Hallo para Mamah Gajah di mana pun berada! Dalam rangka Hari Tanpa Belanja yang jatuh pada tanggal 27 November, hari ini kita akan ngomongin dua kata yang sering dijodohkan orang: Perempuan dan Belanja.
Hari Tanpa Belanja atau Buy Nothing Day sendiri pertama kali muncul di Vancouver, Kanada dan diadakan di minggu yang sama dengan momen korting besar-besaran Black Friday. Hari Tanpa Belanja merupakan usaha perlawanan atas konsumerisme yang semakin membudaya di Amerika Serikat.
Ajang diskon sering membuat orang belanja melebihi kebutuhan. Konsumerisme bukanlah masalah dompet semata. Terlalu banyak berbelanja juga berdampak besar bagi lingkungan. Limbah kemasan barang belanjaan dan polusi yang ditimbulkan kendaraan pendistribusi barang belanja online memberi dampak signifikan bagi kelestarian lingkungan.
Sebelum saya menuliskan artikel ini, saya sudah mengadakan sebuah survei kecil-kecilan, mengirimkan sederetan pertanyaan melalui Google Forms kepada para Mamah Gajah yang bergabung di Mamah Gajah Ngeblog dan juga ITB Motherhood
Cerita perempuan dan belanja di bawah akan menampilkan beberapa kutipan dari Mamah-mamah yang sudah berpartisipasi dalam survei tersebut. Kutipan ini akan ditulis dengan kode: “Kata Mamah”
Belanja: hobby-nya perempuan?
Hari Tanpa Belanja membawa kita merenungkan arti belanja, dan mengapa ada anggapan bahwa perempuan identik dengan berbelanja.
Ada saatnya saya dihadapkan dengan pertanyaan: apakah hobimu? Misalnya ketika mengisi buku diary kenangan sahabat di masa sekolah, sampai kepada menulis Curriculum Vitae, kolom hobi merupakan kolom yang harus diisi. Biasanya pertanyaan ini saya isi dengan: membaca dan berenang. Entah kenapa, pasti ada yang berkomentar, “Masak sih kamu nggak suka shopping? Kan semua perempuan hobinya belanja!”
Sebagai orang yang anti jalan-jalan ke mall tanpa tujuan yang jelas, terus terang saya agak baper dengan pertanyaan itu. Kenapa memangnya kalau saya tidak suka membeli baju, tas atau perhiasan? Bila saya tidak suka shopping, apa itu berarti saya bukan perempuan?
Saat merantau, saya menemukan hobi baru: bikin kue dan menjahit. Dalam waktu singkat, koleksi panci dan loyang berkembang biak dari hanya beberapa buah saja menjadi beberapa lemari banyaknya. Begitu juga dengan koleksi kain dan benang. Jadi kalau dipikirkan ulang, memang saya tidak suka berbelanja baju seperti kebanyakan perempuan, tetapi ternyata suka berbelanja meskipun di departemen yang berbeda.
Tetapi apa sih kira-kira yang membuat perempuan lebih luwes di dalam berbelanja dibandingkan kaum laki-laki? Berikut beberapa faktor yang mungkin memberikan pengaruh di dalam hal ini
Perempuan lebih perseptif terhadap keindahan
Sejak awal terbentuknya dunia, Hawa sang perempuan pertama terbukti memiliki kemampuan lebih dari Adam untuk melihat betapa menariknya buah yang tidak boleh mereka makan. Secara umum, perempuan lebih teliti dan jeli untuk melihat barang yang indah dan menarik mata.
Perempuan biasanya lebih pintar melihat buah mana yang bagus dan matang, baju yang cantik, perhiasan yang menarik, dan lain sebagainya. Efek samping dari kemampuan ini adalah perempuan menjadi cepat tergoda untuk memiliki hal-hal yang dilihatnya cantik dan menarik tersebut.
Perempuan sebagai pengurus rumah tangga
Di dalam hampir semua budaya dan tradisi, perempuan memegang peranan utama di dalam mengurus rumah tangga – tugas berbelanja lalu jatuh ke tangan perempuan. Lepas dari bagaimana sebuah keluarga mengatur urusan finansialnya, bisa dibilang perempuanlah yang melihat apa saja barang yang dibutuhkan untuk keperluan seluruh keluarga. Sang suami? Yah, kira-kira percaya saja pada kemampuan sang istri untuk memilih mulai dari baju anak, isi kulkas, sampai pernak-pernik pajangan di lemari.
Perempuan memiliki tugas ganda di dalam berbelanja. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, dia berbelanja untuk suami, untuk rumah, anak, ipar dan mertua, acara keluarga, dan lain sebagainya. Karenanya perempuan menjadi sasaran empuk bagi industri komersial.
Perempuan memiliki sifat sosial
Bila kita memutar waktu kembali ke zaman pra-sejarah, laki-laki pergi berburu untuk mencari makan. Sementara perempuan tinggal di permukiman mengumpulkan daun, buah-buahan, atau mengolah hasil buruan suami mereka.
Biasanya laki-laki berburu sendirian, atau bilapun beramai-ramai adalah untuk alasan keamanan dan berorientasi pada tujuan: berhasil mendapat binatang. Sedangkan perempuan digambarkan mengerjakan tugas bersama-sama. Bukan hanya supaya pekerjaan cepat selesai, tetapi karena perempuan memiliki sifat sosial dan membutuhkan teman untuk bisa memenuhi kebutuhan ini.
Tidak heran, laki-laki merasa lebih tenang bila pergi berbelanja sendirian. Sementara perempuan senang bila harus shopping bersama teman – karena acara shopping ini bukan semata-mata urusan mendapatkan barang yang dibutuhkan, tetapi menjadi semacam rekreasi dan kegiatan sosial.
Sifat sosial perempuan digabungkan dengan daya nilainya yang tinggi terhadap keindahan dapat menimbulkan efek ganda dalam keinginan berbelanja. Melihat teman-teman memakai baju, tas, atau sepatu dengan model atau merek tertentu bisa dengan cepat menimbulkan keinginan bagi seorang perempuan untuk memiliki hal yang sama.
Lihat saja arisan ibu-ibu yang beberapa tahun ini sedang hangat dengan kebiasaan memakai baju dengan kode dan nuansa tertentu. Kalau tiap bulan kita harus memakai baju yang warnanya berbeda – itu akan menjadi alasan kuat untuk berbelanja, bukan?
Berbelanja tidak selalu berkonotasi negatif
Gimana para Mamah, make sense juga kan penjelasan di atas? Sepertinya kemampuan dan keinginan berbelanja ini memang sudah ada di DNA kita sebagai makhluk yang paling cantik ciptaan Yang Kuasa.
Tetapi belanja tidak selalu berkonotasi negatif lho. Perempuan jelas perlu berbelanja untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah dan keluarga. Kita diberikan anugerah segala kepekaan ini untuk bisa melakukan tugas dengan baik.
Nah, sekarang pertanyaannya, bagaimana caranya supaya berbelanja itu tetap menjadi sebuah kegiatan yang positif?
Belanja: kebutuhan vs keinginan
Berbelanja tidak pernah memiliki nilai negatif kalau dilakukan berdasarkan kebutuhan. Tidak ada yang salah dari berbelanja bahan makanan, baju, kebutuhan rumah tangga, dan lain-lain. Belanja jadi mulai berbahaya kalau lebih sering didasarkan kepada keinginan dibandingkan kebutuhan.
Sejujurnya saya dan suami memang pada dasarnya tidak suka belanja. Beli barang yang memang butuh saja. Tanpa memandang diskon atau tidak, kalau memang butuh ya dibeli, kalau memang sedang tidak butuh ya tidak dibeli. Tips dan trik menahan diri apa ya? Mungkin membiasakan memahami kebutuhan dan keinginan, jadi lebih bisa membatasi diri.
Kata Mamah
Yang paling menggoda kalau barang kebutuhan sehari-hari lagi diskon gede. Awalnya jadi kalap untuk beli banyak, sehingga duit yang keluar melebihi anggaran. Tapi lama-lama jadi sadar kalau tiap bulan akan ada diskon, dan belajar menahan diri untuk belanja seperlunya.
Kata Mamah
Belanja karena keinginan itu gampang dideteksi. Kalau para Mamah punya kelebihan buku/mainan/panci/baju dan lain-lain sampai bingung sendiri kapan belinya, di mana harus disimpan, dan kapan memakainya – nah itu tandanya di bidang tersebut Mamah lebih sering beli karena ingin dibanding karena butuh.
Belanja: besar mana, pasak atau tiang
Waktu saya kecil, Ibu saya senang sekali mendidik menggunakan peribahasa. Salah satu nasehat beliau adalah: jangan besar pasak daripada tiang. Dalam berbelanja, selalu sesuaikan jumlah uang yang dibelanjakan jangan sampai lebih besar dari penghasilan setiap bulannya.
Saya pribadi adalah seorang penganut asas “hanya membeli kalau uang tersedia”. Artinya saya lebih suka menabung sampai bisa membeli sesuatu dan membayarnya dengan lunas, dibandingkan membayar dengan skema kredit.
Tips untuk mengendalikan belanja: catat semua pemasukan dan pengeluaran. Di awal bulan, tetapkan bujet untuk belanja yang diperlukan (listrik, telpon, pulsa, bensin, uang makan untuk sebulan, infak, iuran RT/satpam/sampah, asuransi, bayar cicilan (kalau ada). Bujet ini seperti to do list setiap bulan yang bisa kontrol pengeluaran.
Kata Mamah
Paling tergoda dengan baju, apalagi kalau terlihat dipakai oleh aktris favorit di film. Tapi tetap tidak kalap, membelinya pun penuh pertimbangan dan tidak dimasukkan ke prioritas utama. Istilahnya, ‘kalo ada sisa anggaran’ baru beli. Belinya pun cari yang berkualitas karena lebih awet dan jatuhnya bagus di badan.
Kata Mamah
Belanja konsumtif atau belanja produktif
Meskipun hal ini sebenarnya beda-beda tipis, saya pribadi lebih senang berbelanja ‘produktif’: membeli barang yang akan dipakai lagi untuk memproduksi barang lain. Contohnya saya tidak suka berbelanja baju, tetapi sangat suka membeli kain untuk dijahit menjadi baju. Atau mengkoleksi mesin jahit dengan angan bisa membuka usaha jahit di kemudian hari.
Klasifikasi ‘belanja produktif’ ini bisa mencakup barang kebutuhan hobi, barang yang bisa dipakai sebagai investasi pendidikan misalnya buku, mainan edukatif, komputer atau gawai yang mendukung pekerjaan dan lain-lain. Atau barang yang bisa dijadikan investasi atau dijual kembali, misalnya tanaman yang cantik yang bisa dibudidayakan, atau perhiasan emas, dan semacamnya.
Yang paling menggoda itu buku anak sejak punya anak. Sekarang lebih terkontrol karena berpikir toh masih banyak buku yg belum dibacakan. Menahan diri karena menyadari budget yang terbatas juga jadi harus bijak dan berhemat.
Kata Mamah
Kalau belanja yg dimaksud adalah untuk barang bukan makanan, yang paling menggoda adalah buku. Tapi sejauh ini saya masih bisa ngerem. Triknya adalah dengan melihat tumpukan kecil buku yang belum saya baca. Hehehe.
Kata Mamah
Harga, kualitas, dan merek
Hal lain yang bisa dijadikan pertimbangan di dalam mendapatkan pengalaman berbelanja yang positif adalah faktor harga, kualitas dan merek.
Membeli barang preloved atau menunggu saat diskon datang bisa menghemat uang saat berbelanja. Di tempat kami tinggal sekarang, ada banyak toko barang bekas di mana kita bisa membeli barang dengan harga jauh lebih rendah dari harga aslinya. Selain ramah kantong, membeli barang bekas juga adalah kegiatan yang ramah lingkungan.
Yang paling menggoda adalah diskon barang kebutuhan sehari2, atau investasi yang pasti akan dibutuhkan beberapa bulan lagi. Tips dan trick: selesaikan semua transaksi di tanggal gajian, lalu tutup mata jangan buka-buka marketplace. Hahaha
Kata Mamah
Saya biasa belanja pakaian hanya pada saat diskonan. Apalagi saat anak2 masih sering berubah ukurannya. Kecuali kalau ada kebutuhan urgent. Saya tipe efektif: belanja sesuai yang dibutuhkan saja. Yang bisa dimanfaatkan. Nggak ada tempat buat nyimpan juga 😜 Tapi sulit kl soal buku. Apalagi untuk anak (alasannya biar mengurangi screen time, dll). Akhirnya saya tetapkan jatah per bulan. Agar saya sendiri juga nggak kebablasan 😅
Kata Mamah
Barang berkualitas sering bermerek bagus dan harganya lebih mahal daripada barang tandingannya. Tetapi sering sekali merek tidak menjamin kualitas. Ada banyak barang dengan merek yang mahal harganya lebih tinggi daripada barang dengan kualitas yang sama tetapi dengan nama yang belum sama masyhurnya
Saya jarang belanja. Saya selalu meng-konversi harganya dgn makanan/kebutuhan lainnya yg selalu dikerjakan. Misal saya suka banget model rok di uniql*, tapi harganya setengah juta di mana harga segitu sudah bisa utk makan resto 10 kali atau bisa dipakai untuk anak saya main di kidz***na sepuasnya selama 5 hari.
Kata Mamah
Menata emosi di saat berbelanja
Nasehat andalan Ibu saya yang lain adalah: jangan berbelanja di saat lapar, dan jangan lapar mata. Rasa lapar menimbulkan perasaan tidak tenang dan mendorong sifat impulsif keluar. Berbelanjalah di saat kita sudah kenyang, supaya kita tidak tergoda untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Saya belanja sesuai kebutuhan saja. Tergoda belanja banyak itu, biasanya, karena berbelanja dalam keadaan lapar. Sehingga apa yang terpajang di supermarket, semuanya terlihat enak untuk dimakan. Belanja karena ingin, bukan karena butuh.
Kata Mamah
Lapar mata juga memiliki bahaya tersendiri. Lapar mata biasa diartikan sebagai saat di mana seseorang makan bukan karena lapar, tetapi hanya untuk memuaskan emosinya saja. Sama seperti lapar mata untuk makanan, lapar mata di dalam berbelanja juga harus dikendalikan.
Paling menggoda dan bikin budget bocor itu makanan. Saya emotional eater. Pengeluaran buat gofood atau jajan pas jalan2 ke luar itu sungguh bisa setara dengan pengeluaran buat belanja ke pasar dan kebutuhan rumah bulanan. Saya belum nemu trik buat mengatasi ini, nih… Mesti cari cara buat nahan nafsu makan, nih. Kalau mbaknya tahu, kasih tahu saya, dong! 😄
Kata Mamah
Kalau selama ini para Mamah melakukan retail therapy untuk menjaga mood dan mengendalikan emosi, mungkin bisa mulai beralih kepada kegiatan lain yang lebih murah meriah tetapi menguntungkan. Misalnya kepada hobi menulis dan ngeblog dan bergabung dengan Mamah Gajah Ngeblog tercinta.
Mengumpulkan barang dan kantong belanja
Hal terakhir untuk diperhatikan adalah lebih baik kumpulkan dulu barang yang hendak dibelanjakan dibandingkan berbelanja sedikit-sedikit dan bolak balik. Saya menghindari pelayanan istimewa seperti Amazon Prime dengan tawaran gratis ongkos kirim karena tidak ingin tergoda oleh kemudahan untuk sedikit-sedikit belanja online.
