali merdeka tetap merdeka.

Siapa pun pasti merasa, bahwa bercerai adalah jalan pedih dan pahit tapi sekaligus solusi yang melegakan. Meskipun saat itu Soekarno tidak menginginkannya. Inggit perempuan tegar, tetap teguh pada pendiriannya. Ia juga tak menikah lagi hingga akhir hayat.

Inggit tak dendam kepada Soekarno juga kepada Fatmawati. Cintanya tetap sepenuh hati walau tak harus bersatu dalam rumah tangga. Merdeka dalam arti menentukan pilihan hidup yang lebih membahagiakan bagi diri, tanpa harus menyakiti orang lain.

Inggit tahu persis bahwa merdeka itu bisa juga bermakna cinta tak harus memiliki. Bukankah para pejuang yang gugur dalam merebut kemerdekaan juga rela melepaskan harta bahkan jiwanya? Inggit rela memberikan cinta, waktu, dan hartanya untuk perjuangan seorang Soekarno dalam meraih pendidikan tinggi di THS maupun sebagai tokoh politik di PNI.

Cinta sejati tak lekang oleh waktu.

Hingga usia senja, Soekarno tetap mengingat Inggit. Bahkan, saat Inggit terbaring sakit, Soekarno datang mengunjungi. Kala itu Soekarno bertanya, ”Sakit apa, Nyai?” Inggit hanya menjawab singkat, ”Biasa Ngkus, penyakit rakyat” (Nuryanti, 2006).

Siapa sangka, pertemuan pada 1960 itu menjadi percakapan terakhir. Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Juni 1970, Soekarno wafat. Dengan badan ringkih, Inggit datang ke Jakarta untuk melihat jasad Soekarno terakhir kalinya. Saat itu terdengar suara sayu Inggit, ”Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun…” (Nuryanti, 2008).

Saat Fatmawati hadir melalui karangan bunga, Inggit datang dengan raga dan doa.

Teh Hani anggota MGN menyempatkan berkunjung ke Museum Inggit Garnasih di Ciateul, Bandung. Sumber: dokumen pribadi teh Hani.

Inggit meninggal dunia pada 13 April 1984 pada usia 96 tahun dan dimakamkan di TPU Caringin, Bandung. Tugasnya menemani Soekarno dan baktinya untuk negaranya selesai hari itu. Kita saksikan di tengah kerimbunan pohon dan sejuknya udara Bandung, si geulis ini beristirahat selamanya. Selain itu, demi mengenang jasanya maka kediamannya dijadikan museum dan Jalan Ciateul diganti menjadi Jalan Inggit Garnasih.

Rumah Bersejarah Inggit Garnasih

rumah bersejarah inggit ganarsih
Rumah bersejarah Inggit Garnasih. Sumber: Hani.

Sebuah rumah sederhana tapi apik bergaya tahun 1930-an terletak di jalan Inggit Ganarsih no 8, Bandung (dulu jalan Ciateul) sempat disambangi oleh Teh Hani, MGN yang menetap di Bandung.

Rumah ini hampir tersembunyi di antara hamparan barang dagangan pedagang loak dan barang pre-loved di sepanjang jalan ini.

Begitu masuk halaman ada teras kecil kemudian masuk ke ruang tamu, di sebelah kiri ada ruang study kecil. Masuk ke dalam sepertinya living room, di sebelah kiri kamar tidur utama, dan sebelah kanan dua ruangan kecil, untuk membuat jamu dan tempat jualan.

ruang tamu
Ruang tamu dengan lantai khas bangunan kolonial. Sumber: Hani.
living room
Living room dan pintu ke kamar tidur utama. Dinding dihiasi foto-foto bersejarah. Sumber: Hani.

Nyaris tidak ada furniture untuk menggambarkan suasana masa itu, tetapi di setiap ruangan terpampang foto-foto aktivitas Inggit dan suaminya, Soekarno.

Di belakang ada teras belakang, taman, dapur, kamar mandi, dan ruang kecil mungkin untuk pembantu.

teras dan halaman belakang
Teras dan halaman belakang. Sumber: Hani.

Rumah yang dipugar oleh Pemerintah Indonesia tahun 1997 ini terbuka untuk umum dan bisa dikunjungi setiap hari sampai pukul 17:00 WIB.

Dewi Laily Purnamasari
Dewi Laily Purnamasari
Articles: 12

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *