Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu manifestasi dari adanya perbedaan kekuasaan dalam hubungan lelaki – perempuan di sepanjang sejarah. Hal ini mengakibatkan adanya penguasaan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh lelaki. Kekerasan yang dialami oleh perempuan di sepanjang hidupnya pada hakikatnya berasal dari pola-pola kebudayaan, secara khusus merupakan dampak dari praktik-praktik tradisional budaya tertentu ataupun kebiasaan-kebiasaan yang merugikan serta semua perbuatan ekstrimisme yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama, yang mempertahankan pemberian kedudukan yang lebih rendah bagi perempuan di dalam keluarga, di tempat kerja, dan masyarakat. (Konferensi Sedunia tentang Perempuan ke-IV di Beijing, 1995).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Bintang Puspayoga) mengajak seluruh pihak untuk bersinergi melindungi perempuan dari jerat kekerasan dengan mewujudkan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Sejarah kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) pada awalnya merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya–upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.
Sikap Dunia
Guna melindungi dan memajukan hak-hak dan kebebasan, upaya penghapusan tindak kekerasan kini menjadi sebuah kepedulian global. Masyarakat dunia tidak tinggal diam melihat hal ini. Saat ini, telah ditetapkan sejumlah instrumen hukum internasional yang disepakati oleh negara-negara di dunia untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang berupa kekerasan ini.
Perjanjian internasional tersebut antara lain adalah:
- Vienna Declaration and Programme of Action (1993).
- Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979).
- Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1993).
- Beijing Declaration and Platform for Action (1995).
Pengertian diskriminasi terhadap perempuan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau CEDAW (1979), dalam Rekomendasi Umum Majelis Umum PBB No. 19 tahun 1992 dinyatakan bahwa:
Tahun 1993, Konferensi HAM PBB di Wina kemudian menguatkan hal tersebut dengan mengeluarkan Deklarasi dan Program Aksi yang menegaskan 3 butir pernyataan penting, antara lain:
- Hak asasi manusia perempuan dan anak perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia dengan menyeluruh.
- Partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial, dan budaya dan pada tingkat nasional, regional, dan internasional, serta penghapusan diskriminasi berdasar jenis kelamin, merupakan tujuan utama masyarat sedunia.
- Kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta harus dihapuskan.
Kondisi di Indonesia
Hingga kini, kasus kekerasan masih lebih banyak mengancam perempuan dibandingkan laki-laki. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada 2016, terdapat 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.
Sementara itu, data Catatan Tahunan dari Komnas Perempuan menunjukan selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat sebanyak 8 (delapan) kali lipat menjadi 792%. UN Women pun mencatat, risiko kekerasan online pada perempuan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi informasi pada masa pandemi Covid-19.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan, diantaranya melalui:
- Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
- Pengesahan Undang-Undang (UU) Tentang Hak Asasi Manusia.
- UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
- UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
- Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Nova Eliza, aktris sekaligus Pendiri Yayasan Suara Hati Perempuan, menyampaikan berbagai langkah penting yang harus dilakukan para perempuan untuk keluar dari toxic relationship, di antaranya adalah pentingnya menerapkan pendidikan anti kekerasan sejak anak berusia dini; berani untuk mengatakan “stop!” ketika disakiti; media massa harus berempati tinggi dan netral dalam menyajikan berita yang ramah; serta melibatkan laki laki sebagai mitra untuk mengubah berbagai norma diskriminatif dan menyuarakan stop kekerasan.
Kekerasan merupakan bentuk pelanggaran HAM yang menimbulkan dampak parah berkepanjangan, baik secara fisik mapun psikologis. Runner Up Puteri Indonesia 2020, Putri Ayu Saraswati menjelaskan bahwa “Hal ini tentunya akan menghalangi perempuan untuk berkontribusi dalam masyarakat karena mengalami trauma. Sangat penting bagi perempuan untuk mengerti apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi agar ketika kita mengalami atau melihatnya, mereka berani melapor atau speak up,” tutur Putri Ayu.
16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Tanggal 25 November diperingati sebagai awal dari 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Akhirnya, pada 7 Februari 2000, Sidang Umum mengadopsi resolusi 54/134, yang secara resmi menetapkan 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Deklarasi ini mengundang pemerintah, organisasi internasional serta LSM untuk bergabung bersama, merancang kegiatan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah kekerasan terhadap perempuan.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Sebagai institusi nasional hak asasi manusia di Indonesia, Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia.
Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Keterlibatan Komnas Perempuan dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) telah dimulai sejak tahun 2001.
Dalam kampanye 16 HAKTP ini, Komnas Perempuan selain menjadi inisiator juga sebagai fasilitator pelaksanaan kampanye di wilayah-wilayah yang menjadi mitra Komnas Perempuan. Hal ini sejalan dengan prinsip kerja dan mandat Komnas Perempuan yakni untuk bermitra dengan pihak masyarakat serta berperan memfasilitasi upaya terkait pencegahan dan penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Dalam rentang 16 hari, Komnas Perempuan mengajak berbagai komponen masyarakat untuk membangun strategi pengorganisiran dan menyepakati agenda bersama yakni:
- Menggalang gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM
- Mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan lebih baik bagi para survivor atau penyintas (korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan)
- Mengajak semua orang untuk terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, Jenis, dan Cara Melaporkannya
Kerap kali, korban kekerasan tidak menyuarakan apa yang mereka alami, baik itu kekerasan secara fisik, mental, maupun seksual. Banyak di antara korban yang kesulitan melapor atau tak berani untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. Berdasarkan informasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) para korban kekerasan dapat melapor melalui:
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini menyarankan, baik korban kekerasan atau pendamping, keluarga, komunitas, maupun pihak yang mengetahui adanya tindak kekerasan dapat melaporkan kasus tersebut ke polisi, perangkat desa (RT/RW) setempat atau ke pengada layanan seperti yang disediakan Kemen PPPA. Menurut Theresia, untuk mendapatkan respons cepat dengan melaporkan tindak kekerasan tersebut ke polisi. Sebab, apabila terdapat luka, lebam, atau trauma yang dialami korban bisa langsung dikenali. Bahkan, jika butuh visum bisa langsung dirujuk ke rumah sakit untuk visum et repertum.
Salah satu akibat dari adanya ketidaktegasan dan tidak maksimalnya hukum di Indonesia, mengakibatkan jumlah kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun menukik tajam.
Dalam Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (Catahu) tahun 2020, sepanjang tahun tersebut ditemukan 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan pada ranah personal ada 75,4% (11.105 kasus). Sedangkan kekerasan yang terjadi dalam komunitas mencapai 24,4% (3.602 kasus), sisanya masuk dalam kategori kekerasan negara 0.08%. Pada kasus kekerasan dalam keluarga ini, pelakunya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban, antara lain mantan suami, mantan pacar, kakak/ adik ipar, mertua, paman, teman dekat ‘ibu’, suami tidak sah, pacar dll. Data juga menunjukkan bahwa perempuan korban KDRT juga menjadi potensial pelaku kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya.
Data Catahu 2021 juga ditemukan lonjakan tajam pengaduan yang terpengaruh oleh situasi pandemi, yaitu kekerasan berbasis gender siber (KBGS) naik sebesar 348 persen, yaitu 409 kasus pada tahun 2019 menjadi 1.425 kasus pada tahun 2020. Ancaman dan/atau tindakan penyebaran materi bermuatan seksual milik korban dan pengiriman materi seksual untuk melecehkan atau menyakiti korban adalah dua jenis KBGS yang paling banyak terjadi. Pelakunya adalah mantan pacar ataupun akun anonim.
Penutup
Kekerasan seksual adalah hal yang dilarang dalam Islam karena ia merendahkan martabat kemanusiaan, baik martabat pelaku, terlebih lebih martabat korban. Islam jelas dan tegas menolak kekerasan seksual.
Dalam pandangan Islam kejahatan dan kekerasan terjadi akibat lunturnya nilai-nilai kemanusiaan yang Allah lekatkan dalam setiap diri manusia. Karena nilai kemanusiaan itulah ia disebut sebagai manusia. Melalui kemanusiaannya pula manusia saling mencintai, mengasihi, melindungi, menghormati, dan tolong menolong. Jika seorang melakukan kekerasan, termasuk kekerasan berbasis gender siber atau KBGS, berarti kemanusiaannya sedang bermasalah. Sebab itu setiap kali seseorang melakukan tindakan yang merugikan dan membahayakan orang lain, Islam mengajarkan agar ia “bertaubat” dan ber-“islah”. Islam menyerukan tobat dan islah bukan hanya pada pelaku, tetapi secara terutama pada korban.
Tobat secara bahasa memiliki makna -antara lain- kembali atau mengembalikan (raja’a). Kembali dan mengembalikan kemana? Bagi pelaku, taubah bermakna kembali kepada kemanusiaannya, sebab kemanusiaanya luntur setiap kali ia melakukan tindakan yang merugikan dan membahayakan orang lain. Namun bagi korban, tobat berarti mengembalikan korban kepada kondisi sebelum ia menjadi korban dan di sinilah makna pemulihan korban.
Pemulihan korban berarti mengembalikan ia kepada kondisi sebelum ia menjadi korban baik secara fisik, mental, dan sosial. Setelah korban kembali kepada kondisi semula, maka Al-Qur’an menganjurkan agar pelaku melakukan “islah”. Islah adalah tindakan atau upaya untuk menciptakan rekonsiliasi dan perbaikan. Islah penting dilakukan, sebab umumnya korban terhambat baik secara fisik, mental dan ekonomi sepanjang ia menjadi korban dan ketika menjalankan proses pemulihan, termasuk di dalamnya korban KBGS. Oleh sebab itu rekonsiliasi dan perbaikan (islah) harus segera dilakukan pasca pemulihan korban untuk menyusulkan kerugian baik materi maupun non materi. Islah meniscayakan taubah, tidak ada islah tanpa tobat.
Menghapuskan kekerasan seksual, termasuk KBGS haruslah dimulai dari akar-akar yang menjadi daya dorong lahirnya kekerasan seksual. Akar itu adalah relasi gender yang timpang dan relasi kuasa yang zalim dan tirani. Pandangan bahwa laki-laki superior, harus menjadi pemimpin, harus ditaati tanpa kritik, sebagai sumber kebenaran, menjadi ukuran kesalehan dan cara pandang lain yang menempatkan perempuaan sebagai subordinat dan marginal, adalah cara pandang yang berpotensi melahirkan kekerasan berbasis gender.
Olehnya membangun pemikiran yang berlandaskan kesetaraan, kesalingan, dan keadilan hakiki menjadi agenda yang penting sebagai upaya meminimkan bahkan menghapuskan segala bentuk kekerasan seksual.
semoga para wanita bisa berani speak up kalau dirinya atau mengetahui ada wanita lain yang jadi korban kekerasan, dan semoga kita bisa mendidik anak-anak kita yang laki-laki untuk lebih menghargai dan melindungi saudaranya yang wanita, dan anak wanita kita bisa dididik jangan mau jadi korban dan bisa membela dirinya atau mencari perlindungan.
benar sekali teh risna …
hari ini ada kampanye speak up #dengarkanpeludirespon dituliskan di telapak tangan dan diupload di media sosial.
thanks ya sudah mampir membaca
Teh Dewi, tulisan yang bagus, saya dapat banyak pencerahan. Saya pendukung golongan perempuan harus berpendidikan (bukan semata-semata pendidikan tinggi tapi ya), perempuan harus pandai, dan pastinya kuat.
Feminis yang balance hehe.
[…] terjadinya kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap […]
[…] Penyalin Cahaya juga bisa dibilang dilakukan di momen yang tepat yaitu ketika ada banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan banyak mencuat dan jadi perbincangan. Oleh karena itu, […]
[…] sudah merasa lelah dan apatis dengan perang, yang pasrah dan merasa memang sudah bagiannya menjadi bangsa jajahan, karena toh selama belasan generasi sudah selalu menjadi hamba bagi bangsa lain. Orang-orang ini […]