Di Indonesia, pendidikan tinggi masih menjadi sebuah kemewahan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan: dari 278,7 juta jiwa penduduk Indonesia hanya 10,15% yang berhasil meraih gelar sarjana. Angka ini sejalan dengan data yang dirilis OECD pada 2023 tentang negara dengan persentase lulusan pendidikan tinggi (sarjana, magister, doktor). Indonesia menempati posisi juru kunci di antara 44 negara alias paling bontot!
Mengapa Pendidikan Tinggi Penting?
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu menjawab Big Why: untuk apa sekolah tinggi-tinggi? UNESCO, badan PBB yang mengurusi soal pendidikan, seni, sains, dan kebudayaan, menjelaskan tentang pentingnya pendidikan tinggi.
Higher education is a rich cultural and scientific asset which enables personal development and promotes economic, technological and social change. It promotes the exchange of knowledge, research and innovation and equips students with the skills needed to meet ever changing labour markets. For students in vulnerable circumstances, it is a passport to economic security and a stable future.
Ada beberapa poin yang bisa digarisbawahi, yaitu:
- pengembangan diri,
- kemajuan ekonomi, teknologi, dan sosial,
- pertukaran ilmu pengetahuan, penelitian, dan inovasi,
- pembekalan keahlian untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja, dan
- jalan untuk mendapatkan keamanan dan kestabilan ekonomi.
Keahlian yang diperoleh selama kuliah (di dalam dan di luar kelas) dapat menjadi bekal untuk masuk ke dunia kerja. Pengalaman ikut proyek dosen hingga kegiatan kemahasiswaan dapat digunakan pula untuk menghias CV. #memanggilmantanaktivis
Selain itu, pendidikan tinggi juga membentuk cara pandang visioner dan kebiasaan berpikir kritis. Ini dibutuhkan, bahkan oleh ibu-ibu seperti kita, ya, Mah! Cung, siapa yang memilih sekolah anak pakai riset dan survei sana-sini?
Namun, di antara semuanya, faktor ekonomi adalah yang paling kasat mata. Penghasilan yang bisa didapat oleh seseorang dengan gelar sarjana lebih besar dibandingkan tamatan SMA atau di bawahnya. Kita tidak bisa menafikan kenyataan ini. Dengan posisi yang lebih bagus dalam pekerjaan, keuntungan lain dapat diperoleh, misal akses kepada asuransi kesehatan dari perusahaan.
Selain itu, pendidikan tinggi adalah “cara singkat” untuk mengeskalasi strata sosial. Kita sering mendengar cerita orang-orang yang berhasil mencapai karir gemilang ternyata berasal dari keluarga tidak mampu. Masa kecilnya diisi dengan aktivitas membantu ayah ibunya mencari uang sepulang sekolah. Alih-alih mengeluh, mereka tetap bersemangat untuk sekolah dan kuliah hingga akhirnya mampu mengangkat derajat keluarga.
Pendidikan Tinggi, Mahal!
Jika pendidikan tinggi penting, lantas mengapa persentase lulusan sarjana di Indonesia sangat rendah? Pasti penyebabnya multifaktor. Namun, tak dipungkiri kendala biaya merupakan salah satu penghambat terbesar bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi. Sebagai contoh, Uang Kuliah Tunggal (UKT) S1 ITB tahun ini mencapai 12,5 juta untuk jalur SNBP/SNBT dan 25 juta untuk jalur mandiri. Makanya, Mah, jangan heran jika ada yang bilang, “Kuliah itu mahal!”
Orang tua dengan latar belakang ekonomi rendah umumnya tidak menyiapkan dana pendidikan bagi anak-anaknya. Ibaratnya, untuk makan sehari-hari saja masih sulit, bagaimana mau menyisihkan uang untuk biaya sekolah/kuliah? Tak jarang kondisi ini mengakibatkan orang tua mesti berhutang untuk menutup biaya pendidikan. Kemungkinan terburuknya anak terpaksa berhenti bersekolah, bahkan pada jenjang dasar atau menengah.
Membuka Jalan Melalui Beasiswa
Sebenarnya banyak jalan yang dapat ditempuh untuk meraih kesempatan berkuliah asalkan anak (dengan dukungan orang tua) memiliki tekad kuat dan semangat tinggi. Salah satunya melalui beasiswa. Sumbernya bermacam-macam, bisa dari pemerintah, BUMN, swasta, lembaga amal, yayasan, alumni, ataupun kampus itu sendiri.
Alumni ITB, baik perorangan maupun komunitas/yayasan, tercatat aktif memberikan sejumlah beasiswa kepada mahasiswa ITB. Yuk, kita berkenalan dengan tiga di antaranya!
1. Beasiswa Mamah Gajah
Beasiswa yang diinisiasi oleh alumni ITB anggota komunitas ITB Motherhood Jaktangsel (Jakarta dan Tangerang Selatan) ini terbilang baru, yakni sejak Januari 2021. Berawal dari keresahan sejumlah anggota terhadap kisah mahasiswa ITB yang kesulitan biaya untuk melanjutkan kuliah, para mamah mulai bergerak untuk mengumpulkan donasi. Tidak berhenti sampai di situ, ide bergulir hingga akhirnya terwujudlah program yang lebih terorganisasi dalam bentuk Beasiswa Mamah Gajah. Saat ini ada 25 orang sukarelawan yang ikut terlibat dalam pengelolaannya.
Sejalan dengan komunitas ITB Motherhood yang beranggotakan perempuan, Beasiswa Mamah Gajah mengusung semangat women support women. Tak heran, lebih dari 80% donaturnya adalah alumni perempuan. Para mamah percaya bahwa makin banyak perempuan Indonesia yang memiliki pendidikan yang baik, makin besar efek positif bagi negara.
Beasiswa ini memiliki visi “memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada mahasiswi untuk dapat menyelesaikan kuliah S1-nya di ITB”. Dengan adanya bantuan finansial, harapannya tidak ada adik-adik mahasiswi yang harus berhenti kuliah.
Yang istimewa, Beasiswa Mamah Gajah adalah beasiswa ekonomi sehingga menekankan kriteria kurang mampu–seleksinya mencakup administrasi, wawancara, dan konfirmasi final ke Ditmawa–tanpa melihat prestasi akademik. Prinsip yang dipegang: prestasi akan bisa diraih setelah kendala biaya teratasi. Terbukti, penerima beasiswa yang semula kurang secara akademik dapat menunjukkan peningkatan performa setelah dibantu. Selain itu, adanya pendampingan secara personal dan kesempatan untuk meningkatkan soft skill melalui kelas skill development rutin setiap bulan menjadi nilai tambah beasiswa ini.
Seiring berjalannya waktu, beberapa kendala dialami, baik internal maupun eksternal. Misalnya, kendala waktu para pengurus yang merupakan sukarelawan yang memiliki kegiatan/pekerjaan utama lain. Sempat pula terjadi ketidaksesuaian dengan jadwal akademik ITB. Akibatnya, pembayaran UKT sangat mepet dengan tenggat waktu dari kampus. Dari sisi eksternal, ada beberapa donatur tidak mentransfer donasi sesuai dengan komitmen awal.
2. Beasiswa Alka (Alumni Teknik Kelautan)
Seperti halnya Beasiswa Mamah Gajah, Beasiswa Alka yang digagas oleh Alumni Teknik Kelautan ITB baru memasuki tahun keempat, tepatnya pada Mei mendatang. Sebagaimana namanya, Beasiswa Alka khusus menyasar mahasiswa S1 Prodi Teknik Kelautan. Donaturnya tentu alumni Teknik Kelautan, mulai dari angkatan 90-an hingga termuda angkatan 2018, dengan persentase terbanyak dari angkatan 2000-an.
Pada 2021, prodi mendata sebanyak 28% mahasiswa S1 Teknik Kelautan menghadapi kendala dalam melunasi biaya perkuliahan. Ditambah lagi, sebagai dampak dari pandemi Covid-19, beberapa orang tua mahasiswa mengalami kesulitan ekonomi. Karena itu, alumni Teknik Kelautan di bawah naungan Ikatan Alumni Teknik Kelautan berinisiatif untuk menginisiasi program beasiswa untuk membantu meringankan beban mahasiswa-mahasiswa tersebut. Harapannya, proses perkuliahan mereka tetap berjalan lancar.
Untuk mengembangkan jenis beasiswa dan program pembinaan, Beasiswa Alka memiliki roadmap yang terdiri dari tiga tahap. Saat ini Beasiswa Alka berada pada tahap expansion dan bervisi untuk menuju tahap sustainability. Ke depannya, beasiswa yang dikelola oleh sekitar 15 orang ini akan terdiri dari jenis yang lebih beragam, disesuaikan dengan urgensi kebutuhan mahasiswa Teknik Kelautan.
Nilai akademik (IP) tidak menjadi syarat seleksi Beasiswa Alka. Selama mahasiswa memang membutuhkan secara ekonomi dan memiliki semangat juang untuk lulus dari ITB, dia bisa mendaftar sebagai penerima beasiswa. Sebagai catatan, yang bersangkutan harus aktif pula di Keluarga Mahasiswa Teknik Kelautan (KMKL). Di samping UKT, penerima Beasiswa Alka juga memperoleh biaya hidup dan pembinaan–berikut bantuan pulsa untuk mendukung pembinaan yang dilaksanakan secara daring.
Setelah berjalan beberapa tahun, kendala terkait regenerasi pengurus mulai dirasakan. Namun, hal ini berhasil ditangani dengan merekrut anggota dari alumni yang dahulu merupakan penerima Beasiswa Alka. Mereka terlibat langsung sebagai panitia penyelenggara beasiswa.
3. Beasiswa YBG (Yayasan Bhakti Ganesha)
Beasiswa YBG telah berjalan selama 11 tahun sejak 2013 (dihitung sejak manajemen yang sekarang). Sebelumnya yayasan didirikan dan dikelola oleh alumni Teknik Elektro ITB. Beasiswa YBG yang dikelola oleh kurang lebih tujuh orang ini diinisiasi oleh alumni ITB angkatan ‘77 setelah melihat banyak mahasiswa yang kurang berprestasi sulit mendapat beasiswa. Pada umumnya mereka kuliah sambil bekerja mencari nafkah. Ini kemudian menjadi misi YBG terkait almamater ITB. Selain dari alumni ITB ’77, donasi juga berasal dari alumni ITB secara umum (fundraising).
Seperti halnya Beasiswa Mamah Gajah dan Beasiswa Alka, Beasiswa YBG menitikberatkan kondisi ekonomi mahasiswa. Mahasiswa yang mengalami kesulitan finansial dan belum mendapatkan beasiswa boleh mengajukan diri sebagai penerima Beasiswa YBG. Tentu disertai dengan syarat berikutnya: berkomitmen menyelesaikan kuliah. Pada proses seleksi diadakan wawancara dengan pengurus YBG dan dosen ITB. Kebanyakan penerima beasiswa berasal dari keluarga prasejahtera.
Di luar bantuan dana, YBG pernah memberi bantuan lain, seperti laptop dan sepeda untuk mahasiswa ITB. Sewaktu pandemi Covid-19, YBG memberi bantuan sembako karena saat itu banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan hidup. YBG juga mengadakan perjanjian kerjasama dengan organisasi lain dalam memberikan beasiswa untuk mahasiswa ITB.
Meski sudah berjalan cukup lama, YBG masih menemui kendala dalam hal menyeleksi penerima beasiswa. Tidak seperti dulu saat informasi tentang mahasiswa yang membutuhkan bantuan finansial didapat dari dosen ITB alumni ‘77, sekarang informasi tersebut lebih sulit diperoleh.
Penutup
Beasiswa alumni ITB merupakan salah satu opsi bagi mahasiswa untuk membantu pembiayaan kuliah. Sayangnya, penyebarluasan informasi mengenai macam beasiswa yang tersedia masih dianggap kurang oleh pengurus Beasiswa Mamah Gajah. Akibatnya, mahasiswa belum sepenuhnya mendapatkan informasi terkait.
Koordinasi pihak manajemen beasiswa ITB dengan prodi, termasuk dosen wali, turut disorot oleh pengurus Beasiswa Alka. Prodi diharapkan bisa mengingatkan mahasiswa untuk membayar UKT serta mengidentifikasi mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi. Pihak kampus sebaiknya melakukan peninjauan ulang terhadap mahasiswa yang mengajukan penurunan UKT, khususnya yang mengalami perubahan kondisi ekonomi keluarga.
Dengan pemberian beasiswa yang tepat sasaran, seharusnya skema pinjaman online di ITB tidak perlu terjadi, apalagi sampai dimuat di laman resmi ITB. Baik pengurus Beasiswa Mamah Gajah, Beasiswa Alka, maupun Beasiswa YBG sepakat bahwa pihak ITB seharusnya memaksimalkan pilihan pembiayaan lain, khususnya beasiswa. Dalam hal ini, dari alumni. Akan lebih baik lagi bila alumni diberi kabar tentang perkembangan terbaru, diajak duduk bersama, bahkan dilibatkan dalam memikirkan dan mencari solusi atas permasalahan pembiayaan kuliah mahasiswa.
Semoga di masa depan, makin banyak mahasiswa yang terbantu oleh beasiswa alumni ITB, ya, Mah. Sejatinya mahasiswa serupa bibit yang sedang disemai di ladang ilmu perguruan tinggi. Beasiswa alumni ITB akan membantunya tumbuh hingga kelak mekar dan mengharumkan nama almamater dan bangsa Indonesia. In Harmonia Progressio.
*****
Terima kasih kepada Teh Echa (Beasiswa Mamah Gajah), Teh Anasya (Beasiswa Alka), dan Bu Satya (Beasiswa YBG) atas kesediaannya untuk memberikan informasi tentang beasiswa terkait.
(Gambar andalan dibuat oleh redgreystock di Freepik)
[…] tahukah Mah? Masa sedih itu memiliki silver lining yang luar biasa. Bukan hanya bagi manusia, tetapi juga bagi bumi […]
[…] pilihan kedua Mamah Host sama, dan yang juga merupakan Juara 1 Favorit secara keseluruhan. Yappp, hat off untuk Mamah Andra (Amandra M. Megarani) yang mengangkat spesies Harimau Jawa dalam […]