Peringatan Hari Guru Nasional
Setiap tanggal 25 November, di timeline sosial media berseliweran ucapan-ucapan terima kasih kepada para guru. Ada yang membagikan anekdot, dan banyak juga yang mengutip quote mengenai guru. Tanggal itu memang diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Tujuh puluh enam tahun lalu, 100 hari setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di tanggal 25 November tahun 1945 berdiri suatu organisasi guru yang dinamakan Persatuan Guru Republik Indonesia atau disingkat PGRI. Peran dan jasa guru memang sangat penting untuk perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Saat itu para guru berjuang agar pribumi mendapatkan pendidikan yang setara dengan penjajah. Sehingga memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas untuk bisa merdeka.
Salah satu bentuk taktik penjajahan memang mencegah bangsa yang dijajah menjadi pintar. Tentu tujuannya agar si bangsa terjajah dapat terus menerus dibohongi. Oleh karena itu, keberadaan para terdidik yang berjuang sebagai guru bagi para pribumi kala itu, bak cahaya yang menerangi jalan menuju kemerdekaan.
Hakikat Guru
Hakikat guru, selain mengajarkan ilmu pengetahuan, juga memberikan tujuan pada siswanya, membantu mempersiapkan mereka sebagai warga dunia, dan menginspirasi untuk menjadi orang yang bermanfaat, melakukan hal baik, serta menggapai kesuksesan dalam hidup.
Ada banyak kisah guru yang telah berhasil menginspirasi atau bahkan mengubah hidup muridnya. Seperti Pak Harfan dan Ibu Muslimah di Laskar Pelangi, Pak Sosaku Kobayashi di Totto Chan, Anne Sullivan guru Hellen Keller, dan masih banyak lagi. Bahkan Adele Adkins, penyanyi megastar asal Inggris, dalam sebuah acara televisi baru-baru ini memberikan apresiasi pada guru literaturnya saat SD, yang berhasil membuatnya mencintai bahasa yang sangat membantu dalam pembuatan lirik-lirik lagunya yang bermakna dalam dan fenomenal.
Mengingat salah satu amalan yang dijamin akan terus mengalirkan pahala adalah ilmu yang bermanfaat, maka pekerjaan sebagai guru, sampai kapan pun adalah pekerjaan yang mulia. Sayangnya hingga saat ini di Indonesia profesi guru masih sering dipandang sebelah mata. Malahan tak jarang sampai mendapatkan perlakuan semena-mena.
Guru di Indonesia, terutama di institusi pendidikan formal, masih sering dianggap sebagai fasilitas. Sebagai tools. Sebagai aset. Sebagai orang yang memberikan pelayanan. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang tercantum dalam kurikulum. Para pendidik tersebut jarang dihargai sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan untuk bisa menjadi penggerak perubahan. Atau lebih parah dianggap sebagai orang yang beramal dan harus ikhlas menerima kondisi, bukan orang dengan karir profesional yang harus dihargai jasa dan jerih payahnya secara maksimal.
Tak jarang, penghargaan yang seorang guru dapatkan, dari sisi ekonomi dan kesejahteraan tak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Akibatnya banyak guru yang hanya sekedar berdiri di depan kelas, menyampaikan materi kepada siswa yang duduk diam mendengarkan. Karena bagaimana mungkin mereka bisa 100 % menjalankan hakikat pekerjaannya sebagai guru, sementara kepalanya dibebani pikiran-pikiran lainnya. Seperti kebutuhan sehari-hari yang tidak bisa terpenuhi.
Bahkan saya pernah mendengar sendiri mengenai guru yang kesulitan membayar biaya pendidikan untuk anaknya sendiri.
Atau guru di pelosok yang harus berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk dapat menemui muridnya. Mendaki gunung, menyeberang sungai. Bahkan Ninja Hatori saja tidak akan sanggup kalau harus setiap hari berjuang begini.
Padahal guru merupakan bagian penting dari masyarakat untuk membangun fondasi masa depan bangsa yang maju dan bermartabat. Bangsa di negara-negara maju telah mengetahui hal ini semenjak lama. Mereka menjadikan profesi guru sebagai profesi yang sangat dihargai. Tidak kalah dengan profesi lainnya. Guru diberikan penghargaan yang sangat layak dan kesejahteraannya sangat diperhatikan. Oleh karena itu tak heran, guru di negara maju lebih punya energi untuk menghayati hakikat pekerjaannya dengan hasil yang nyata terlihat. Bangsa yang unggul.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Sebagai anak dari sepasang guru, rasanya saya cukup paham kenapa guru seringkali disebut sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Kedua orang tua saya melakukan tugasnya melebihi apa yang didiktekan dan didiskripsikan dalam undang-undang. Mereka membantu siswa melebihi kewajibannya di dalam kelas. Selain mengajar, mereka juga menasehati, dan mengayomi murid-muridnya. Kadang hingga membantu sampai ke urusan kehidupan di luar sekolah. Tak heran ketika ibu saya meninggal, ratusan orang datang untuk melayat. Dari pagi beliau meninggal sampai seminggu setelahnya. Saya rasa itulah bentuk penghargaan padanya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa bagi yang mengenalnya.
Karena pandemi, banyak orang tua terpaksa merangkap jadi guru di rumah. Gara-gara masalah sekolah daring ini Mamah pasti terbayang sulitnya pekerjaan sebagai guru kan, ya? Rasa sayang saja tidaklah cukup, perlu tekad kuat dan kesabaran seluas samudera untuk dapat mengajari anak- anak. Apalagi anak-anak usia PAUD. Guru PAUD menurut saya pribadi adalah yang paling berat tugasnya. Karena selain mental yang kuat, menghadapi segala tangisan dan rengekan, juga perlu fisik yang super prima menghadapi anak-anak kecil yang tak ada lelahnya.
Lulusan PAUD yang saya pekerjakan sebagai guru privat anak saya, setiap hari menghabiskan waktunya kalau tidak untuk mengikuti bocah yang sibuk berlompatan kesana kemari, ya membujuk si bocah agar mau sejenak duduk dan belajar. Saya sih terus terang tidak akan sanggup. Haha.
Tapi begitulah kehidupan seorang guru. Selain harus menguasai materi yang diajarkan, juga harus memikirkan cara menyampaikan materi tersebut agar siswa paham. Selain itu masih harus memiliki soft skill yang mumpuni untuk dapat membuat suasana belajar kondusif di dalam dan luar kelas. Belum lagi di situasi sekarang, guru dituntut harus punya kemampuan teknologi yang mumpuni, agar dapat tetap menyampaikan pembelajaran semaksimal mungkin. Masih ditambah lagi harus menghadapi omelan-omelan orang tua yang sama-sama stresnya, dan tak jarang mencari kambing hitam. Berat jadi guru. Dilan saja tidak akan sanggup.
Penghargaan yang Layak untuk Jasa Guru
Terus terang jika ditanya nama guru sekolah yang masih saya hapal sampai detik ini, saya juga tidak ingat. Walaupun begitu saya masih ingat tentang Bu Kun, guru privat mengaji saya saat SD. Saat itu usia beliau mungkin sekitar 23 tahun. Baru lulus dari IAIN Semarang, yang lokasinya ada di depan perumahan tempat tinggal saya waktu kecil. Beliau yang mengajarkan saya mengaji, setelah sebelumnya di Taman Pendidikan Al Quran, kemampuan mengaji saya tidak berkembang.
Dua kali dalam seminggu Bu Kun datang ke rumah untuk mengajar. Seringkali disambut oleh saya yang berlinang air mata karena menolak mengaji. Ingin nonton Satria Baja Hitam saja atau kartun-kartun lainnya di televisi. Seingat saya, Bu Kun tidak pernah bilang apa-apa. Membujuk juga tidak. Hanya menunggu sampai saya selesai merajuk, lalu mengajak saya mengaji seperti biasa. Baru setelahnya biasanya beliau menyelipkan sedikit nasihat.
Saya pikir- pikir sekarang, di umur 23 tahun saya tidak pernah sesabar itu. Pasti jengkel rasanya menghadapi bocah ingusan yang ingusnya ke luar betulan karena habis nangis-nangis tanpa juntrungan. Waktu belajar yang cuma sejam bisa molor sampai satu setengah hingga dua jam. Kalau saya yang jadi Bu Kun pasti sudah minta berhenti di pertemuan ketiga. Tapi rasanya Bu Kun tidak pernah mengeluh. Tetap saja beliau datang dua kali seminggu dan mengajari saya mengaji dengan telaten sampai akhirnya beliau harus kembali ke kampung halaman untuk menikah.
Bicara tentang bayaran dari pengajaran yang diberikan, setiap kali saya mengaji, Insha Allah Bu Kun akan mendapatkan pahala. Karena tanpa beliau saya tidak akan bisa membaca huruf-huruf dalam Al Quran dengan lancar. Jasanya tentulah tiada tara. Tapi setelah saya besar saya menyadari realita bahwa guru-guru ngaji seperti Bu Kun, sering kali tidak mendapatkan penghargaan yang layak dari sisi materi. Padahal ilmunya ilmu langit, loh.
Guru ngaji suami saya saat kecil saat ini bergantung pada donasi orang-orang untuk bisa bertahan hidup. Karena saat pandemi orang tua banyak yang tidak lagi meneruskan les mengaji anaknya.
Ada banyak yang bilang jadi guru harus ikhlas. Balasannya pahala amal jariyah yang terus mengalir dan bahwa kesulitan yang didapat saat ini adalah cobaan kehidupan. Tapi guru manusia juga. Banyak yang jadi tulang punggung keluarga. Ikhlas saja mungkin tidak akan cukup, mereka juga berhak mendapatkan penghidupan yang layak agar bisa lebih tenang mengerjakan tugasnya. Penghidupan layak bukan hanya dari sisi materi melainkan juga kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan profesinya, juga fasilitas yang mumpuni untuk memberikan pengajaran yang layak.
Menghadapi anak – anak bukan hal yang mudah. Anak biasa saja terkadang sulit apalagi anak yang punya masalah untuk belajar. Guru seringkali adalah ujung tombak untuk mendidik anak-anak. Tak jarang malah sebagai pengganti apa yang tidak bisa didapatkan dari orang tua di rumah. Karena walaupun peran orang tua sangat penting, tapi secara realistis tidak semua orang tua bisa mengajarkan pengetahuan yang dibutuhkan kepada anaknya. Untuk menghadapi anak-anak, pikiran yang jernih dan tenang adalah kuncinya. Menjadi guru memang panggilan hati, tapi guru yang tenang dan bahagia akan memberikan pengajaran dengan sepenuh hatinya. Membuat siswa lebih bersemangat belajar. Siswa yang bersemangat belajar kemungkinan besar akan menjadi individu-individu yang kompeten. Individu yang kompeten adalah aset bangsa yang tidak ternilai harganya.
Memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk guru bukan hanya tentang memberikan hak warga negara, tapi juga tentang investasi untuk membangun bangsa yang beradab, bermartabat, dan unggul di berbagai bidang. Menghargai guru bukan melulu dengan memberikan lencana tanda jasa atau janji-janji, melainkan dengan menghargai jasanya dengan setinggi-tingginya dengan memberikan apa yang menjadi haknya.
Colek mas Menteri….
Setuju dan sepakat, semoga mas menteri punya program menyejahterakan para guru secara merata. Bukan saja pemerataan pendidikan yang dibutuhkan, tapi pemerataan perhatian terhadap kesejahteraan guru. Kalau guru bahagia, murid akan lebih mendapatkan pengajaran yang baik, orang tua bisa lebih bahagia karena anaknya dikirim ke guru yang bahagia.
colek mas menteri juga, hehhehe…
Semoga Mas Menteri bisa merealisasikan kesejahteraan untuk para guru ya. Jadi para guru bisa fokus mendidik generasi penerus bangsa untuk menjadi manusia yang berkualitas. Aamiin.
“Guru juga manusia…,” betul sekali sudut pandang Restu yang ini.
Guru-guru di negara maju adalah mereka yang betul-betul memiliki keahlian atau para anak pintar saat bersekolah dulu.
Saya sempat came across dengan anekdot, “Di Indonesia, yang ranking 1 jadi insinyur, ranking 2 jadi dokter, ranking 3 jadi pilot, …(dan seterusnya yang bagus-bagus), sedangkan yang ranking paling bawah jadi guru..”. 🙁