Culture Shock Ramadan di Kazakhstan

Menjalani puasa di Kazakhstan, negara Islam sekuler yang bercuaca amat dingin. Apa bedanya dengan budaya Ramadan di tanah air? Simak cerita lengkapnya di sini!

Kayaknya asik nih jalan menyusuri sungai Ural sambil berburu gorengan..”

Jam menunjukkan pukul 18.00, it’s time for ngabuburiiiit!

Segera setelah sholat Ashar, saya bergegas mengenakan 3 lapis pakaian serta coat dan sarung tangan. Suhu dingin tak masalah asal selalu dalam keadaan complete gear.

Seratus meter, 200 meter, 500 meter, 1 km… menoleh ke kanan dan ke kiri sembari dilewati kawanan burung hitam yang terbang bersliweran dan asap ngebul (reaksi dari cuaca dingin) dari knalpot mobil yang lalu lalang.

Yachhh kuciwa… sepanjang jalan termonitor tidak ada satu pun penjual kudapan.

Tanya kenapa? Ya kaliiii dingin-dingin gini nggelar dagangan samsa* dan baursak** di alun-alun.

Sungai Ural yang minggu lalu masih membeku (dokumentasi pribadi)

Islam Kazakhstan

Puji syukur kita dipertemukan lagi dengan bulan Ramadan yang suci dan penuh rahmat. Semua umat Islam di segala penjuru bumi menyambut kehadirannya. Tak terkecuali penduduk Kazakhstan, yang berdasarkan hasil sensus tercatat bahwa Islam merupakan agama mayoritas.

Sejarah masuknya Islam ke Kazakhstan mirip dengan Indonesia, yaitu dibawa oleh para pedagang Arab di sekitar abad 7 atau 8. Namun perkembangannya berbeda, Muslim Indonesia (secara kasat mata) lebih islami, di mana pelaksanaan ibadah harian salat sudah umum dilakukan dan pemakai jilbab juga sudah banyak.

Tanpa bermaksud menilai hubungan manusia dengan Tuhannya, Islam-nya orang Kazakhstan relatif ‘santai’ (ilmaiyyah). Atau dengan menggunakan istilah yang saya usahakan pendefinisiannya sangat hati-hati, “berada di spektrum yang berbeda”.

Ihwal ini juga berkontribusi pada timbulnya culture shock Ramadan di Kazakhstan. Pastinya bukan perkara budaya mana yang benar dan mana yang salah, melainkan sebuah indahnya perbedaan yang membuat hidup lebih berwarna.

Gegar Budaya

Selain tidak adanya kebiasaan ngabuburit berburu takjil yang seru, berikut beberapa hal yang membikin kita bersama-sama menggumam “Owalah di Kazakhstan gitu ya.”

1. Perbedaan Waktu

Jarak puluhan ribu kilometer dari Indonesia jelas memunculkan perbedaan geografis yang mengakibatkan tidak berkegiatan di jam yang sama.

Masih terpaku dengan jam biologis ketika di Indonesia membawa benefit tersendiri bagi saya.

Rutinitas saya per detik ini masih sama, yakni bangun jam 04.00 di saat saya sudah melek dalam keadaan prima. Sedangkan di sini Imsaknya jam setengah 7, wuaaaa kebayang kan Mahs bahagianya saya dalam menyiapkan sahur. Bisa sambil joget gemoy dulu. Bye bye mie instan. Bye bye makanan angetan.

Kemudian waktu berbuka puasa adalah pukul 19.30. So far durasi berpuasa kali ini sama ya dengan Indonesia, sekitar 13 jam.

Dengan catatan saat ini sedang musim peralihan menuju musim semi. Waktu akan berubah ketika musim berbeda.

2. Tidak Ada Dualisme tentang Penentuan Tanggal 1 Ramadan

Hal yang rutin kita saksikan di Indonesia pada detik-detik menjelang Ramadan adalah ramainya diskusi seperti:

  1. “Puasa mulai Senin atau Selasa?”
  2. “Hilalnya sudah tampak oleh mata belum?”
  3. “Ikut Muhamadiyah atau pemerintah?”
  4. “Aku mau mulai puasa yang paling akhir saja, lebarannya pilih yang lebih awal.”

Di negara yang dipenuhi oleh insan rupawan ini, tidak ada kehebohan itu. Lempeng-lempeng wae mengikuti metode perhitungan kalender Hijriah. Bulan Ramadan tahun 2024, segala penjuru Kazakhstan yang berlokasi di Asia Tengah dan sebagian Eropa Timur, serempak dimulai pada 11 Maret.

Meskipun begitu, puji syukur hingga sekarang, perbedaan permulaan tanggal 1 Ramadan di tanah air, senantiasa adem. Semua umat Islam di Nusantara memahami bahwa dualisme tersebut sudah menjadi tradisi dan menerimanya dengan tenang.

Mengutip petuah Ustadz Husein Hadar,

Mulai puasa besok atau lusa, sama-sama saleh. Yang salah kalau nggak puasa. Malah bagus, besok saling belajar antar sesama Muslim untuk menghormati yang berpuasa dan pengertian pada yang nggak puasa, yang bisa jadi bekal untuk saling menghormati antara yang Muslim dan non-Muslim sepanjang Ramadhan. Gitu.

3. Tidak Terdeteksi Sandal Jepit di Masjid

Masjid Imangali di Atyrau. Ubinnya jauh lebih dingin daripada ubin masjid di tanah air. (dokumentasi pribadi)

Bukan hanya merek Swallow, semua jenis sandal jepit dari yang murah sampai Birkenstock terpantau tidak terlihat satu pun. Nihil.

Kita tahu bahwa sudah menjadi pemandangan yang lumrah bagaimana masjid-masjid di Indonesia dihiasi dengan beraneka sandal jepit. Terutama di waktu sholat Maghrib dan Tarawih di bulan Ramadan.

Namun di sini, tidak ada seorang pun yang mengenakan sandal jepit ke masjid. Hipotermia dan frostbite mengintai. Kaos kaki tebal dobel dan sepatu winter untuk malam is a MUST.

Saya jadi auto membandingkan, di Indonesia betapa (lebih) mudahnya effort yang kita lakukan untuk keluar sholat Tarawih ke masjid. Tinggal slep pakai sandal jepit, memakai baju rapi tanpa ribet berlapis-lapis, dan jalan dalam suhu udara yang friendlyMager adalah alasan utama ahaha.

Salut dengan warga Kazakhstan yang tekun melangkahkan kakinya menuju masjid.

4. Tidak Ada Nuansa Ramadan di Mal maupun Tempat Keramaian

Pasti kita sudah akrab dengan suasana di segala sudut kota dalam menyambut Ramadhan. Setiap hari sayup-sayup terdengar suara mengaji di masjid terdekat. Pernak-pernik, poster, spanduk, dan baliho yang bertemakan Ramadan. Musik religi yang diputar di hampir semua toko dan mal. Banyaknya iklan promo buka puasa bersama di restoran. Et cetera et cetera.

Hik hik menuliskannya membuat saya rindu akan Ramadan di kampung halaman.

Singkatnya, semua kemeriahan itu tidak ada di sini, Mamahs. Jadi kayak gak terasa sedang bulan puasa. Ehehe.

5. Warung Makan Tetap Buka Seperti Biasa

Coffee Matters, salah satu kedai favorit. Tetap buka dari jam 08.00 sampai jam 23.00. (dokumentasi pribadi)

Berbeda dengan Ramadan di Indonesia, yang seluruh tempat makannya tutup sebelum sore datang — atau kalau pun buka, ditutup kain— di sini semua warung tetap beraktivitas seperti hari-hari biasa, buka pagi tutup malam. No tirai tirai club.

Jadi, jika tidak kuat melihat orang sedang lahap menyantap makanan lezat atau tidak tahan membaui aroma sedap, lebih baik berdiam diri saja di rumah.

6.  Tidak Ada Libur di Hari Pertama Puasa, Bahkan Idul Fitri pun Tidak Tanggal Merah

Tinggal di Indonesia memang banyak nikmatnya. Hari pertama puasa, ada libur. Idul Fitri, tanggal merahnya 2 hari, tapi total cuti bersama resminya bisa seminggu. Tak ketinggalan, THR juga ada. Wuaahh bersyukur banget.

Ssstt.. jangan sampai orang Kazakhstan tahu perihal THR ya. Khawatir nanti menimbulkan iri dan pada demo ke Pak Presiden-nya.

Ohya, perlu untuk diketahui bahwa Kazakhstan tidak memberikan libur pada semua agama. Berdasarkan konstitusinya, mereka merupakan negara demokrasi yang sekuler. Sekedar info, sesudah keriaan International Women’s Day tanggal 8 Maret yang lalu, minggu ini akan ada long weekend menyambut Nauryz Day***.

Btw saya kasihan melihat kalender tahunannya, Mahs, tanggal merahnya cuman sedikit.

Penutup

Demikianlah Mahs hasil observasi saya yang bare minimum ini dengan alasan:

  • belum genap sebulan berada di sini
  • hanya mengamati di kota yang saya tinggali, Atyrau; bisa jadi area kota besarnya yang gemerlap (Astana dan Almaty) lebih semarak
  • andai saja sekarang saya bisa berbahasa Rusia dengan lancar, saya bisa mewawancarai warga lokal dengan panjang lebar ya

Semoga informasi dari ujung dunia ini bisa menambah khazanah Mamahs. Tak lupa, selamat berpuasa untuk Mamahs yang menjalankan, dan selamat menikmati perburuan takjil untuk Mamahs semua.


* = roti yang dipanggang dengan oven, berisikan daging, bawang, dan lain-lain

** = semacam donat atau odading

*** = perayaan Tahun Baru orang Kazakhstan

Sri Nurilla
Sri Nurilla

Wanita Indonesia

Articles: 49

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *