Peduli Sampah Demi Lingkungan

Sejarah Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Apakah Mamah tahu bahwa tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia? Penetapan hari besar internasional ini beberapa dasawarsa yang lalu ternyata dilatarbelakangi oleh berbagai masalah lingkungan hidup di berbagai penjuru dunia yang makin meresahkan. Ada kabut asap yang melanda negara-negara di Eropa akibat pembakaran hutan untuk pembangunan. Ada wabah penyakit Minamata yang menimpa penduduk Jepang. Ada masalah pengelolaan limbah industri yang merajalela serta berbagai masalah lingkungan lainnya.

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menyelenggarakan konferensi yang membahas masalah lingkungan hidup manusia pada 5-16 Juni 1972 di Stockholm. Dalam konferensi tersebut, tanggal 5 Juni diusulkan untuk diperingati sebagai hari lingkungan hidup demi mendorong kepedulian masyarakat dunia terhadap lingkungan. Konferensi Stockholm menghasilkan beberapa kesepakatan untuk menanggulangi masalah lingkungan. Salah satunya adalah pembentukan sebuah badan PBB yang dinamai United Nations Environment Program (UNEP). Selain itu, diterbitkan pula Deklarasi Stockholm yang memuat prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan dan Rencana Aksi yang meliputi perencanaan terkait pengelolaan sumber daya alam, pemukiman, pengendalian pencemaran lingkungan, serta pendidikan tentang lingkungan hidup itu sendiri.

Sejak tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia (mulai tahun 1974), setiap tahunnya negara-negara di dunia menunjukkan caranya masing-masing dalam menggalakkan kepedulian terhadap masalah lingkungan. Kampanye tentang lingkungan hidup, penanaman pohon, pembersihan pantai, dan beragam aksi lainnya diselenggarakan di berbagai tempat. Namun, setujukah Mamah bahwa misi kepedulian ini sebaiknya tidak terbatas pada kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah saja? Bukankah kita, ibu-ibu yang umumnya “menduduki takhta ratu rumah tangga” justru memiliki peran besar dalam menyelamatkan lingkungan kita?

Satu Masalah Terdekat: Sampah

Ambillah masalah sampah, sebagai salah satu contohnya. Mungkin belum banyak yang sadar, terkadang kegesitan ibu-ibu dalam membersihkan rumah masing-masing justru dapat menjadi salah satu penyebab masalah sampah. Lo, tidak salah, nih

Semua Orang Ingin Rumahnya Bersih (sumber: pexels.com)

Jadi, begini ceritanya. Siapa sih yang tidak mau rumahnya tampil bersih dan cantik? Tentu kebanyakan dari kita menginginkannya. Karena itu, biasanya kita akan gemas melihat potongan kertas bekas prakarya anak yang bertebaran di lantai, plastik pembungkus paket yang menumpuk, hingga sisa-sisa makanan atau sampah dapur. Pasti menyenangkan jika semua yang menganggu pemandangan ini langsung dilenyapkan sekaligus. Seandainya ada yang namanya peri rumah, mungkin saya sudah meminta semua itu hilang dalam sekejap. Asyik, kan?

Sayangnya, kita tidak tinggal di dunia fantasi. Sejak zaman berkenalan dengan hukum kekekalan energi di bangku sekolah dahulu, saya sudah sadar bahwa tidak ada sihir … eh, maksud saya, tidak ada hal yang dapat hilang di muka bumi ini. Berubah bentuk sih masih mungkin, atau berarti terselip alias salah tempat (sembari teringat omelan Emak semasa saya kecil saat kebingungan mencari barang: “Enggak mungkin hilang, dong! Pasti enggak betul kemarin nyimpennya!”).

Begitu pula halnya dengan sampah. Apakah segala sampah yang kita singkirkan dari dalam rumah dapat lenyap secara ajaib begitu tiba di bak sampah? Sebenarnya, masalah—yang akan menjadi besar—justru baru lahir begitu tukang sampah mengangkut sampah-sampah kita tersebut. Berkat sumbangan sampah yang rutin terkirim dari rumah kita, rumah tetangga, rumah-rumah di RT, RW, kelurahan, hingga kecamatan sebelah, tumpukan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) terus bertambah tinggi dengan laju yang mengerikan.   Bukankah sesuai namanya, TPA memiliki sistem pengolahan sampah? Ya, betul. Akan tetapi, tidak sulitlah bagi kita untuk menebak mana yang menang: kecepatan pertambahan sampah yang datang dari ratusan rumah atau kecepatan pengolahan sampah yang dilakukan oleh segelintir orang di TPA?

Tumpukan Sampah di Tempat Pemrosesan Akhir, Hasil Sumbangan Kita (sumber: pexels.com)

Yang Dapat Kita Lakukan

Maka, apa yang dapat kita lakukan? Nomor satunya sederhana saja, meskipun mungkin tidak mudah pada awalnya: mengubah pola pikir. Kalau sebelumnya pemikiran mengenai pengurangan dan pengolahan sampah baru muncul setelah tempat-tempat penampungan sampah penuh, sekarang kita dapat melakukan yang sebaliknya. Terapkanlah prinsip 3R, yaitu reduce (kurangi sampahnya) dahulu, barulah reuse (gunakan ulang sampahnya), dan akhirnya recycle (daur ulang sampahnya)

Pemilahan Sampah
Contoh Pos Pemilahan Sampah di Rumah (dokumen pribadi)

Langkah pertama yang wajib diprioritaskan adalah reduce atau kurangi sampah. Ini berarti kita harus berusaha menghindari produksi sampah dari berbagai kegiatan kita sehari-hari. Untuk mencegah timbulnya sampah makanan, misalnya, kita perlu membiasakan diri untuk mengambil makanan secukupnya. Ajarkan anak-anak kita untuk mengisi piringnya sedikit-sedikit. Daripada mengambil sekaligus banyak di awal, lebih baik menambah makanan yang ingin disantap setelah isi piring sebelumnya habis.

Dalam misi mengurangi sampah, kita juga dapat menerapkan “beberapa R” lainnya: refuse (tolak), replace (ganti), dan repair (perbaiki). Tolak tawaran kantong plastik saat berbelanja demi mencegah adanya sampah keresek. Jangan segan untuk menggenggam begitu saja belanjaan kita jika jumlahnya hanya sedikit.  Ganti pilihan penggunaan wadah sekali pakai seperti mangkuk plastik atau styrofoam untuk jajan dengan kotak kosong yang kita bawa dari rumah. Perbaiki terlebih dahulu benda-benda yang rusak, jangan terlalu cepat membuangnya dan membeli barang yang baru.

Jajan Roti Tanpa Plastik (dokumen pribadi)

Bagaimana jika kita sudah telanjur menghasilkan calon sampah kemasan? Sering kali kita gagal mencegah munculnya sampah dari kebutuhan harian kita. Contohnya botol-botol bekas dari konsumsi vitamin dan obat kita atau kotak pembungkus paket. Sebelum membuangnya, mari kita luangkan sedikit waktu untuk mempertimbangkan langkah kedua dalam 3R: reuse atau guna ulang. Tanpa mengubah wujud barang tersebut, kita dapat memanfaatkannya untuk fungsi lain. Menggunakan sikat gigi bekas untuk menyikat sepatu, memakai kotak sepatu untuk menyimpan mainan, atau menjadikan botol minuman kesehatan sebagai wadah cairan pembersih adalah beberapa contoh aksi sederhana yang dapat kita lakukan.

Botol Bekas Sampo dan Minuman yang Digunakan Kembali (dokumen pribadi)

Tahap recycle (daur ulang) dapat diumpamakan sebagai benteng pertahanan terakhir dalam perang kita melawan sampah. Inilah yang terpaksa kita lakukan setelah dua langkah sebelumnya gagal terwujud mengingat pastilah ada sampah yang sama sekali tidak dapat kita kurangi atau pakai ulang. Salah satu contohnya adalah konsumsi buah yang akan menyisakan kulit buah. Mencegah timbulnya sampah kulit buah dengan cara tidak makan buah atau menelan segala jenis kulit buah jelas mustahil kita lakukan. Menggunakan kembali kulit-kulit buah itu dalam bentuk aslinya pun sepertinya luar biasa sulit, ya? Karena itulah, kita dapat mengandalkan langkah terakhir, yaitu melakukan daur ulang atau mengubah sampah yang kita hasilkan menjadi barang baru.

Sebagai salah satu jenis sampah mudah terurai, kulit buah dapat kita daur ulang menjadi eco enzyme. Tahukah Mamah bahwa eco enzyme yang berasal dari hasil fermentasi kulit buah ini memiliki sejuta manfaat? Kita dapat memakainya untuk membersihkan kamar mandi, melancarkan saluran pembuangan air, merawat luka di kulit, bahkan hingga menutrisi rambut!

Kulit Buah, Bahan Dasar Eco Enzyme (dokumen pribadi)
Eco Enzyme Siap Panen (dokumen pribadi)

Selain membuat ezo enzyme, bentuk daur ulang lain yang dapat kita lakukan terhadap sampah terurai adalah mengompos. Jenis sampah mudah terurai seperti sisa sayur, rambut, serta daun dan ranting dari kebun dapat kita olah menjadi bahan dasar kompos. Untuk melakukan pengomposan, kita dapat memilih satu dari beragam metode yang ada: biopori, drum komposter, atau komposter gerabah.

Membuang Sampah Mudah Terurai ke Lubang Biopori (dokumen pribadi)

Bukan hanya sampah sulit terurai yang dapat didaur ulang. Contoh paling sederhana dalam skala kecil atau rumah tangga adalah membuat prakarya dari sampah. Tenang saja, jika tidak sanggup melakukan semuanya sendiri, kita dapat mengandalkan jasa pihak ketiga seperti pemulung, bank sampah, atau pihak-pihak pengelola sampah swasta.

Demi Tuhan, Bangsa, Almamater … dan Lingkungan Hidup!

Bagaimana jika kita memilih untuk menganggap tanggung jawab atas sampah selesai saat membuang semuanya ke tong sampah dan tidak mau direpoti oleh langkah-langkah di atas? Tentu, tidak banyak dari kita yang merasakan langsung berbagai masalah di TPA. Bau busuk yang menyengat (akibat bercampurnya sampah mudah terurai dan dan sulit terurai) hanya satu “fenomena kecil” yang dirasakan oleh para pekerja di TPA atau penduduk yang tinggal di sekitarnya. Kebakaran atau bahkan ledakan akibat terkumpulnya gas metana (CH4) hasil pembusukan sampah di sana pun mungkin takkan langsung mencelakakan rumah kita yang berjarak puluhan kilometer dari TPA, misalnya.

Namun, apakah itu berarti kita tidak perlu peduli? Sebagai ibu, mampukah kita mengajarkan empati, sayang orang lain, serta nilai-nilai mulia lainnya kepada anak-anak sementara kita sendiri tidak benar-benar melakukannya? Selain itu, yakinkah kita bahwa ketidakpedulian itu sama sekali takkan berdampak pada kehidupan kita sendiri?

Bukankah saat ini kita sudah mulai merasakan berbagai gejala kerusakan bumi? Kemarin panas gerah dan terik menyengat, hari ini hujan badai dan dingin menusuk. Satu daerah mengalami kekeringan yang parah, sedangkan negeri sebelahnya terus dilanda banjir. Cuaca menjadi ekstrem dan tidak terprediksi. Lempengan es di kutub yang mulai mencair menandakan temperatur bumi terus bertambah. Permukaan laut di seluruh dunia pun naik hingga mulai menenggelamkan beberapa pulau di dunia. Efek rumah kaca telah mengakibatkan pemanasan global.

Salah Satu Wujud Nyata Pemanasan Global (sumber: pexels.com)

Jangan salah kira, bukan hanya asap kendaraan bermotor, limbah pabrik, dan aktivitas peternakan yang memicu perubahan iklim bumi. Berdasarkan penelitian Zhang, Xu, Feng, dan Chen (dalam Hartono, dkk., 2020), setengah dari total emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global ternyata justru berasal dari gas metana di TPA. Dengan kata lain, sekalipun kita menjadi vegetarian dan tidak memakai kendaraan bermotor, kita tetap memiliki andil dalam perubahan iklim selama masih belum mengelola sampah masing-masing secara bertanggung jawab.

Sekali lagi, mari menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan merenungkan kembali pengaruh keberadaan kita terhadap lingkungan. Namun, merenung saja tentu tak cukup. Yuk, Mah, mulai beraksi. Kita mulai dari yang kecil, sesuai kapasitas masing-masing. Demi apa? Tentu demi Tuhan, bangsa, almamater, dan lingkungan hidup!

Peduli Lingkungan Hidup, Peduli Habitat Kita (sumber: pexels.com)

Referensi:

Hartono, Djoko, dkk. 2020. Sampahku, Tanggung Jawabku: Buku Pengayaan Pembelajaran tentang Pengelolaan Sampah untuk Guru Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan & Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Heidy Kaeni
Heidy Kaeni
Articles: 5

8 Comments

  1. keren Dy tulisannya, sedikit menambahkan data tentang kontribusi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor persampahan di Indonesia besarnya 8 % dari total produksi GRK Indonesia, sektor terbesar lainnya adalah energi, industri dan transportasi.

    Jadi memang dibutuhkan untuk kembali bijak agar kita tetap hidup lestari bersama lingkungan kita.

    Satu isu lagi dari sampah rumah kita adalah sampah B3 dari rumah kita, semua akan mencemari lingkungan TPA lebih parah.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *