*Spoiler alert*
Sebuah Pertanyaan

Sampai seberapa jauh kita mau berjuang untuk mengubah seseorang?
Buat Sore (Sheila Dara), sepuluh ribu kali kehidupan pun dia bersedia. Karena baginya, tak ada yang lebih penting selain mengubah hidup Jonathan (Dion Wiyoko), demi menyelamatkannya dari takdir masa depan.
Tapi apakah seseorang bisa mengubah manusia lain sesuai kehendaknya? Sore juga tidak tau jawabannya.
Sebuah Pertemuan
Jonathan adalah seorang fotografer yang sedang melakukan perjalanan keliling dunia. Tekadnya adalah mengabadikan keindahan di bumi yang terancam perubahan.
Akan tetapi, walaupun matanya selalu mencari keelokan, kebiasaan hidup Jonathan sangat bertentangan dengan kata indah. Pria tersebut tak bisa lepas dari rokok dan minuman keras.

Suatu pagi, Jonathan mendapati seorang wanita asing di tempat tidurnya. Terkejut adalah reaksi yang wajar, apalagi wanita tersebut dengan senyum manis menyapa, “Halo, aku Sore istri kamu dari masa depan“.
Pertemuan tersebut selalu adalah yang pertama untuk Jonathan. Tapi untuk Sore, pertemuan itu selalu adalah untuk yang kesekian kalinya.
Kebiasaan jelek Jonathan, menurut Sore, merupakan penyebab dari nasib buruknya, sehingga dia bertekad untuk mengubahnya. Dengan segala usaha yang dilakukan Sore, Jonathan yang awalnya skeptis, lambat laun jatuh hati pada wanita menawan tersebut dan berjanji untuk membiarkannya mengubah hidupnya.

Sebuah Tekad
Sore berpikir kalau satu-satunya cara untuk menyelamatkan Jonathan adalah dengan menghilangkan kebiasaan buruk di hidup pria tersebut. Dia mematahkan semua rokoknya, mengosongkan botol-botol minuman kerasnya, dan membuat Jonathan hidup lebih sehat.
Tidak disadari oleh Sore adalah kebiasaan buruk Jonathan tidak dibangun dalam semalam, melainkan manifestasi dari luka batin akibat peristiwa di masa kecilnya.
Di balik sikapnya yang tenang dan acuh, pria itu menyimpan pertanyaan besar:
mengapa seseorang bisa berubah dengan mudahnya dan mengorbankan segalanya demi mencapai keinginannya?
Karena luka tersebut, tak mudah bagi Jonathan untuk bisa berubah. Membuat memori indah kedua sejoli ini di setiap pertemuan, selalu berakhir dengan tragedi. Karena Jonathan tak bisa memenuhi janji.
Setelah segala usaha yang selalu berakhir dengan kegagalan, Sore pun akhirnya menyerah pada waktu. Meninggalkan Jonathan dengan kerinduan yang tak dia ketahui darimana asalnya.

Sebuah Perubahan
Kisah Sore, Istri Dari Masa Depan pertama kali diceritakan oleh Yandy Laurens pada tahun 2017 melalui format web series. Dibintangi oleh Dion Wiyoko dan Tika Bravani web series tersebut berhasil meraih kepopuleran dengan cerita yang inovatif dan chemistry yang kuat dari kedua pemainnya.
Sheila Dara menggantikan Tika Bravani di versi layar lebarnya. Di sini aktris kelahiran tahun 1992 tersebut merebut semua perhatian sebagai bintang utama. Dengan mumpuni dan penuh percaya diri istri dari musisi Vidi Aldiano ini mewujudkan sang istri dari masa depan.
Ketegaran dan kerapuhan Sore diejawantahkan melalui ekspresi wajah dan gestur yang cermat. Membuat penonton tak kuasa ikut hanyut dalam tekad, kekhawatiran, dan keputusasaan dari Sore.

Saya yakin ini adalah salah satu penampilan terbaik dari peraih Piala Citra untuk Pemeran Pembantu Wanita tahun 2024 dan 2022 ini.
Dion Wiyoko memang mempersilahkan Sheila Dara berada di pusat spotlight, tapi bukan berarti dia berleha-leha. Dengan keterampilan aktor veteran, Dion membuat Jonathan menjadi sosok yang mampu menarik simpati walaupun mendongkolkan dengan kebebalannya. Bagaimanapun Jonathan juga adalah korban dari rasa frustasi yang tidak tersalurkan.
Di tangan Dion, Jonathan adalah sosok yang berusaha memperlihatkan sikap yakin dengan prinsip dan pilihannya, dibalik kegamangan pikirannya. Menyokong penjelmaan Sore oleh Sheila Dara yang terlihat seperti selalu ingin nampol sekaligus memeluk suaminya di masa depan tersebut. Gemas segemas gemasnya.
Sebuah Pendapat
Menurut saya, seperti kebanyakan karya Yandy Laurens lainnya (Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, Satu Kakak Tujuh Ponakan, Keluarga Cemara), film ini punya potensi untuk memantik orang untuk berpikir dalam. Sayangnya, saya merasa dibandingkan dengan judul lain, cerita “Sore, Istri Dari Masa Depan” ditampilkan lebih straightforward. Bahkan terkesan sangat dijelaskan.
Mungkin karena keterbatasan format atau memang pilihan supaya penonton bisa fokus pada romantisme tanpa terlalu repot mencari arti.
Simplifikasi makna di beberapa bagian terasa cukup mengganjal. Seperti keraguan Jonathan akan Sore yang sirna hanya dengan satu kejadian. Di mana rasanya kurang konsisten untuk tokoh yang memiliki trust issue akibat trauma masa lalu.
Penyelesaian konflik batin luka batin Jonathan juga terkesan seadanya. Setelah segala masalah yang timbul karena perasaan yang terpendam, rasanya kurang masuk akal kalau Jonathan bisa serta merta menerima kemarahannya. Apalagi dengan sengaja memilih untuk melewatkan kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya.

What a waste of Mathias Muchus talent yang berperan sebagai orang yang bertanggung jawab pada luka batin Jonathan. Saya membayangkan banjir tangisan yang rasanya bisa ditimbulkan dari interaksi kedua tokoh ini.
Entah kenapa malah tak ada satupun kata yang terucap.
Sebuah Pujian
Terlepas dari kejanggalan penyampaian cerita yang saya rasakan, film berdurasi 1 jam 59 menit ini memang menyenangkan sekali untuk dilihat.
Berlatar belakang negara Kroasia yang terkenal dengan landscape alamnya yang spektakuler, sebagian besar frame di film Sore, Istri Dari Masa Depan layak menjadi wallpaper.
Cantik dan elegan!
Dinding dan jalanan batu di Eropa yang tak lekang waktu memang cocok dengan adegan-adegan romantis. Begitupun dengan kota tua Zagreb yang menambah kesan misterius di akhir cerita.

Jadi kangen menelusuri gang-gang kecil di Eropa dan menghirup kemegahan kota-kotanya.
Selain itu kutipan-kutipan di film ini memang cocok untuk dijadikan content kekinian. Kutipan seperti :
“Ada orang pernah bilang. Kenapa senja selalu menyenangkan. Kadang dia hitam, kelam. Kadang dia merah merekah. Tapi langit selalu menerima apa adanya.”
saya yakin akan menjadi primadona di kalangan anak muda.
Atau kaum dewasa yang merindukan romansa.

Sebuah Keluhan
Jika ada hal kurang penting yang ingin saya keluhkan mengenai film ini adalah utilitas nama Sore. Saya pikir sebagai nama yang nampaknya dipilih setelah pemikiran panjang, Sore akan memiliki arti lebih di film ini.
Penyebutan senja (yang seharusnya berhubungan dengan sore) memang beberapa kali dilakukan. Tapi di akhir ceritanya, perwujudan sore sendiri malah ditampilkan secara kurang nyambung.
Persis seperti yang disampaikan oleh Sore sendiri, “Kenapa tiba – tiba ada foto senja?”.
Lah dia saja bingung, apalagi saya?
Selain nama Sore, topik perubahan iklim yang berkali-kali muncul juga terasa dipaksakan. Relevansinya hampir 0 dengan cerita tapi nampak seperti berusaha dijadikan salah satu pembahasan utama.
Mungkin saja memang misi sang sutradara (atau pesan sponsor) untuk menyempilkan pesan mengenai perubahan iklim yang mengancam keindahan dunia.
Hal terakhir yang saya kurang sreg adalah kesimpulan dari film ini. “Orang berubah bukan karena rasa takut, tapi karena dicintai.”, ucap Jonathan dan Sore.
Tapi buat saya “Orang tidak akan bisa berubah selain karena tekadnya sendiri.”, adalah kesimpulan yang lebih tepat. Toh Sore sudah membuktikannya sendiri. Bukan cintanya yang menggerakkan hati Jonathan, tapi penerimaan Jonathan akan masa lalunya yang membuat dia bersedia berubah.
Sebuah Kesimpulan
Montase adegan berulang a la film time traveling menjadi klimaks film ini. Pilihan mainstream untuk cerita yang cukup tak biasa di Indonesia. Desahan terdengar dari penonton di kiri dan kanan saya. “Lelah”, gumam mereka.
Mungkin memang merasa lelah melihat Sore yang terus mencoba tanpa hasil, atau merasa relate karena di suatu titik kehidupan pernah mencoba mengubah seseorang.
Apapun itu, pembuatnya berhasil membuat penonton tergerak.
Saya tahu, “Sore, Istri Dari Masa Depan”, tidak akan memenangkan Oscar. Tapi film ini, saya yakin, dengan mudah memenangkan hati penontonnya. Apalagi untuk orang-orang yang sedang merasa rindu. It’s a good reason to get sentimental and cry.

Tak perlulah risau dengan berbagai keluhan yang saya sampaikan diatas. Toh itu hanya pendapat awam saya saja. Dibalik kritik saya akan ceritanya, saya jamin kok tak akan rugi menonton “Sore, Istri Dari Masa Depan”.
Saya pun sangat menikmati sore yang saya habiskan bersama Sore. The butterflies, the frustration, the squee, the ghostbump — they’re truly worth the time!
Sebuah tips: fokus saja pada keunyu-unyuan dari tokoh tokoh di film ini, dipastikan tak akan kecewa.