Ketika memperhatikan hari besar yang ada di bulan Februari, saya tertarik dengan hari Peringatan Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi yang jatuh pada 5 Februari. Kalau sampai ada peringatannya berarti cukup besar kejadiannya kan ya? Tapi seumur – umur rasanya saya belum pernah mendengar tentang peristiwa bersejarah tersebut.
Padahal peristiwa pemberontakan kapal 7 Provinsi ini menurut saya menarik untuk diceritakan, karena selain plotnya yang pasti akan seru sekali jika dibuat film, faktor sosial yang menjadi latar belakang peristiwa ini sedikit banyak masih relevan hingga saat ini.
Tentang Kapal Tujuh Provinsi
Nama HNLMS De Zeven Provinciën atau Kapal Tujuh Provinsi diambil dari jumlah provinsi awal di Kerajaan Belanda. Secara turun temurun, nama Tujuh Provinsi digunakan untuk menamai kapal perang milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang bertugas menjaga wilayah pesisir pantai. Umumnya kapal Tujuh Provinsi dilengkapi dengan persenjataan paling canggih dan lengkap pada zamannya. Kapal Tujuh Provinsi yang terlibat dalam peristiwa sejarah dalam tulisan ini adalah generasi kelima dari kapal yang dinamai Tujuh Provinsi.
Dibangun pada tahun 1903, kapal perang ini adalah salah satu kapal modern milik Tentara Angkatan Laut Kerajaan Belanda, yang dibangun sebagai antisipasi agresi Jepang di benua Asia. Jepang kala itu adalah kekuatan baru yang secara agresif melancarkan manuver – manuver untuk menguasai dunia. Dimulai dengan menyerang negara-negara tetangga di sekitarnya. Kapal ini ditugaskan untuk menjaga perairan Sumatera yang dianggap sebagai pintu masuk utama ke Nusantara.
Gara-Gara “The Great Depression”
The Great Depression adalah sebutan untuk resesi ekonomi global yang terjadi di sepanjang tahun 30-an. Keruntuhan ekonomi ini mempengaruhi hampir seluruh negara di dunia, tidak peduli kaya dan miskin. Tak terkecuali Kerajaan Belanda. Jumlah pengangguran yang meningkat tajam serta konflik sosial dalam negeri adalah dua dampak The Great Depression yang harus dihadapi. Tantangan semakin berat karena pada periode tersebut, Belanda juga menghadapi pergerakan kemerdekaan yang semakin masif di wilayah Nusantara.
Menjajah suatu wilayah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Di awal tahun 1930 penjajahan terhadap Hindia Timur sudah tidak efisien dan menguntungkan bagi Belanda. Apalagi di tengah-tengah resesi global dan ancaman dari Jepang. Hanya saja Belanda tetap ngotot mempertahankan kekuasaannya di Hindia Timur dengan dalih kebanggaan sebagai bangsa penjajah.
Karena ngotot ingin tetap mempertahankan pendudukannya di Nusantara, Belanda terpaksa harus melakukan berbagai macam pemotongan biaya. Tentu agar masih bisa membiayai pendudukannya di negeri penghasil rempah-rempah ini. Salah satu bentuk efisiensi yang dilakukan adalah dengan memberlakukan pemotongan atas upah pekerja di Hindia Belanda, termasuk upah para kelasi dan buruh yang bekerja di armada kapal milik Belanda yang ditempatkan wilayah Hindia Timur.
Diawali dengan pemotongan upah sebesar 10% yang terus meningkat hingga 14% untuk pekerja berdarah Belanda dan 17% untuk pekerja pribumi atau sering disebut juga Bumiputera.
Bagai Api Dalam Sekam
Keputusan ini tidak diterima baik oleh para pekerja, terutama dari kalangan pribumi. Karena sejak awal merasa kesejahteraan mereka sangat kurang dibandingkan dengan risiko yang ditempuh untuk bekerja di atas kapal perang. Upah yang sedikit dan kondisi kerja yang tak layak. Hanya perlu pemantik kecil untuk mengobarkan api perlawanan.
Tindakan pemotongan upah ini menjadi pemantik yang efektif. Protes segera dilancarkan oleh para kelasi dan buruh di berbagai daerah atas kebijakan pemotongan upah. Termasuk diantaranya adalah dengan melakukan mogok kerja. Mogok kerja terbesar terjadi di markas angkatan laut Surabaya. Dilakukan oleh para buruh pelabuhan yang berakhir dengan penangkapan dan penahanan para buruh tersebut.
Pemberontakan Di Atas Kapal
Ketika berita mengenai penangkapan buruh di Surabaya terdengar oleh para pribumi yang bekerja di Kapal Tujuh Provinsi. Merekapun segera berkumpul untuk merencanakan pemberontakan dengan berkedok rapat membicarakan persiapan Lebaran.
Pada hari Sabtu, 4 Februari 1933 sekitar pukul 10 malam, para kelasi dan buruh pribumi, dibantu beberapa kelasi Belanda bersatu menguasai kapal kebanggaan angkatan laut Belanda tersebut. Dipimpin oleh kelasi pribumi bernama Paradja , Romambi, Gosal, dan Kawilarang, para pemberontak mencuri senjata yang tersimpan di gudang, kemudian mengambil alih kemudi kapal. Mengejutkan para perwira dan prajurit Belanda yang sama sekali tidak menduga akan ada pemberontakan diatas kapal. Tanpa perlawanan berarti, kapal berhasil dikuasai, kemudian bergegas diarahkan menuju ke Surabaya dengan tujuan untuk membebaskan para kelasi dan buruh yang ditahan disana.
Masih menjadi tanda tanya mengapa perwira dan prajurit angkatan laut berdarah Belanda yang ada di kapal tersebut sepertinya terlalu gampang menyerah mengikuti kehendak para pemberontak. Bisa jadi kalah jumlah, atau sebetulnya diam-diam mereka mendukung tindakan tersebut tapi membiarkan para pribumi yang bergerak. Mungkin agar tidak terkena label pengkhianat jika pemberontakan gagal. Bagaimanapun para perwira dan prajurit itu juga terkena pemotongan upah dan kesal dengan keputusan pemerintah. Kalau memang betul seperti itu, sungguh pengecut sekali ya.
Murka Belanda
Belanda tentu tidak tinggal diam melihat pemberontakan tersebut. Bagaimanapun Kapal Tujuh Provinsi adalah armada perang yang vital. Lagipula mereka tidak ingin mengompori semangat juang kemerdekaan Indonesia dengan menunjukkan tindakan lemah terhadap kejadian ini. Mereka segera mengirimkan armada kapal perang lain untuk menahan laju Kapal Tujuh Provinsi. Usaha ini tidak berhasil pada awalnya, karena kapal perang bernama Aldebaren yang dikerahkan pertama kali bukan tandingan Kapal Tujuh Provinsi. Kalah dari sisi kelengkapan senjata dan kecepatan.
Kapal Tujuh Provinsi hampir saja berhasil lolos dari kejaran militer koloni, ketika seorang perwira kapal muda berdarah Belanda, yang sepertinya tidak mendukung pemberontakan, berhasil masuk kedalam ruang radio dan mengirimkan sinyal penanda lokasi kapal. Berkat informasi ini, kekuatan militer lebih besar dikerahkan untuk menghadang Kapal Tujuh Provinsi. Tujuannya merebut kembali kapal berisi sebelum melewati selat Sunda yang menghubungkan pulau Sumatera dan pulau Jawa.
Pada tanggal 10 Februari 1933, satu skuadron yang terdiri kapal perang modern bernama Java, dua kapal penghancur bernama Evertsen dan Piet Hein, dua kapal selam KVII dan KIX, serta beberapa pesawat tempur pengebom Dornier, serta kapal layar terbaru milik Belanda, Gulden Leeuw, berhasil mengepung Kapal Tujuh Provinsi di selat Sunda. Ultimatum diberikan kepada para pemberontak untuk menyerahkan diri, tapi tidak digubris.
Akhir Dari Peristiwa
Pesan yang dikirimkan oleh para pemberontak cukup jelas. Mereka bertekad untuk tetap mengarahkan kapal ke Surabaya dan membebaskan kawan – kawannya. Sepertinya para pemberontak berpikir bahwa Belanda tidak akan pernah berani menyerang sendiri salah satu kapal perang terbaiknya. Perkiraan itu salah, ultimatum yang diberikan ternyata bukan ancaman kosong. Beberapa saat kemudian bom seberat 800 kg dijatuhkan dari pesawat pengebom. Serangan juga digencarkan melalui torpedo yang ditembakkan oleh kapal selam. Sepertinya pihak Kerajaan Belanda sudah hilang akal saking murkanya.
Salah satu bom mengenai bagian utama kapal, dan secara spektakuler menewaskan 19 orang, 3 orang diantaranya adalah pekerja Belanda. Serangan ini juga mencederai 18 orang, dengan 11 orang mengalami cedera berat, dimana 4 orang diantaranya kemudian meninggal, serta 7 orang cedera ringan. Salah satu pimpinan pemberontakan, Parada, termasuk yang tewas dalam serangan ini.
Setelah serangan ini, kapal Tujuh Provinsi kembali dikuasai oleh Belanda. Para awak kapal dipindahkan ke kapal lain. Dalam pengadilan beberapa waktu setelahnya, mereka dijatuhi hukuman selama 18 tahun penjara.
The Aftermath
Peristiwa ini menjadi sorotan publik, terutama di dalam negeri Belanda. Menimbulkan kontroversi dan saling tuduh antar pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab. Terjadi perdebatan sengit mengenai penyebab sebenarnya dari pemberontakan yang terjadi. Umumnya dikaitkan dengan kepentingan partai politik peserta pemilu di Belanda. Karena pemilu diselenggarakan tak berapa lama setelah peristiwa tersebut terjadi.
Pihak sayap kanan menyebut pemberontakan terjadi karena Angkatan Laut Kerajaan Belanda telah disusupi sel-sel komunis. Sementara pihak sayap kiri yakin bahwa ketidaksetaraan menjadi penyebab utama pemberontakan tersebut. Mendorong agenda sosialisme yang mereka miliki. Akan tetapi seorang sejarawan berkebangsaan Belanda, J. C. H. Blom, menyatakan bahwa Pemberontakan Kapal Tujuh Provinsi sama sekali tidak direncanakan. Dilakukan spontan sebagai bentuk protes terhadap pemotongan upah dan didorong oleh kebobrokan moral angkatan laut Belanda saat itu.
Satu faktor yang mungkin terabaikan adalah rasa nasionalisme para pelaut berdarah Indonesia yang pada masa itu mungkin mulai bergejolak. Keberanian semakin muncul untuk melakukan perlawanan dari dalam. Peristiwa ini adalah pemberontakan anti kolonial terorganisir pertama yang dilakukan oleh para prajurit laut berdarah Indonesia yang dipekerjakan oleh Belanda.
Satu hal juga yang tidak disadari oleh Belanda saat itu adalah bahwa keberhasilan pengeboman terhadap kapal perangnya sendiri menunjukkan kerentanan dari kapal perang tersebut terhadap serangan dari udara. Fakta ini dimanfaatkan oleh Jepang saat menyerang dan menenggelamkan Kapal Tujuh Provinsi, sepuluh tahun kemudian.
Pendapat Pribadi Mengenai Peristiwa Ini
Di awal tulisan ini saya menyebutkan bahwa faktor sosial yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa Kapal Tujuh Provinsi sedikit banyak masih relevan sampai sekarang. Hal saya katakan karena peristiwa ini bisa menjadi contoh kesalahan Manajemen Sumber Daya Manusia yang berakhir sangat tragis. Pengabaian sistem keadilan upah, kinerja kedisiplinan, keselamatan dan kesehatan kerja, serta penerapan efektivitas hubungan kerja, berujung pada kerusuhan yang mengakibatkan lonjakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi kerusakan yang terjadi.
Sayang teori-teori Manajemen Sumber Daya Manusia baru muncul di tahun 50-an dan mendapat perhatian luas di tahun 80-an. Yah, walaupun sebenarnya, kalaupun teori – teori itu sudah muncul di awal abad ke 20, pastinya tak akan mudah menerapkan prinsip Manajemen Sumber Daya manusia dalam konteks penjajahan.
Oleh karena itu mari resapi ceritanya dan kita ambil hikmahnya saja. Hikmahnya adalah walaupun sekarang pemerintah dan pihak pemberi kerja tidak bisa sembarangan lagi melempar bom ke pekerja yang protes atas kebijakan yang dianggap merugikan, akan tetapi hak – hak pekerja tentu juga tidak bisa diabaikan. Intinya jangan macam-macam dengan rezeki orang. Apalagi yang menjadi haknya. Kalau tidak pasti akan rugi sendiri, suatu saat nanti.
Penutup
Menutup tulisan ini, mumpung habis bicara tentang kapal, tak lupa kita sematkan pesan sponsor, jangan lupa ikutan tantangan Mamah Gajah Ngeblog Bulan Februari ya Mah. Temanya seru banget loh! yaitu pengalaman travel yang berkesan. Sambil mengingat-ngingat kenangan traveling sekalian sama-sama berdoa semoga pandemi segera berlalu, dan kita bisa jalan – jalan lagi ya. Amin.
Referensi
- https://dawlishchronicles.com/the-mutiny-on-de-zeven-provincin-1933/
- https://military-history.fandom.com/wiki/HNLMS_De_Zeven_Provinci%C3%ABn_(1909)
- https://www.historyandheadlines.com/february-5-1933-dutch-ship-hnlms-de-zeven-provincien-mutiny/
- https://nasional.tempo.co/read/1557690/tragedi-kapal-7-provinsi-pemberontakan-abk-asal-indonesia-89-tahun-lalu/full&view=okhttps://nasional.tempo.co/read/1557690/tragedi-kapal-7-provinsi-pemberontakan-abk-asal-indonesia-89-tahun-lalu/full&view=ok
Aku ga pernah tau ada pemberontakan ini, tapi kalau dijadikan film pasti seru ya, apalagi kalau ala2 drakor gitu.
Wuihh seru banget bacanya, serasa menonton film kolosal di atas kapal. Serius saya baru tahu kisah pemberontakan Kapal 7 Provinsi yang dilakukan oleh Kawilarang beserta kawan-kawannya.
Mungkin sebaliknya, Restu. Karena ada peristiwa ini, akhirnya banyak pemikir yang menelurkan teori Manajemen Sumber Daya Manusia. Perjuangan Bapak Kawilarang dan kawan-kwan tidak sia-sia pastinya.
Cukup kesal ada perbedaan penurunan upah berdasarkan race ya. 17 persen buat Bumiputera. 14 persen ‘saja’ buat darah-Belanda.
Meskipun jaman sekarang sudah diverse dan ga ada aturan tertulis mengenai melebihkan mengurangkan race tertentu, tapi ternyata masiy ada saja ya suatu perusahaan yang begini. *melirik layanan streaming film yang kadang masih ada salary-gap based on gender dan race. (Tetapi semoga saat ini perusahaan tersebut sudah ga begitu ya. Ehehe. Sudah banyak yang speak up soalnya)
Tulisan yang bagus, Restu. Menambah wawasan sejarah. 🙂
Baru tahu lho cerita ini, makasih ya Mamah Restu. Setuju dengan Risna, kalau dibikin film kayanya seru.
Makanya kata pekerjaan HR itu paling susah sedunia, karena ngurusin orang, masih jauh lebih mudah ngurusin mesin, ga bisa protes hehe
[…] dimulai di Amerika pada tahun 1930-an memberikan dampak besar bagi seluruh dunia, termasuk Belanda. Krisis ekonomi ini, dilanjutkan dengan Perang Dunia II (1939 – 1945) telah melemahkan kekuatan perekonomian dan […]