Di Balik Hari Anak Nasional

Selamat Hari Anak Nasional! Apakah Mamah turut mengajak keluarga untuk memeriahkan hari besar yang satu ini? Apakah ada acara khusus di sekolah ananda atau di lingkungan sekitar tempat tinggal Mamah sekeluarga untuk memperingatinya? Apakah ada yang tidak begitu menyadarinya selama ini? Tidakkah Mamah ingin tahu lebih banyak tentang hari besar yang satu ini? Yuk, ikuti saya berkelana melalui tulisan ini!

Lika-liku Penetapan Hari Anak Nasional

Hari Anak Nasional (HAN) di Indonesia yang jatuh setiap tanggal 23 Juli terkait erat dengan tanggal disahkannya Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak, yaitu pada 23 Juli 1979. Namun, cikal bakal gagasan peringatan HAN sudah lahir jauh sebelum itu, tepatnya sejak Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengupayakan penetapan Hari Kanak-Kanak Nasional pada tahun 1951. Perjalanan perubahannya setelah itu pun cukup panjang.

Salah satu wujud dari upaya tersebut adalah menyelenggarakan Pekan Kanak-Kanak mulai tahun 1952. Acara pawai yang cukup meriah diadakan di Istana Merdeka. Anak-anak yang mengikuti pawai tersebut disambut langsung oleh Presiden Sukarno.

Pawai dan Pertunjukan Anak-Anak di Bali (Sumber: Artem Beliaikin dari pexels.com)

Pada tahun berikutnya, sidang Kowani kembali merumuskan Pekan Kanak-Kanak dengan lebih serius. Kowani merekomendasikan agar Pekan Kanak-Kanak dilaksanakan setiap minggu kedua bulan Juli, sesuai masa liburan kenaikan kelas anak-anak sekolah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu pun menyetujui rekomendasi ini.  

Karena menyesuaikan dengan waktu liburan anak sekolah, tanggal perayaan Pekan Kanak-Kanak selalu berubah-ubah tiap tahunnya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sempat menetapkan tanggal 1-3 Juli sebagai waktu penyelenggaraannya sejak tahun 1956. Kemudian, muncul berbagai usulan untuk mengubahnya karena tanggal tersebut tidak terkait dengan peristiwa sejarah apa pun.

Beberapa usulan yang sempat muncul adalah hari lahir Ki Hajar Dewantara pada tanggal 2 Mei dan hari lahir Dewi Sartika pada tanggal 4 Desember. Akan tetapi, Kowani tidak dapat menerima usulan tersebut dan kembali menyerahkan keputusannya kepada pemerintah. Pemerintah pun mengeluarkan ketetapan baru. Mulai tahun 1959, Pekan Kanak-Kanak diselenggarakan pada tanggal 1-3 Juni, sesuai dengan Hari Anak Internasional yang jatuh pada tanggal 1 Juni.

Selanjutnya, melihat Presiden Sukarno yang selalu turut memeriahkan Pekan Kanak-Kanak, Kowani mengusulkan agar tanggal 6 Juni yang merupakan hari kelahiran beliau ditetapkan sebagai hari Kanak-Kanak Indonesia. Usulan ini diperkuat pula oleh alasan masih dekatnya tanggal tersebut dengan Hari Anak Internasional. Dengan demikian, pada tahun 1965, tanggal 6 Juni pun ditetapkan sebagai Hari Kanak-Kanak Indonesia.

Contoh Perayaan Hari Anak (Sumber: Lukas dari pexels.com)

Tanggal tersebut tidak berumur panjang karena adanya pergantian rezim. Kowani terpaksa mencari tanggal lain untuk ditetapkan sebagai Hari Kanak-Kanak Indonesia. Tanggal 18 Agustus sempat dipilih dengan mempertimbangkan sejarah pemberlakuan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Namun, pelaksanaannya yang sulit karena bersamaan dengan kesibukan persiapan Hari Kemerdekaan RI membuat Kowani harus kembali mencari tanggal baru.

Penentuan tanggal untuk Hari Kanak-Kanak Nasional kembali dibahas dalam Kongres Kowani pada bulan Februari 1970. Dalam kongres tersebut, diputuskan bahwa ada tiga lembaga lain yang harus dilibatkan dalam penentuan Hari Kanak-Kanak Nasional, yaitu Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak Indonesia (IGTKI), Gabungan Taman Kanak-Kanak Indonesia (GTKI), dan Dinas Pendidikan Prasekolah (Dipras). Tak lama berselang, Kongres GTKI—digelar pada bulan Maret 1970—merekomendasikan tanggal 17 Juni sebagai Hari Kanak-Kanak Nasional.

Ada dugaan bahwa usul tersebut didasarkan pada momen sejarah Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 17 Juni 1966 yang menghasilkan beberapa ketetapan penting sebagai landasan Orde Baru. Rekomendasi ini diperkuat pula oleh pertimbangan masa liburan anak sekolah. Diterimanya usulan ini oleh pemerintah ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 15 Juni 1971 yang menetapkan tanggal 17 Juni sebagai Hari Kanak-Kanak Indonesia.

Tentu saja perjalanan penetapan Hari Anak Nasional tidak berakhir di situ. Penetapan tanggal 17 Juni sebagai Hari Kanak-Kanak Indonesia dinilai masih bermasalah karena dua hal. Hal pertama adalah momen sejarah yang dianggap kurang relevan  dengan anak-anak. Hal kedua berkaitan istilah yang digunakan. Istilah “Hari Kanak-Kanak Indonesia” dianggap berdampak pada keterbatasan sasarannya karena peserta yang masuk ke dalam kategori “kanak-kanak” hanya anak usia prasekolah hingga tingkat awal sekolah dasar (SD).

Anak-Anak Usia Prasekolah (Sumber: Dokumen Pribadi)

Solusi dari masalah momen sejarah yang relevan akhirnya ditemukan ketika Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak disahkan pada 23 Juli 1979. Kongres Gabungan Organisasi Penyelanggara Taman Kanak-Kanak Indonesia (GOPTKI)—pengganti GTKI—pada tahun 1980 pun menyarankan agar tanggal ini menggantikan tanggal 17 Juni. Selain itu, untuk mengatasi masalah keterbatasan sasaran peserta, istilah “kanak-kanak” pun diusulkan diganti dengan “anak-anak”. Drama pergantian tanggal peringatan ini pun berakhir empat tahun kemudian dengan keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 yang menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional.

Tanggung Jawab atas Kesejahteraan Anak

Tanggal peringatan Hari Anak Nasional memang sempat berubah-ubah. Namun, seharusnya hal ini tidak mengurangi esensi dari peringatan tersebut. Seperti yang disebutkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984, penetapan Hari Anak Nasional dilatari oleh semangat untuk meningkatkan kesejahteraan anak.

Apa yang dimaksud dengan kesejahteraan? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa kata kesejahteraan berarti hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketenteraman. Kata sejahtera memiliki arti aman, sentosa, makmur, dan selamat atau terlepas dari segala gangguan. Pengertian ini pun sejalan dengan yang disebutkan dalam Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak, yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Melihat semua pengertian di atas, wajarlah jika kita bersepakat bahwa upaya-upaya menjamin terwujudnya kesejahteraan anak merupakan hal yang harus diprioritaskan. Bukankah anak merupakan generasi penerus perjuangan bangsa? Bukankah untuk dapat memenuhi harapan tersebut, seorang anak perlu tumbuh dan berkembang dengan baik?

Salah Satu Hak Anak dalam Seribu Hari Pertama Kehidupannya: Disusui (Sumber: Dokumen Pribadi)

Bagaimana cara memastikan anak tumbuh dan berkembang dengan baik? Selain memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papannya, masih ada sejuta bekal yang harus kita berikan kepada mereka. Mereka membutuhkan bekal keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan Sang Maha Pencipta Alam Semesta.  Mereka juga harus memiliki kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan yang baik. Pendidikanlah yang memungkinkan mereka mendapatkan semua bekal ini.

Pertanyaannya, ini tanggung jawab siapa? Pendidikan memang erat hubungannya dengan sekolah. Namun, apakah pendidikan anak merupakan tanggung jawab sekolah, guru, atau bahkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai perwakilan dari pemerintah?

Tentu mudah bagi Mamah untuk menjawab pertanyaan ini. Urusan mendidik anak agar anak pandai bersyukur atas setiap butir nasi di piringnya, bertanggung jawab merapikan kembali mainannya, berbagi rezeki dengan teman, dan bersikap santun pada orang lain jelas tidak dapat diserahkan pada pemerintah, guru, atau sekolah mana pun. Tidak akan ada lembaga yang perannya mampu mengalahkan orang tua dalam mendidik seorang anak. Sejatinya, pendidikan yang diterima seorang anak tentang nilai-nilai terpenting dalam hidup ini merupakan tanggung jawab orang tua atau walinya.

“Pendidikan rumah harus diutamakan dan orang tualah, bukan guru, yang paling bertanggung jawab dalam membesarkan anak menjadi pribadi yang bermanfaat bagi dunia.” –Charlotte Mason

Menyejahterakan Anak Terlantar

Pada kenyataannya, kondisi aman, sentosa, dan makmur tidak selalu ditemukan pada anak-anak. Tidak sedikit anak di negeri ini yang—karena berbagai hal—tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Pada sebagian anak, kebutuhan-kebutuhan itu gagal terpenuhi karena orang tua yang melalaikan kewajibannya. Kelalaian itu dapat ditemukan dalam berbagai tingkat, dari yang mungkin tampak sepele dalam keseharian hingga benar-benar lalai bertanggung jawab secara finansial dan pergi menelantarkan sang anak.

Masalah anak terlantar ini sebenarnya sudah terpikir oleh saya jauh sebelum berumah tangga dahulu. Karena senang terlibat dengan anak-anak, saya sering mencemaskan anak-anak yang tidak tumbuh dan berkembang secara layak di tengah keluarga yang hangat. Perhatian, cinta, dan kasih sayang terkadang menjadi “barang mahal” bagi anak tertentu.

Perasaan gelisah itu pun menuntun saya pada pemikiran: daripada tambahan manusia baru, bukankah dunia lebih membutuhkan terpeliharanya dunia ini, termasuk anak-anak terlantar? Melihat sejuta masalah yang disebabkan oleh manusia (yang sebagian besar di antaranya kurang bahagia semasa kecil) di atas bumi ini, saya sempat heran mengapa masih banyak orang yang ingin beranak.

Seolah menjawab kegelisahan yang pernah hadir itu, Tuhan yang Mahakuasa anugerah saya dan suami saya dengan masalah infertilitas. Berkat masalah ini, kami pun mendapat kesempatan bertemu dengan puluhan anak terlantar di sebuah panti asuhan (sebelum mengadopsi salah satu di antaranya secara legal). Meskipun sudah lama mendengar tentang banyaknya anak terlantar di negeri ini, baru kali itulah kami benar-benar menyaksikannya secara langsung dengan mata kepala sendiri.

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Bunyi pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 itu benar adanya. Di antara berbagai panti sosial yang didirikan pemerintah, ada panti-panti asuhan anak yang bertujuan memelihara anak-anak terlantar. Bukan hanya anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua yang diasuh di sana. Anak-anak jalanan, korban kekerasan rumah tangga, atau yang datang dari keluarga sangat terbatas kemampuan finansialnya pun ditampung dan dirawat di panti-panti asuhan anak milik pemerintah.

Pemerintah telah berupaya menyediakan sarana dan prasaran yang baik demi tujuan terpeliharanya anak-anak yang ditampung di panti-panti asuhan. Kebutuhan pokok berupa pangan, sandang, dan papan setiap anak di sana selalu terpenuhi. Anak-anak juga mendapatkan akses pendidikan sesuai umurnya. Tidak hanya dari anggaran pemerintah, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini juga dibantu oleh sumbangan dari berbagai pihak yang datang silih berganti.

Apakah ini berarti cita-cita yang indah untuk menyejahterakan anak-anak terlantar tersebut telah tercapai? Mari kita ingat kembali pengertian kesejateraan di atas. Dalam UU tentang Kesejahteraan Anak pun disebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak yang baik terkait erat dengan pemenuhan kebutuhannya secara rohani, jasmani, maupun sosial. Apakah ini sama artinya dengan telah terpenuhinya kebutuhan untuk makan, minum, tidur, berpakaian, berolahraga, dan bersekolah?

Anak-anak tidak hanya butuh disuapi, dimandikan, atau diantar ke sekolah. Bagaimana dengan kebutuhan mereka untuk ditemani, dibelai, didengarkan, dan diajak mengobrol? Ternyata hal-hal itu seperti itulah yang masih langka dan sangat dirindukan oleh anak-anak panti asuhan.

Tentu saja, ada pegawai panti yang berperan sebagai pengasuh bagi anak-anak di sana. Akan tetapi, ternyata jumlah para pengasuh tidak sebanding dengan jumlah anak panti yang terus bertambah. Bayangkanlah kesibukan dua orang pengasuh di ruangan yang berisikan sekitar empat puluh anak balita. Jangankan mendengarkan keluh kesah tiap anak, tidak berteriak-teriak sepanjang waktu untuk memberikan berbagai instruksi pun sudah menjadi hal yang mustahil bagi mereka.

Bagaimana kita dapat berperan? Apa yang dapat kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat? Selain memberikan masukan kepada pemerintah (atau mungkin mendesak mereka, lebih tepatnya) untuk menambah jumlah tenaga pengasuh, kita juga dapat ikut membantu memberikan perhatian langsung kepada anak-anak di panti asuhan. Setiap panti asuhan biasanya memiliki jadwal berkunjung. Siapa pun dapat datang untuk mengajak mereka bergantian mengobrol, bermain, membaca buku, dan sebagainya. Aksi-aksi masyarakat yang mungkin tampak kecil dan sepele seperti ini ternyata begitu besar artinya bagi anak-anak itu.

Anak-anak adalah tumpuan harapan kita semua di masa depan. Namun, dapatkah kita mengharapkan mereka tiba-tiba mampu memikul tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita bangsa tanpa diberikan bekal yang memadai? Jika kembali kepada pemahaman ini, bukankah wajar untuk turut peduli pada kesejahteraan anak-anak terlantar di sekitar kita? Sebagai bagian dari masyarakat, bukankah wajar jika kita turut mencemaskan anak-anak selain anak kandung kita sendiri? Bukankah masa depan negeri ini tidak hanya terletak di tangan anak-anak kita?

Sekali lagi, Selamat Hari Anak Nasional. Semoga kita dapat memaknai peringatan ini lebih dalam dan  melihat lebih jauh, di luar kehidupan anak-anak kita sendiri. Bagaimanapun, penerus harapan bangsa kita di masa depan adalah semua anak Indonesia.

Referensi:

Setiyono, Budi. 2018. “Mencari Jejak Hari Anak” dalam Historia: Masa Lampau Selalu Aktual.

Heidy Kaeni
Heidy Kaeni
Articles: 5

4 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *