Ada yang menarik ketika saya mencermati hari-hari besar di bulan Juli. Saya baru tahu, ternyata ada Hari Tanpa Televisi yang jatuh pada tanggal yang sama dengan Hari Anak Nasional kemarin, 23 Juli. Informasi ini langsung saya teruskan kepada suami saya yang sedang bersantai.
“Sayang! Tahu enggak, tanggal 23 Juli itu bukan cuma Hari Anak Nasional!”
“Oh, ya? Hari apa lagi?” Ia balik bertanya.
“Hari Tanpa Televisi! Kita banget, ya, ini? Mau nulis, aah …”
“Bukan kita banget itu,” sanggahnya.
“Lo, kok bukan?” Saya bingung.
“Di rumah kita tuh namanya bukan hari tanpa televisi lagi. Hari-hari tanpa televisi, tepatnya.”
Sontak saya terbahak. Betul juga katanya. Peringatan khusus hari tanpa televisi kurang cocok bagi keluarga kecil kami karena memang setiap hari sudah kami lewati tanpa televisi. Sama sekali tidak ada program televisi apa pun yang kami tonton. Penyebabnya sederhana saja: di rumah kami memang tidak ada televisi.
Televisi di Mata Kami
Sebenarnya, kami pernah memiliki televisi. Setelah penanak nasi, kompor, kulkas, dan mesin cuci, televisi adalah barang elektronik berikutnya yang kami beli saat baru menempati rumah sendiri. Namun, berbeda dengan barang-barang elektronik lainnya, sepertinya barang yang satu ini kami beli tanpa meyakini bahwa kami benar-benar membutuhkannya.
Apakah kami sungguh memerlukannya? Kalau jawabannya ya, mengapa? Sebesar apa kebutuhan kami? Apakah di samping manfaat, ada kerugian yang ditimbulkan? Mana yang lebih besar, kegunaan atau kerugiannya? Pertanyaan-pertanyaan ini baru kami diskusikan bertahun-tahun kemudian, bukan saat mempertimbangkan untuk membeli televisi untuk “mengisi” rumah baru dahulu.
Setelah memiliki televisi di rumah, saya baru menyadari bahwa sebetulnya saya tidak terlalu membutuhkannya. Saat masih bekerja penuh waktu (bahkan sering lembur) di kantor dan membina rumah tangga jarak jauh dengan suami yang bekerja di lepas pantai, televisi hanya menyala satu atau dua kali sepekan atau bahkan dalam sebulan. Sebagai sarana hiburan, televisi ternyata tidak menjadi pilihan utama kami. Untuk melepas penat, kami berdua lebih senang membaca buku atau jalan-jalan.
Apakah ini ada hubungannya dengan kebiasaan waktu kecil? Saya ingat bahwa meskipun ada televisi, orang tua saya pun tidak pernah membiasakan saya dan adik-adik saya untuk menontonnya (kecuali untuk menyimak “Dunia dalam Berita”, yang tentunya tidak begitu menarik di mata saya semasa bocah). Pengalaman suami saya pun sepertinya tidak terlalu berbeda.
Bagaimana dengan hiburan untuk anak? Kebetulan, kami belum dikaruniai anak hingga tujuh tahun pertama pernikahan kami. Saat akhirnya dipercaya menjadi orang tua, anak pertama kami adalah anak angkat (melalui adopsi legal). Anak adopsi kami ini sebelumnya tinggal di panti asuhan anak balita bersama puluhan anak terlantar lainnya. Sebelum dapat membawanya pulang, kami sering sekali mengunjungi panti tersebut dan menyaksikan pemandangan rutin: anak-anak yang menghabiskan sebagian waktu “bermain”nya dengan menonton televisi.
Sebagian dari anak-anak yang menonton itu duduk cukup lama menatap televisi. Seolah-olah ada yang mengunci pandangan mata mereka agar tetap lurus ke depan. Entah mengapa, kami merasa tidak terlalu nyaman melihatnya.
Tentu tidak semua anak “duduk tertib” menonton televisi pada waktu tersebut. Sebagian anak lainnya sibuk bermain di ruangan yang sama. Ada yang duduk-duduk berkumpul memunggungi televisi, ada pula yang berlarian, berkejar-kejaran, atau bahkan berkelahi. Suara televisi disetel cukup keras agar dapat mengalahkan semua kebisingan itu sehingga anak—dan pengasuh—yang memang ingin menonton tetap dapat menyimaknya dengan baik.
Beberapa kali kami melihat acara tontonan yang sebenarnya bukan untuk anak-anak. Namun, menurut saya, banyak juga film animasi yang sebetulnya masih tidak sesuai dijadikan tontonan bagi anak usia dini. Saya menduga, itulah salah satu penyebab sering terdengarnya kata-kata tak pantas atau terlihatnya aksi-aksi kekerasan di antara anak-anak di sana. Bukankan anak adalah peniru ulung?
Kebijakan Pemakaian Televisi untuk Anak
Dari pengalaman tersebut, saya menyimpulkan bahwa menyeleksi dan membatasi tontonan televisi pada anak sangat penting. Maka, itulah yang saya lakukan begitu kami dapat membawa anak angkat kami—yang berumur sekitar tujuh tahun waktu itu—pulang ke rumah. Karena frustasi dalam menemukan acara televisi yang baik untuk anak, saya pun lebih banyak membeli DVD film anak. Menonton film dari DVD terasa lebih aman karena saya dapat mengeliminasi satu lagi pengaruh buruk yang sering terlupakan: iklan komersial. Akhirnya, selama beberapa tahun, televisi kami hanya berfungsi sebagai layar untuk menonton DVD. Antena yang rusak tidak menjadi masalah karena memang kami tidak pernah menggunakannya.
Saya pikir kebijakan untuk mengatur tontonan untuk anak yang saya terapkan sudah cukup baik dan tidak akan menimbulkan masalah. Rupanya saya keliru. Ada masalah baru yang timbul. Salah satu sebabnya adalah saya masih banyak bekerja di luar rumah sehingga ada waktu-waktu saat saya tidak dapat mendampingi anak di rumah. Saya sadar bahwa saya tidak dapat menyalahkan pembantu rumah tangga yang tidak mampu melakukan tugas pengawasan yang saya berikan. Bagaimanapun, kesehatan dan keselamatan anak adalah tanggung jawab orang tuanya.
Kalau diingat-ingat, saat di panti, anak saya sebetulnya tidak termasuk kelompok anak yang duduk diam menatap televisi berlama-lama. Namun, ternyata ketergantungan itu tetap ada. Mungkin ada yang hilang dalam hidupnya setelah sebelumnya pernah mendengar dan melihat televisi yang menyala berjam-jam setiap harinya. Setelah lebih banyak berada di rumah dan memberikan lebih banyak perhatian kepada anak, saya baru menyadari bahwa apa yang benar-benar dibutuhkan anak bukanlah televisi, melainkan kegiatan yang menyenangkan. Saya pun bertekad memastikan anak saya selalu memiliki beragam pilihan kegiatan tersebut.
Menjauhkan Segala Jenis Layar dari Anak
Mewujudkan tekad itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Ketika akhirnya saya hamil, melahirkan, dan merasakan mengasuh anak sejak usia bayinya, pelajaran saya bertambah seiring dengan bertambahnya tantangan yang harus dihadapi. Tidak sedikit sumber yang memberi tahu bahwa paparan layar tidak baik bagi anak usia dini terutama bayi. Nah, bagaimana cara mewujudkan hal ini sementara saya juga harus mendampingi anak berusia delapan tahun yang ingin menonton televisi? Saya merasa mustahil melakukannya dengan sempurna tanpa jatuh sakit lahir dan batin.
Solusi jitu datang tanpa disangka-sangka ketika kami terpaksa mengungsi akibat atap rumah yang harus direnovasi. Karena keterbatasan hunian sementara kami, televisi menjadi salah satu barang yang tidak kami bawa saat pindahan. Selama kurang lebih empat bulan di rumah tempat pengungsian, saya memperoleh berbagai pengalaman dan pembelajaran baru. Salah satu yang terpenting di antaranya: bagaimana menghabiskan waktu sehari-hari bersama anak-anak tanpa televisi dan segala jenis layar lainnya: HP, tablet, ataupun komputer.
Ternyata kami berhasil melakukannya. Kebiasaan itu pun kami teruskan setelah kami kembali tinggal di rumah yang telah direnovasi. Televisi yang telah terbukti tidak terpakai meskipun masih berfungsi baik kami hibahkan kepada para tukang.
Meniadakan segala jenis layar sebagai hiburan anak rupanya sama sekali tidak sulit. Benarlah kata guru yang mengajarkan IPS pada waktu saya duduk di bangku SD dahulu: televisi itu kebutuhan tersier, bukan primer. Ketika tidak ada, kehidupan masih tetap dapat berjalan dengan baik. Anak-anak tetap hidup, malah tampak lebih bahagia. Karena televisi, HP, ataupun tablet tidak tersedia di antara pilihan sumber hiburan, mereka pun tidak menuntutnya (apalagi si bayi yang sama sekali belum pernah mengenalnya).
Manfaat Meniadakan Layar
Sejak tidak memiliki televisi, segalanya ternyata justru lebih mudah bagi saya. Berbeda dengan yang saya bayangkan sebelumnya, ternyata saya tidak perlu sibuk mencarikan kegiatan alternatif yang menyenangkan bagi anak-anak. Mengapa demikian?
Sepertinya yang menjadi kata kunci adalah “alternatif”. Tentu saya repot setengah mati ketika harus mencari kegiatan hiburan yang dapat menggantikan dan mengalahkan “pesona” televisi (dan segala jenis layar lainnya). Namun, beda halnya ketika kotak ajaib itu memang benar-benar tidak ada dalam pilihan. Kegiatan apa pun terasa sama menyenangkannya. Selain itu, bukan saya yang sibuk menyediakan aneka kegiatan itu.
Menghilangkan keterlibatan televisi dan gawai dalam kehidupan anak-anak seolah memelankan ritme kehidupan mereka di tengah derasnya arus informasi zaman sekarang. Saat anak-anak yang menatap layar terus menerus hampir tidak pernah mengalami kebosanan (jika bosan terhadap satu tontonan atau permainan, selalu ada pilihan lain yang baru), anak-anak kami menghadapi perasaan itu berkali-kali. Ternyata ini adalah kemewahan!
“I think it’s necessary to let kids get bored once in a while – that’s how they learn to be creative.”
Kim Raver
Berkat deraan rasa bosan yang datang berkali-kali itu, anak-anak menjadi lebih rajin mencari dan menemukan aktivitas yang menyenangkan bagi mereka. Bukankah ini sungguh menguntungkan dan memudahkan kami, orang tuanya? Saya tidak kerepotan dan kelelahan, sementara kreativitas anak-anak terus terasah.
Soal kreativitas yang terasah ini pun menambah daftar panjang manfaat meniadakan aneka jenis layar pada anak-anak. Ada juga perihal keterampilan komunikasi dan sosialisasi. Tanpa keterlibatan layar, anak-anak lebih banyak berinteraksi langsung dengan orang-orang di sekitarnya. Anak-anak yang jauh dari gawai tidak hanya bebas dari ancaman keterlambatan bicara, tetapi juga lebih peka pada perubahan ekspresi dan emosi lawan bicara. Dengan kata lain, empatinya juga terasah. Jangan lupakan pula prioritas lainnya dalam tumbuh kembang anak: kesehatan fisik dan mental. Banyak anak mengalami gangguan kesehatan mata atau motorik kasar akibat terlalu lama menatap layar televisi atau layar lainnya. Selain itu, bukankah belakangan ini tidak sedikit pula anak yang dirawat di rumah sakit jiwa akibat kecanduan gawai?
Semua Ada Waktunya
Ini bukan berati kami antiteknologi dan sama sekali tak ingin anak-anak mengenal televisi atau aneka jenis gawai lainnya. Kebetulan saja kami percaya bahwa ada usia yang tepat bagi anak untuk mengaksesnya, berkenaan dengan proses tumbuh dan kembang yang sehat. Penggunaan gawai pada anak sebelum waktunya tentu akan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat.
Kami yakin, ada waktu yang tepat untuk segalanya. Menunda penggunaan gawai pada anak bukan hanya sebatas masalah memelihara kesehatan mata di usia kanak-kanak atau memastikan perkembangan motoriknya normal. Mengasah keterampilan berkomunikasi dan berempati, misalnya, menjadi hal yang sangat penting bagi kami sebelum anak mulai berkenalan dengan internet. Mereka harus tahu, meskipun kelak tidak melihat wajah lawan tutur saat berhubungan di media sosial, misalnya, kata-kata yang dikeluarkan harus tetap mempertimbangkan perasaan orang lain. Semoga norma-norma yang melekat pada setiap tuturan dan perilaku yang telah terlatih di dunia nyata ini kelak dapat diterapkan dengan baik ketika mereka memasuki dunia maya.
[…] terus diteliti. Misalnya anak autis yang mengalami sensory overload di indra pendengaran (telinga). Jaman dulu kita suka nonton serial Heroes atau Superman kan ya? Di serial itu ada tokoh yang bisa mendengar dengan jelas suara yang super halus, misalnya goresan […]
[…] game yang satu ini sebenarnya tidak perlu terlalu lama menatap layar. Jadi, kalaupun menerapkan hari-hari tanpa layar, game ini masih bisa dimainkan bersama. Tentunya mamah hanya memberikan ponsel ke anak-anak untuk […]
[…] Fyi, ini pertama kalinya saya membahas soal hal ini secara terbuka karena saya pikir pengalaman saya mungkin bisa membantu orang lain yang sedang struggling untuk terbebas dari kecanduan. […]