Dengan adanya minimal belanja duapuluh Euro baru mendapatkan gratis ongkos kirim, ada sebuah rasa menahan diri untuk menunggu membeli barang-barang secara online. Menunggu sampai terkumpul lebih dari 20 Euro baru berbelanja. Terkadang karena menunggu belanjaan terkumpul, malah tidak jadi dibeli saking terlalu lama!
Kesimpulan
Berdasarkan tigapuluh respon yang saya terima untuk survei ini, terlihat sudah ada pola yang sehat di dalam kebiasaan berbelanja para Mamah Gajah.
Jadi, saya tidak ragu menyimpulkan bahwa Mamah semua pasti tidak takut untuk menerima tantangan: satu hari/minggu/bulan tanpa berbelanja! Yuk Mamah semua, kita budayakan berbelanja sehat, jauh dari budaya konsumerisme. Salam semangat semuanya!
keren pisan ini artikelnya …
belanja positif yes banget teh dea, gak laper mata gitu deh!
eh … tapi kalau liat lego diskon aku kadang suka lupa teori itu ha3 …
salam semangat
Hehe makasih teteh.. ah ini mah semua emang teori yang baik tapi setiap kali ada godaan beneran ujian buat jiwa 🤭
Dea, bagus tulisannya.
Waktu baca ulasan tentang manusia purba dulu yang kalau laki-laki berburu sendirian ataupun rame-ramepun karena alasan keamanan, aku langsung bayangin ga kuat liat laki-laki belanja rame-rame kaya Ibu-Ibu window shopping ramean hehe
Ahahaha.. kayaknya sih cowok2 metropop jaman sekarang udah mulai banyak mengadopsi hal-hal yang jamak dilakukan perempuan ya. Tapi cowok kayak suamiku yang prinsipnya tinggal semedi di gunung pun nggak masalah emang aneh kalau dia tiba2 belanja bareng sama temen2 hihih
Makasih teh May apresiasinya 🙂
Soal belanja jangan pas lapar itu benar banget, jd rasanya mau jajan aja.
Dan betul, aku jg kalo barang hobby kok rasanya mau belanja aja.
Hehehe iya teh, bahkan kalau lagi belanja di supermarket.. kalau lagi pas lapar semua pun jadi dibeli ya… segala sikat, sabut, sabun yagn nggak perlu juga. padahal bukan makanan 😀
Belanjaanku ga keliatan barangnya, karena berbentuk subcriptions berbagai hal wkwkwk… tapi itu termasuk belanja produktif untuk mendukung berkarya kan #pembelaandiriasalbisabelanjahahahaha…
Nah ini sebenarnya malah mengagumkan. Keliatannya aja mahal dan boros, padahal berguna. Dibanding beli barang2 yang kayaknya murah tapi banyak dan trnyata nggak kepake, mendingan beli bahan belajar kan. Teruskan kak!
Tulisannya mantabb Dea. Terstruktur dan rapih susunan analisisnya. Memakai survey pula. Ehehe.
Memang semakin mature seorang wanita, prioritas belanja akan bergeser ya, sudah gak sehedon ketika masih single.
Makasih udah komentar, Uril..
Iya mungkin karena pas single semua uang mah bisa buat kita, tapi setelah jadi ibu negara, kita jadi mikirin kas keluarga, bakal cukup nggak sampai ke depan. gak cuma mikirin hari ini aja…
[…] Posted on November 30, 2021 By Irene CynthiaNo Comment Benarkah Perempuan Identik dengan Belanja? […]
[…] Tulisan dari mamah Irene Cynthia ini cukup unik, karena sebelumnya ada survey kecil-kecilan di kalangan mamah gajah, untuk mendapatkan data dalam menuliskan Benarkah Perempuan Identik dengan Belanja? […]
[…] relate untuk para Mamah yang tidak hanya belanja untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga. Wanita jadi identik dengan belanja, apa […]