Dari Sampah ke Sisa Konsumsi

Sesungguhnya dengan tidak mengompos, seperti melewatkan sebuah peluang baik. Tetapi, bagaimana cara memulainya ya?

“Pengomposan adalah salah satu wujud dari rasa syukur kita kepada Allah atas penciptaan sistem siklus hidup yang sempurna. Untuk itu, kita harusnya terlibat. Yang berasal dari tanah harus dikembalikan ke tanah.” DK. Wardhani, 2019.

Sejatinya banyak waktu dihabiskan seseorang untuk berpikir panjang sebelum mulai melakukan sebuah pergeseran dalam hidup. Dari pola yang dikenali, menjadi sebuah hal yang berbeda-bahkan asing. Termasuk dalam mengompos.

‘Ngapain harus repot-repot mengurusi sampah sementara ada yang mengurusnya?’ Setidaknya pertanyaan ini yang berkelebatan di dalam hati. Karena baik saya maupun suami tidak ada yang hobi berkebun, berlatar belakang pendidikan pertanian, atau bahkan punya waktu luang.

Namun, era pandemi COVID-19 memberikan nuansa yang berbeda dalam hidup kami. Ada hal yang menggelitik saat memikirkan kompos bisa jadi salah satu solusi krisis pangan kami, jikalau-amit-amit-ini akan jadi sebuah masa yang panjang. Sampai-sampai membayangkan kalau harus pergi beli sayur dan punya risiko bergelimpangan di jalan, kami ciut, mengingat putri kami masih kecil.

Kerisauan ini yang kemudian menjelma menjadi sebuah peluang manis di tengah berita kehilangan di sana-sini yang bertubi-tubi dari sanak famili dan kerabat. Pemikiran tentang punya cadangan makanan di sepetak tanah di depan rumah dan sayuran gratis inilah yang membuat kami nekat bereksperimen, meskipun tidak pernah pegang cangkul dan sekop sebelumnya. Kata ‘nekat’ tidaklah berlebihan jika dibandingkan dengan pengalaman kami yang bisa dibilang ala kadarnya dengan mengubur biji alpukat sisa konsumsi keluarga ke dalam tanah begitu saja dan berharap ia tumbuh sendiri di bekas tanah urugan. Kalau dideskripsikan isinya batu pecah, sisa coran, kain sobekan baju, bungkus rokok dan kemasan makanan. Tak heran biji alpukat dan biji-biji lain ngambek.

Masalah Paling Besar

Berubah tentu saja menyakitkan. Bayangannya begini, sedang enak-enak rebahan, tahu-tahu diminta bangun untuk masak makanan katering untuk sekampung, hihi gak enak banget ya. Dalam helicopter view, memasak untuk sekampung artinya kesediaan untuk berbagi peranan dalam menanam kebaikan.

Persepsi mengompos ternyata juga begitu, dari enak-enak sekedar: kumpul-angkut-buang sampah berubah menjadi harus berpikir ulang mengenai pola konsumsi yang kebanyakan menggunakan kemasan. Sehingga harus cermat merencanakan dengan sistem cegah-pilah-olah. Dari hanya memindahkan tempat ke berperan dan bertanggungjawab atas sampah yang dihasilkan diri dan keluarga.

Demi mencari tahu berapa banyak dan apa saja yang kami konsumsi, kami melakukan audit sederhana. Mirip dengan adegan detektif, saat ingin menyelidiki profil seseorang, hal pertama yang dilakukan adalah membongkar tempat sampah rumah. Berapa kresek yang kami hasilkan dalam seminggu? Lebih jauh, isi kreseknya apa saja?

Dalam sebuah, emh sesungguhnya beberapa sesi belajar; kata ‘sampah’ digantikan dengan terminologi ‘sisa konsumsi’. Ternyata, pergeseran istilah ini berpengaruh cukup besar, sebab dengan persepsi sampah yang bau, jijik, dan kotor; dapat dipastikan tidak layak mengundang siapa pun untuk mendekat. Sementara sisa konsumsi menawarkan peluang lain, yakni sebuah tanggung jawab pada subjek pelaku untuk melakukan sesuatu. Mulai dari memikirkan ulang perencanaan matang pada kuantitas makanan yang akan dikonsumsi, penyimpanan sampai ke pengelolaan dan penanganan sisa-jika ada.

Di atas, saya sudah cerita audit tempat sampah kan ya?

Demi rasa ingin tahu, saya-kemudian kami-membongkar lalu mendapati sisa konsumsi dapur dari mulai bonggol sayur, kepala cabai, kulit bawang, kulit buah dan tulang belulang protein hewani sampai kemasan minuman dan makanan yang masih kami konsumsi.

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya, lebih berat, apa ada kebutuhan untuk mengkonsumsi benda-benda tadi atau hanya ingin? Adakah substitusinya? Dapatkah diusahakan untuk membelinya secara curah sehingga tidak menyisakan kemasan yang harus ditanggulangi.

Masalah-masalah Lain

Di periode yang tidak jauh berbeda, selain membaca tentang isu minim sampah dari Mbak DK Wardhani, saya pun terpapar pada buku Mbak Marie Kondo juga buku-buku clean eating yang digiatkan oleh Mbak Inge Tumiwa-Bachrens. Rasa-rasanya simpul-simpulnya jadi terhubung. Menerjemahkan tentang pentingnya whole food (makanan utuh) yang secara otomatis jika diusahakan hanya meninggalkan sisa organik, tidak lagi harus dipusingkan dengan sisa anorganik karena kemasan pesan antar, plastik bungkusan take away, dan alasan kepraktisan lainnya sehingga menyisakan pilihan hanya pada makanan ultra processed food yang notabenenya makanan instan.

Pola konsumsi serba cepat ini pada kenyataannya sama tidak baiknya bagi tubuh dan lingkungan. Terlebih dengan pola pembuangan kumpul-angkut-buang. Lalu dianggap aman, karena sampah atau sisa konsumsi ini sudah berpindah zat, aroma dan mikroorganismenya ke tempat lain. Bukan di rumah sendiri.

Padahal, kalau ditilik lebih lanjut dengan kecepatan membuang masing-masing rumah tangga dengan perilaku konsumsi yang serba cepat, tidak akan mengimbangi kapasitas tempat pemrosesan akhir sampah yang masih banyak dikelola dengan pola open dumping (pengelolaan terbuka).

Pernah lupa membuang sampah dari dalam rumah ke tempat sampah luar rumah? Atau kesal setengah mati saat petugas kebersihan tidak datang tepat waktu untuk mengambil sampah yang semakin mengundang lalat dan serangga lain saking beraromanya?

Dalam sebuah tugas belajar minim sampah dengan metoda daring di komunitas Belajar Zerowaste, mata saya terbuka dengan wawancara singkat dengan petugas kebersihan komplek. Meskipun skalanya kecil, saya mendengar langsung dari Pak Umar tentang peliknya urusan sampah, eh sisa konsumsi, dari mulai kapasitas TPS dan TPA yang tidak memadai dibandingkan timbulan yang dihasilkan. Maka, jadwal penjemputan dan pengantaran sisa konsumsi dari sumber (rumah dalam satu RT/RW) juga mesti dibatasi, karena armada pengangkut dari TPS pun dibatasi agar semua wilayah yang bernaung ke TPA area yang dilayani bisa menyetorkan.

Kabarnya, kondisi baru kembali normal lagi nanti setelah TPA selesai diperbaiki pasca ambruknya dinding penahan tanah.

Saya bergidik ngeri saat membayangkan hal ini pula yang mungkin terjadi 20 tahun yang lalu di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat pada tanggal 21 Februari 2005. Gunungan sampah longsor begitu saja akibat hujan deras semalaman, ditambah dengan ledakan gas metana yang timbul dari tumpukan sampah. Kejadian ini memakan 157 korban jiwa yang tertimbun longsoran sampah. Tragedi ini kemudian diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.

Hal yang paling umum dirasakan oleh teman-teman yang memilih untuk berdaya bertanggung jawab dengan sisa konsumsi organiknya dengan mengompos adalah mengalahkan rasa takut. Terutama dari ‘kisah-kisah seru’ para praktisi yang lebih dahulu mengolah sisa konsumsi. Kami dapat cerita yang kira-kira begini bunyinya, “Oh waktu pertama, anak-anak jerit-jerit ‘Umii ini ada belatungnya masuk rumah!’ lama kelamaan, mereka yaa biasa saja, mengembalikan belatung ke tanah atau ke wadah kompos.”

Buat saya, kalimat tadi seperti teror!!! Saya paling gak tahan sama makhluk uget-uget. Semasa anak kami masih bayi dan kalau saya menemukan ulat saat membersihkan sayur saja, saya bisa-bisa teriak kebakaran jenggot kalau gak ingat bayi baru saja bobo.

Namanya juga eksperimen, demiiii strong why kami: punya sayuran gratis dari kebun, perjalanan menghadapi makhluk uget-uget yang mungkin akan muncul dari proses pembusukan sisa konsumsi, kami hadapi juga. Dari mulai berusaha cool kalau lihat belatung keluar dari wadah kompos sampai mengupgrade tips and trick mengompos dengan memotong kecil-kecil sisa organik dan menyeimbangkan unsur-unsur kompos. Terakhir, menyodorkan Pak Suami buat maju duluan membuka panenan kompos pertama kami di komposter (salah satu wadah mengompos). Waktu itu, saya dan putri kecil kami hanya berani mengintip dari jendela, sementara Pak Suami berbekal sarung tangan, sekop, masker dan face shield membuka wadah komposter yang terbuat dari sisa kaleng cat.

Saya rencananya mau ikut menolong saat hewan-hewan hitam beterbangan bebas waktu tutup wadah cat dibuka. Namun rencana ya tinggal rencana, saya hanya berani sampai di pintu saja, tidak berani mendekat.

Tak lama kemudian kami tahu, hewan hitam yang beterbangan itu adalah black soldier fly (BSF), lalat istimewa yang membantu proses pengomposan dengan bertelur di sisa konsumsi dan memulai siklus hidupnya di sana dengan membantu makan dengan rakus yang akhirnya memberikan manusia sebongkah emas hitam: kompos!

Rasa takut berlebihan ini yang akhirnya sempat membuat saya maju mundur, sampai menemukan sebuah AHA moment dengan menggeser mindset bahwa merekalah rantai makanan pengelola sisa konsumsi yang melakukan kerja ajaib dengan membusukkan semuanya para dekomposer.

Setelah rasa takut meredup, alasan-alasan lain yang kemudian menahan kami untuk tidak segera hijrah ke mengompos, kami coba tackle satu per satu. Mulai saja dulu, mengutip sebuah iklan toko online. Mencoba untuk tidak terlalu banyak overthinking pada sebuah hal yang sama sekali belum dimulai.

Mengompos

Menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mengompos sesungguhnya seperti sebuah peluang baik yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Menurut data Sistem Pengolahan Sampah Nasional (SPSN) komposisi sampah yang merupakan sisa makanan, proporsinya sangat besar 39,16% dan sumber sampah terbesar adalah rumah tangga sebesar 54.54%. Bayangkan dengan siklus yang diciptakan Sang Pencipta, apabila diupayakan dengan baik, akan menemui kehidupan barunya alih-alih begitu saja dibiarkan tak terkelola yang mengundang bencana.

Pengomposan adalah mempertemukan bahan sisa organik untuk diuraikan secara biologis oleh mirkoba pengurai yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energinya.

Pada praktiknya, mengompos bukanlah satu-satunya cara untuk mengolah sisa organik. Mengompos sendiri ada yang menggunakan teknik aerob yakni penguraian dengan menggunakan bantuan oksigen, maka diperlukan sirkulasi udara yang baik untuk wadah pengomposan ini. Selain itu juga terdapat teknik anaerob yang proses penguraiannya tidak menggunakan bantuan oksigen, karenanya wadah yang digunakan perlu dalam keadaan rapat.

Keduanya tentu akan menghasilkan konsistensi serta perlakuan kompos yang berbeda. Juga perbedaan waktu proses penguraian bergantung pada komposisi, kadar kelembaban dan lain sebagainya.

Selain mengompos, kita juga bisa memanfaatkan sisa organik untuk membuat eco-enzyme yakni proses fermentasi limbah dapur organik yang dicampurkan dengan air dan gula (gula merah, gula coklat, gula tebu, molase) untuk menghasilkan cairan serba guna.

Kalau tingkat keberanian sudah naik, boleh mencoba cara ini: budidaya maggot BSF, iya ini si lalat pengurai sisa konsumsi.

Sebelum Mengompos

Jauhhh sebelum Mamah menimbang untuk mengolah sisa konsumsi dengan mengompos, Mamah perlu mempertimbangkan, beberapa hal sederhana seperti membuat meal plan beserta porsinya. Sehingga semuanya cukup untuk porsi Mamah dan keluarga kecil, sedang maupun besar, tidak berlebih.

Banyak referensi bertebaran tentang menyimpan sayur dan buah dengan baik di lemari pendingin sehingga bahan makanan habis dimakan bukannya habis membusuk di kulkas. Misalnya dengan menyimpan wortel dalam kontainer yang diisi air sehingga awet sampai jadwal belanja mingguan berikutnya, tidak membusuk atau kering di lemari es. Teknik menyimpan sayuran berbentuk buah dan daun berdasarkan jenis juga berbeda. Ada sayuran yang perlu dicuci hingga bersih, dikeringkan lalu diletakkan dalam kotak wadah tertutup yang diberi alas kain perca di dasarnya untuk menahan sisa air yang mempercepat sayur membusuk atau menguning.

Tenang, kalau cara-cara mengompos tampak belum feasible di keluarga Mamah saat ini, kita bisa pakai cara lain yang lebih sederhana yakni menghabiskan makanan dan mengolah sisa konsumsi untuk dipakai sampai habis (olahan kepala udang, kulit bawang, kaldu bonggol sayur, kulit singkong bagian tengah dan lain sebagainya yang membutuhkan eksperimen dan referensi lebih lanjut). Semangat mencoba ya, Mahs!

Selain itu, apabila Mamah memasak berlebih sisa dari hajatan atau acaranya yang mengundang banyak tamu, namun yang hadir sedikit, Mamah bisa berbagi dengan yang membutuhkan.

Atau kalau Mamah punya peliharaan/ternak di rumah, sisa konsumsi juga bisa diberikan untuk dimanfaatkan sebagai pakan. Yay, semua kebagian.

Baru di ujung pintunya, saat semua sudah diupayakan, Mamah masih punya sisa konsumsi, komposkan Mah. Jangan ragu.

Ada beberapa pertimbangan yang perlu Mamah lakukan dalam mengompos seperti tujuan mengomposnya apa untuk pupuk tanaman yang Mamah sayangi atau kebutuhan lain seperti menyambut siklus alam dan minim tanah untuk menanam sehingga kompos bisa dibagikan kepada tanah komunal atau pun kado minim sampah. Keren kan?

Mamah juga perlu menghitung ketersediaan waktu, biaya, perawatan, luas area dan tingkat kesulitan yang dapat Mamah hadapi sebagai pemula. Kalau belum sanggup membeli komposter drum, tidak usah dipaksakan.

Mamah bisa bereksperimen menggunakan material yang ada.

Di rumah, kami memulai dengan sistem gali timbun karena belum ada budget dan keperluan untuk membeli komposter di awal mengompos. Setelahnya, kami berinvestasi sedikit di komposter yang disulap dari wadah sisa cat dengan keran di bagian bawah. Nyatanya, setelah praktik beberapa lama, komposter ini belum bisa mengolah maksimal sisa konsumsi kami meskipun setelah dipadukan dengan sistem gali timbun. Lalu, saat ada keluangan, kami membeli komposter drum. Dengan wadah besar, kami jadi agak leluasa untuk mengompos kulit buah besar seperti durian, nangka dan cempedak.

Lalu kami menggilir kebutuhan kompos dari satu wadah ke wadah lain sambil terus bereksperimen dengan membuat komposter cacing dengan pelepah pisang sebagai bedengan. Pernah juga kami melubangi sisa bak mandi anak sewaktu bayi yang kami gunakan jadi komposter biji-bjian untuk menimbun semua biji yang tak dapat kami tampung kalau semuanya tumbuh di kebun umpel-umpelan kami. Ada kalanya juga kami mendapat rizki pallet kayu dan kardus dari sampah tetangga yang kami pulung untuk eksperimen mengompos di dalamnya. Terakhir, kami sedang suka mengompos kecil-kecil di wadah pot dan tempat sampah yang sudah tidak kami gunakan lagi dan diberi lubang di bawah dan sampingnya. Hasilnya tentu saja berbeda-beda.

Dalam sejumlah referensi, Mamah akan menemukan di skala rumah tangga ada dalam bentuk drum, ember, keranjang takakura, pot/gerabag, biopori, vermicompost, banana circle, lasagna garden dan lain sebagainya.

Cara Mengompos

Berdasarkan kadar air, sisa organik terbagi menjadi sisa organik basah dan sisa organik kering. Jika berdasarkan warna sisa organik terbahi atas sisa organik hijau dan sisa organik coklat yang masing-masing mengandung nitrogen dan karbon secara berurutan. Rasionya perlu dijaga pada coklat : hijau = 70%:30%

Komponen hijau bisa didapatkan dari sayur, buah, ampas kopi, teh, cangkang telur, ampas kelapa, makanan sisa. Sementara unsur coklat bisa didapatkan dari serbuk gergaji, kertas, kardus, serutan kayu, sekam, daun/rumput kering.

Komponen coklat dan hijau diletakkan berlapis-lapis bergantian seperti kue lapis.

Komponen lain yang dibutuhkan dalam mengompos adalah tanah dan pupuk kandang, bioaktivator, dan oksigen.

Makanan berminyak, turunan susu, daging, tulang, ikan dapat dikomposkan dalam jumlah kecil. Biasanya, saya meletakkan di bagian tengah, tidak terlalu bawah dan tidak terlalu atas. Agar aman dari hewan pengerat.

Namun demikian ada bahan yang tidak dapat dikomposkan yakni: kotoran hewan, ini juga mau dikomposkan juga, Mamah harus memastikan kompos panennya nanti tidak dipakai untuk tanaman pangan, cukup tanaman hias. Selain itu, Mamah jangan memasukan tanaman sakit, kertas bertinta ataupun yang berlapis plastik.

Di tahap awal, Mamah dapat membuat starter-nya terlebih dahulu menggunakan wadah apa saja yang dimiliki di rumah; lubangi dan sediakan penutup.

Siapkan bahan organik coklat, buah matang/busuk, air cucian beras 2 malam/air gula merah, tanah, dan pupuk kandang. Caranya, letakkan unsur coklat-tanah dan pupuk kandang-buah matang, taburi tanah-siram air beras-coklat-tutup dan diamkan selama 2-4 hari.

Mamah mulai bisa memasukkan sisa organik dapur di hari ke-3 atau 4. Pastikan setiap kali memasukkan sisa organik hijau, Mamah juga memasukkan sisa organik coklat 3 kali lipatnya. Lalu langsung aduk. Setelahnya Mamah bisa menuangkan bioaktivator saat kompos terlalu kering konsistensinya. Tanah atau pupuk kandang bisa Mamah tambahkan sesekali saja 1 bulan sekali 1 sendok semen. Komposte bisa ditempatkan di lokasi yang teduh, tidak terkena hujan langsung jika terbuka, atau bisa juga di tempat panas jika tertutup

Kapan panennya?

Setidaknya dalam 2-3 bulan, Mah apabila “anak” kompos Mamah sudah menunjukkan tanda kematangan seperti: tidak berbau, berbau sehat seperti tanah hutan, tidak terlihat lagi bentuk asli sisa organik, warna kehitaman, lembab, tidak basah, tidak kering, memiliki kemampuan mengikat air.

Kalau hanya diceritakan, memang rasanya bisa ‘oh gituuu’ sambil angguk-angguk. Gampil lah. Namun, kalau hal yang mudah ditunda rasanya kita gak akan ke mana-mana.

Salah satu strong why kami dalam mengompos sesunguhnya sedih kalau kami meninggalkan anak kami nanti dengan bumi yang semakin menyedihkan kondisinya. Dengan mengompos, mudah-mudah menjadi tabungan secuil kebaikan yang kita bisa tabungkan untuk anak-cucu kita kelak ya, Mahs. Karena dengan menggeser makna ‘sampah’ ke ‘sisa konsumsi’ ada tanggung jawab yang melekat pada kita, konsumen, bukan sekedar melimpahkannya tetapi juga berusaha mengolahnya.

Referensi:

DK Wardhani (2019) Menuju Rumah Minim Sampah

DK Wardhani (2020) Mengompos di Rumah itu Mudah

https://zerowaste.id

SPSN 2024

https://waste4change.com

Jade Petroceany
Jade Petroceany
Articles: 5

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *