berhenti keramas

Diam-diam Berhenti Keramas

Semenjak habis melahirkan, tentu saja Mamah akan punya periode rambut rontok tak terkira, mengikuti naik-turunnya hormon kehamilan, melahirkan dan menyusui. Belum lagi dengan tambahan ketegangan (baca: keseruan) ada anggota baru dalam keluarga yang membutuhkan adaptasi serta beberapa penyesuaian.

Sebagai Mamah-mamah yang memimpikan semua hal ada solusi jitunya, produk shampoo antirontok terlintas sebagai obat mujarab. Setidaknya untuk satu hal, sudah ada solusi yang bisa selesai. Sementara untuk masalah pengembalian berat badan, itu mah masih panjang urusannya ya, Mah.

Sebelum ‘waktu Indonesia bagian khusus wanita ini’, sesungguhnya rambut saya juga sudah punya momen-momen indah dengan kerontokan. Solusinya ya tak lain dan tak bukan, gonta-ganti sampo sama rutin mencoba berbagai conditioner, hair lotion, hair tonic dan produk antirontok yang disodorkan ibu saya. Maklum, saya lebih cuek untuk urusan kecantikan begini, ibu saya yang banyak nyodorin dengan sedikit memaksa. Meskipun pada akhirnya banyak yang secara santai enggak saya pakai karena malas dan rasanya repot.

Saya belum sampai ke titik yang benar-benar melihat kerontokan rambut menjadi masalah serius sampai benar-benar menyapu helaian yang rontok setiap habis menyisir rambut. Menghitung sedikit-sedikit, yaa enggak detil. Hanya perkiraan kasar saja.

Kami bergantian menyapu, Pak Suami dan anak balita, yang tentu saja menyapunya masih lucu-lucuan. Dari pengamatan hasil menyapu, jika dikumpul-kumpul, pasti selalu ada saja segerombol rambut. Rasanya lebih dari 5-10 helai.

Suatu ketika Pak Suami nyeletuk, “Sampo antirontok ini bisa banyak ya fungsinya: buat pengganti foam cukur, cuci boneka anak, buat pembersih dapur, sabun cuci sepatu, disinfectant paket (kalau dicairkan), membersihkan noda makanan di baju, dan banyak lagi, yang enggak mempan cuma buat mengurangi rambut rontok.”

Kami ngekek bareng-bareng sambil mikir harusnya kami bisa protes ke layanan konsumen karena janji produk beserta iklannya: tidak teruji.

Ilustrasi berbagai produk rambut (Sumber gambar: Photo by oning on Unsplash)

Pencerahan

Di suatu hari pandemi COVID-19, kami mendapatkan pencerahan untuk mulai mempraktikkan hidup lebih berkesadaran. Biasa, efek baca buku. Ada masa-masa dalam hidup saya, kemudian kami, yang seperti itu. Jadi momen transformasi. Pencerahan. Enlightenment dari pilihan hidup kami sebelumnya.

Awalnya hanya membaca buku-buku, tulisan di blog, melihat kehidupan praktisi sampai bergabung di komunitas daring. Iya, saat itu sangat mahal pertemuan tatap muka.

Dari kemajuan teknologi untuk mendekatkan yang jauh–semoga gak kebalik ya, menjauhkan yang dekat–saya belajar banyak ilmu baru yang pada saat itu diberikan banyak pihak secara cuma-cuma. Seketika kami kebanjiran informasi. Termasuk tentang zerowaste, mindfulness, slow living, frugal living, permaculture, circular economy, homestead dan seputarnya. Karena sudah punya niche yang selaras, kami bisa memilih tanpa terlalu carut marut dan rakus. Seperlunya. Semampunya. Banyak yang rasanya beresonansi dengan kehidupan keluarga. Meskipun enggak semuanya bisa dipraktikkan saat itu.

Dalam sebuah forum di grup Telegram, kebetulan sekali ada yang menanyakan perihal rambut rontoknya yang tak berkesudahan. Kok ya pas sama problematika hidup saya. Boleh ya GR, Mah. Hihi. Dari pertanyaan itu hadir sejumlah jawaban. Mayoritas menyebutkan merek dagang sampo beserta pengalamannya masing-masing. Namun yang menarik buat saya hanya satu. Datang dari salah satu penghuni lama grup. Kalau saya perhatikan, memang Mbak satu ini kalau menjawab pertanyaan dari teman-teman newbie seperti saya rasanya selalu holistik.

Tentang rambut rontok itu, sebut saja Mbak A ya-karena saya lupa persis nama lengkapnya, menjawab dengan sangat masuk akal menurut saya dibandingkan dengan sekedar testimonial merk shampoo di pasaran.

Karena merek shampoo bukan one stop solution untuk permasalahan rambut rontok, yang saya baru tahu: kompleks bener.

Begini ceritanya…

Awalnya, kami diminta mengenali jenis rambut. Apakah berminyak, kering atau kombinasi. Karena perbedaan jenis rambut, kadang memerlukan perawatan yang berbeda pula.

Bisa sambil praktik ya, Mah.

Jenis rambut Mamah apa? Apa sudah kenal kebiasaan Mamah terkait perawatan rambut?

Setelah mengenali jenis rambut, saya seperti membaca hasil pre-test yang saya kerjakan.

Saya punya kecenderungan rambut yang kombinasi, dan memang sering rontok karena (1) (mungkin) secara genetik, ada rambut leluhur saya yang kering cenderung bercabang di bagian ujung, namun kadang berminyak. Musti dicek; (2) saya, DULU, kalau keramas tidak dengan pijatan yang lembut ke kulit kepala (bisa dibilang asal-asalan, yang penting mandi cepet kelar); (3) saya DULU beraktivitas di bidang yang cukup stres. DULU juga saya masih sulit menghadapi tekanan terhadap kerjaan dan masalah pribadi pulak. Combo!

Setelah resign lanjut dengan pressure punya new born sambil ketar-ketir status gizi buruk karena ada keterlambatan demand dan suplai ASI. Super combo! (4) DULU juga pola hidup saya kurang, maksudnya bukan cuma kurang tapi tidak sehat–saya masih suka jajan produk ultra-proses, bergelimang makanan dan minuman manis, jarang makan atau pilih-pilih makan buah dan sayur. Wait for it, dan hampir enggak pernah olahraga! Semakin lengkap profil saya yang jarang beraktivitas di bawah sinar matahari. Tidur juga asal-asalan, apalagi kalau ada deadline. Besoknya saya akan jadi mumi. Diajak ngomong tapi enggak nyambung.

Huff begitu.

Bagi Rapor

Setelah kumpulan masalah lengkap, Mah, yuk kita evaluasi bareng-bareng.

1) EVALUASI DIRI (mind, body and soul)

Mamah perlu mengenali tingkat stres. Sudahkah masalah yang menyebabkan Mamah stress tertangani. Sejauh mana Mamah sudah berkomitmen menyelesaikannya. Sudah menemukan kebiasaan baik yang bisa me-recharge keseharian Mamah? Apa Mamah bisa menerima “ketentuan” yang diberikan olehNya pada saat ini? Gaya hidup Mamah seperti apa? Apa pola makan Mamah sudah baik? Bagaimana dengan kebiasaan berolahraga Mamah? Pola istirahat juga durasi kegiatan yang memungkinkan terpapar sinar matahari.

2) EVALUASI PRODUK

Mamah perlu membaca ulang kandungan dari produk sampo yang digunakan apakah mengandung Sodium, Laureth, Sulfate (SLS) dan Silikon/demethicon? Apakah produk pencuci rambut dan perawatan rambut lainnya mengandung zat-zat asing ini yang terpapar ke rambut Mamah? Berapa pH air di rumah–apakah pH air di rumah Mamah sudah sesuai dengan pH seharusnya ke kulit kepala? Apakah air keran di rumah Mamah mengandung logam? Sudah cek pipa dan kebersihan toren/bak penampungan air di rumah Mamah?

Iyaa, iyaaa waktu tahu harus baca dan mengenali istilah keriting di komposisi sampo, saya harus pasrah. Yaa perawatan rambut yang saya tahu hanya yang itu, yang ada di jajaran rak supermarket, paling jauh yaa digeret Ibu saya ke salon buat creambath yang saya lumayan kapok dan ternyata enggak suka rasanya karena malah buat kepala dan badan sakit-sakit :))

3) EVALUASI CARA APLIKASI PRODUK

Apakah pijatan (waktu mengoleskan sampo) ke kulit kepala Mamah masih dilakukan dengan kasar? Apakah Mamah sudah mengeringkan rambut dengan cara yang benar? Apakah Mamah sisiran sebelum keramas atau sesudah keramas?

Kita pikir enggak akan berpengaruh segitunya. Tapi ternyataa… ngaruh banget ya.

Kalau sudah selesai assessment evaluasi 3 poin ini, baru memikirkan solusinya, Mah.

Ya kalau boleh dibilang buat rambut sehat, yang perlu dibenahi pola hidupnya. Sampo mah cuma komplementer.

Beralih

Masa berikut adalah masa eksperimen buat saya, juga buat keluarga. Ahaha, kalau gagal kan mereka juga kena efek sampingnya.

Suatu ketika setelah nambah jam belajar, saya memutuskan untuk berhenti keramas. Bukan berhenti membersihkan dan mencuci rambut yaa. Tetap cuci bersih. Hanya saja enggak pakai sampo. Enggak ingin gembar-gembor awalnya. Biar enggak dijauhi sekitar. Namanya juga eksperimen kan, bisa gagal, bisa juga berhasil.

Gerakan enggak sampo-an ini bukan dari saya, tapi sudah lama dipraktikkan oleh orang-orang di berbagai tempat.

Mamah bisa meluncur dengan kata kunci No Poo di mesin pencari. Mamah akan menemukan ragam eksperimen yang pernah dilakukan para praktisi. Ada yang menggunakan cuka apel dan baking soda, telur, per-oil-an, sampai yang menggunakan air saja. Di khasanah lokal tentu saja semakin unik, dengan material yang disediakan di alam sekitar tempat manusianya bermukim.

Pertanyaannya kapan sih sampoan bisa jadi kewajiban, masuk dalam area kebersihan sehingga jadi norma umum?

Tahun 1970an, orang-orang mulai lazim mempraktikkan pemakaian sampo setiap hari. Padahal di era sebelum 1800an, praktik bersih-bersih rambut dengan sampo setidaknya hanya sebuah kewajiban yang lebih ringan, sebulan sekali. Kemudian frekuensinya bertambah satu dekade setelahnya, menjadi dua minggu sekali.

Dengan masa PPKM yang kian melonggar, setelah pandemi yang mencekam, saya jadi punya ruang untuk eksperimen cuci rambut. Tadinya kan, sedikit keluar teras dan papasan sama tetangga dan tukang sayur keliling saja, heboh harus mandi bebersih lengkap sesuai protokol kebersihan. Efek samping tak ingin terjangkit virus corona dan hal lain yang ditumpanginya.

Balik ke urusan keramas, saya mulai berani mencoba satu tutup botol eco-enzyme yang saya buat sendiri untuk dilarutkan dalam satu gayung air. Itulah adonan sampo saya. Dengan demikian, saya jadi punya cara untuk mandiri. Pakai sisa organik dari rumah. Bebas dari ketergantungan produk pabrikan. Yay!

Di hari-hari lain, saya mencoba sisa perasan kulit lemon yang saya pelet-peletin ke rambut sebelum dibasuh air. Menurut satu referensi, berguna untuk menghilangkan gatal. Buat saya sih, ketenangan batin untuk mencoba. Kemudian saya ekspansi keramas pakai urang-aring dan lidah buaya. Oh pernah juga shampoo bar dari sebuah toko organik online dengan aroma kopi atau vanila ya, ah saya lupa.

Shampoo bar menjadi salah satu alternatif sampo pabrik di masa peralihan
(Sumber gambar: Photo by FitNish Media on Unsplash)

Belum sempat mencoba bahan organik yang lain-lain lagi.

Deg-degan? Oh iya! Beruntung saya hidup seatap dengan dua peneliti lain. Jadi yaa, eksperimen saya bisa diterima. Meskipun tak serta merta diekori. Sepanjang eksperimen, kami banyak diskusi di rumah. Lama kelamaan Pak Suami ngikut.

Dari beberapa yang pernah mendengar tanpa mencoba, wajar punya pemikiran yang skeptis tentang opsi membersihkan rambut dengan cara ini.

Pada suatu titik saya maju-mundur. Karena yaa itu, ada masa enggak enak yang perlu ditahan-tahanin. Setiap orang datang masa enggak enaknya ini beragam. Ini adalah masa alami rambut memproduksi minyak lebih setelah produk sampo pabrikan terakhir kita hentikan. Akibatnya bermacam-macam. Ada yang rambutnya lepek, berminyak parah, ketombean, rontok dan banyak lagi. Tapi ini cuma sebentar. Percayalah!

Waktu itu ada teman-teman yang sudah praktik No Poo duluan. Saya percaya sama mereka untuk tahanin efek enggak enak ini, hanya sementara. Logikanya, rambut itu memproduksi minyak alami yang membuat rambut kita sehat dan lembab secara alami. Enggak kering. Tanpa perlu conditioner segala. Dengan sampo pabrik, minyak alami itu yang jadi terkikis. Maka, waktu pemakaian dihentikan, rambut jadi perlu adaptasi, atur ulang, setting yang paling pas, sampai ketemu titik setimbangnya.

Tidak terasa ini sudah masuk tahun ke-3 keramas enggak pakai sampo pabrikan. Rasanya? Ya enak-enak saja. Irit yang jelas. Hihi. Rontok juga enggak lagi sampai puluhan dan ratusan. Pas banget lagi menyiapkan tulisan tentang keramas tanpa sampo ini, seorang teman juga berbagi pelajaran berharga setelah 7 tahun mempraktikkan no poo.

Saat dihantam keraguan waktu keramas pakai produk sampo rumahan (eco-enzyme), seorang Tante saya cerita–out of no where–kalau dia keramas pakai eco-enzyme yang dikirimkan gratis sama temannya tiap bulan. Saya mikir, Tante saya aja bisa segitunya percaya sama produk buatan temannya, padahal Tante saya belum mempraktikkan zerowaste, hanya soal sampo itu aja. Kenapa saya yang buat sendiri eco-enzyme di rumah, dari sisa kulit buah-buahan yang kami makan di rumah, bisa ragu sama produk sendiri?

Eco-enzyme jadi ramuan andalan untuk membersihkan rambut (Sumber gambar: Tabloid Sinar Tani)

Buat saya, melakukan praktik diam-diam sambil bereksperimen itu seru. Tidak terbayang kalau sudah gembar-gembor duluan terus kebanyakan dengar suara sumbang. Hehe bisa jadi eksperimennya gagal karena sudah mutung duluan.

Kalau Mamah gimana, tertarik untuk mencoba assessment (rambut)? Tertarik juga untuk eksperimen sendiri dan diam-diam atau lebih semangat dengan sistem ajak-ajak?

Jade Petroceany
Jade Petroceany
Articles: 4

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *