Tak lama lagi, tahun ajaran baru tiba. Bagi Mamah yang akan memasukkan buah hati ke sekolah baru pada jenjang selanjutnya, kesibukan bertambah dengan adanya agenda mencari sekolah yang tepat. Catat: yang tepat, bukan yang terbaik, ya, Mah.
Sesungguhnya memilih sekolah adalah tugas orang tua yang gampang-gampang susah (bisa dibalik jadi susah-susah gampang kalau merasa lebih banyak susahnya, hahaha).
Gampang jika prinsip kita “yang penting anak sekolah”, tetapi makin susah jika kita memiliki daftar keinginan yang panja~ng. Semuanya memang kembali ke nilai keluarga masing-masing. Namun, yang jelas, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi putra-putrinya, kan?
Nah, sebelum melengkapi daftar dengan poin yang banyak, yuk, kita saring menjadi poin-poin dasar yang biasanya menjadi pertimbangan utama dalam memilih sekolah. Urutannya tidak menggambarkan bobot, ya, Mah. Semua dikembalikan kepada preferensi tiap keluarga.
Oh iya, tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi saat memilih sekolah untuk anak-anak di jenjang SD. Kalau ada yang mau menambahkan untuk jenjang SMP atau SMA, boleh langsung tulis di kolom komentar, ya. Dari poin-poin berikut, seberapa cocok, nih, dengan pengalaman Mamah?
Berburu informasi
1. Kurikulum
Di Indonesia ada beragam jenis sekolah, tetapi secara umum terbagi menjadi sekolah nasional (negeri dan swasta) dan sekolah internasional. Sekolah nasional mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Dibandingkan sekolah negeri, sekolah swasta lebih leluasa untuk mengkombinasikannya dengan kurikulum lain sehingga menjadikannya punya ciri khas. Penyajiannya pun dapat divariasikan selama materi tersampaikan dan tujuan tercapai. Sebagai contoh, sekolah berbasis agama, berbasis metode pendidikan, atau sekolah yang mengusung keragaman.
Ada pula sekolah yang mengikuti kurikulum berstandar internasional, seperti Cambridge dan International Baccalaureate. Pastinya memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Ini bisa jadi nilai plus, apalagi kalau Mamah sudah memproyeksikan si kecil untuk mengambil kuliah di luar negeri. #mamahvisioner
2. Visi misi dan karakter sekolah
Setelahnya kita dapat mencermati visi misi sekolah melalui situs resmi. Enaknya hidup di era digital, kita dapat dengan mudah mencari informasi tanpa harus menghubungi pihak sekolah terlebih dahulu—cocok untuk yang introver. #eh
Kita juga dapat mengunjungi akun media sosial sekolah untuk melihat aktivitas siswa dan kegiatan sekolah. Melalui informasi yang diunggah di media sosial, kita juga dapat menilai karakter sekolah. Apakah sekolah mengusung tinggi kemampuan akademik siswa? Apakah sekolah lebih mementingkan pengembangan karakter anak? Apakah ada target-target tertentu yang harus dicapai per periode tertentu atau saat kelulusan?
3. Kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler
Bila kegiatan intrakurikuler merupakan aktivitas belajar mengajar terjadwal sesuai kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler dilakukan di luar jam sekolah untuk mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan siswa.
Adapun kegiatan kokurikuler mendukung keberhasilan pencapaian target kegiatan intrakurikuler, misalnya kunjungan ke pusat IPTEK untuk mendukung pembelajaran IPA. Ketiganya menjadi pembeda satu sekolah dengan yang lain, sekaligus menjadi daya tarik sekolah.
Ada sekolah yang menawarkan belasan ekstrakurikuler (ekskul) dan aktif mengikuti perlombaan/kejuaraan. Ada sekolah yang memiliki program berkemah, field trip, outbond, atau pesantren kilat/retret. Ada sekolah yang rutin mengundang pakar dalam bidang terkait pelajaran sekolah untuk mendukung pembelajaran.
4. Biaya
Saat meminta informasi langsung, biasanya pihak sekolah akan memberi tahu perihal alur pendaftaran. Namun, ada yang lebih dinanti (dan bikin deg-degan). Apalagi kalau bukan biaya! Tidak dipungkiri, biaya masuk sekolah (swasta) di Bandung menembus angka jutaan rupiah. Makanya, poin biaya termasuk poin dasar saat memilih sekolah.
Biasanya sekolah membagi biaya masuk menjadi uang pendaftaran, uang pangkal (untuk enam tahun), uang tahunan (tahun pertama), SPP (bulan pertama), dan uang seragam (dan uang buku jika ada). Di luar itu, ada juga yang menambahkan biaya psikotes, biaya trial, uang POMG, atau biaya program parenting.
5. Jarak dan lokasi
Soal jarak sekolah-rumah, ada yang bilang untuk SD sebaiknya tidak lebih dari 5 km. Alasannya, agar anak tidak lelah di perjalanan.
Potensi kemacetan di pagi hari turut jadi pertimbangan. Karena itu, sebaiknya kita coba menyusuri jalan di jam berangkat sekolah untuk mengetahui situasi lalu lintas dan kondisi jalan sebenarnya. Cek juga jalan alternatif. Seandainya jalan utama macet, misalnya karena hujan, kita bisa menghindarinya agar anak tidak terlambat datang ke sekolah.
Selain itu, perhatikan lokasi sekolah. Apakah berada di daerah yang ramai atau tenang? Di pinggir jalan besar atau di daerah pemukiman? Apakah dekat dengan pasar, pabrik, atau pusat keramaian lain?
Bagaimana dengan akses menuju sekolah? Apakah mudah dicapai dengan kendaraan umum atau harus menggunakan kendaraan pribadi? Apakah aman jika pergi ke sekolah dengan berjalan kaki atau bersepeda?
6. Fasilitas sekolah
Saat survei langsung, kita dapat sekaligus melihat fasilitas sekolah. Yang standar (basic needs) antara lain ruang kelas, lapangan, perpustakaan, dan WC. Add-on-nya bisa macam-macam. Mulai dari masjid hingga lab komputer; dari kolam renang hingga mini zoo.
Jangan lupa perihal fasilitas antar jemput dan makan siang, Mah. Ada sekolah yang menyediakan, ada yang tidak. Semuanya kembali ke kebutuhan dan pilihan keluarga.
7. Jumlah siswa per kelas, rasio siswa:guru, dan jumlah kelas per angkatan
Bagi saya, ini termasuk poin penting. Saya lebih menyukai kelas kecil berisi 15–20 siswa dengan 1–2 guru karena berpendapat anak akan mendapatkan perhatian dan bimbingan lebih baik dan lebih banyak. Situasi belajar juga lebih kondusif saat jumlah siswa lebih sedikit. Selain itu, jarak tempat duduk paling belakang dengan papan tulis otomatis tidak terlalu jauh. Duduk di belakang sungguh menderita lo, Mah–tertanda yang pernah punya teman sekelas 39 orang.
Jumlah kelas per angkatan juga masuk dalam kriteria pemilihan sekolah. Jumlah kelas sedikit, dua hingga tiga kelas saja, lebih baik Mungkin ini dipengaruhi oleh sifat introver saya yang kurang suka keramaian, hehehe. Untungnya si anak sulung tidak protes dengan sekolahnya yang hanya punya satu kelas per level.
Bingung memilih?
Dari beberapa kandidat sekolah yang memenuhi kriteria, bagaimana cara memilih yang terunggul? Sebelum tambah pusing, setidaknya ada dua hal yang perlu Mamah lakukan: berdiskusi dengan anak dan menghitung budget.
Berdiskusi dengan anak
Bagaimanapun anak kitalah yang akan menghabiskan hari-harinya di sekolah. Karenanya, sudah seharusnya anak dilibatkan dalam pemilihan sekolah. Saat kita berkunjung ke lokasi, anak diajak untuk melihat-lihat suasana dan kondisi sekolah.
Meski begitu, keputusan terakhir tetap ada di tangan orang tua. Mungkin orang tua punya pertimbangan lain yang luput dari penglihatan anak. Jangan lupa komunikasikan kepada anak, ya, Mah, agar anak bisa menerima dengan senang dan lapang hati.
Menghitung budget
Sejujurnya perihal uang sekolah ini sungguh membuat ketar-ketir, apalagi yang kurang punya persiapan finansial jangka menengah/panjang. Makanya, sebelum mulai melangkah, sebaiknya Mamah mengeluarkan kalkulator terlebih dahulu.
Supaya punya gambaran utuh, kita bisa menghitung seluruh biaya yang dibutuhkan anak selama bersekolah enam tahun berdasarkan angka-angka di atas. Ini belum termasuk biaya tambahan, seperti ekskul, katering sekolah, antar jemput, kas kelas, dan uang jajan anak, ya. Jadi, biaya total riil nanti pasti melebihi perhitungan di awal. Be prepared, Mah!
Penutup
Sekolah anak adalah topik yang tidak pernah usang dibahas di kalangan mamah ITB Motherhood. Seringkali informasi off the record tentang sekolah diperoleh dari ulasan jujur atau pengalaman para mamah karena biasanya yang ditampilkan di brosur atau media sosial, kan, yang bagus-bagus saja. Kita tidak tahu cerita-cerita tentang perundungan, misalnya, kalau bukan dari “orang dalam”.
Saat memilih sekolah, kesan pertama juga penting. Meski terkesan personal, saya lebih menyukai sekolah yang menerima kami dengan ramah dan terbuka saat berkunjung, apalagi yang memberikan kesempatan untuk ngobrol dengan pimpinan sekolah. +1. Khas ibu-ibu banget, baper, hahaha.
Saran terakhir, pilih sekolah yang mau terus bertumbuh dan berkembang dari sisi pengajaran, misal dengan program peningkatan kompetensi guru. Juga, sekolah yang mau bersinergi dengan orang tua dalam pendidikan anak melalui berbagai program parenting berkala.
Sebagai orang tua, kita perlu ingat bahwa setiap diri memiliki makna di dunia. Karenanya, yuk, bantu anak-anak menemukan tujuan penciptaan mereka melalui jalan pendidikan yang tepat. Di mana pun anak-anak kita mengenyam pendidikan, semoga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal untuk mencapai versi terbaik dirinya, ya, Mah.
Gambar andalan: Gerd Altmann dari Pixabay
[…] Jade memperoleh inspirasi ketekunan dari putri mungilnya yang berusia 7 tahun dalam merangkai sebuah tas. Mamah Hani membagikan kisah tangguh ibunda, eyang […]