Berbahan dasar kenangan yang kental serta kerinduan yang pekat, diramu dengan kehangatan dan cinta. Begitulah penggambaran yang tepat untuk film Petualangan Sherina 2 bagi saya dan mungkin 1 juta penonton lainnya di minggu pertama. Terpaut 23 tahun dari Petualangan Sherina (2000), sekuel ini menepati janjinya untuk mengajak penontonnya kembali ke masa lalu. Adegan-adegan didalamnya diselipi momen-momen kecil yang jadi benang merah dengan film pendahulunya. Easter egg kalau kata anak zaman sekarang. Walaupun terkadang ada yang terkesan dipaksakan, tapi tak mengapa, karena nostalgia adalah tema utama. Anggap saja reuni dengan teman lama, lalu recreating pose-pose di foto masa belia. Kadang cringe, tapi banyak juga gemesnya.
Plot wise tidak ada yang istimewa dari cerita di film ini. Sherina, yang sekarang bekerja sebagai jurnalis di sebuah stasiun TV, bertemu kembali dengan Sadam yang menjadi program manager di sebuah lembaga konservasi orangutan. Setelah 10 tahun putus hubungan, mereka kembali bertualang bersama. Kali ini menyelamatkan seekor bayi orangutan yang menjadi korban perdagangan satwa langka.
Sederhana dan tertebak. Tidak ada plot twist yang mengejutkan dan konfliknya diselesaikan tanpa kerepotan berarti. Padahal di awal film muncul beberapa karakter yang saya pikir akan punya peran lebih besar. Tapi ternyata tak ada misteri. Dari awal sudah jelas terpampang siapa yang salah dan benar. Tak perlu pemikiran terlalu mendalam tentang hal ini.
Bahkan tema besar tentang pertemuan dua sahabat setelah sekian lama putus hubungan juga terkesan hanya jadi konflik sambil lalu saja. Beberapa pertanyaan masih menggelayut di kepala, begitupun dengan beberapa plot hole yang bikin geregetan. Namun seperti kata Sherina “Kenapa sih harus drama?” maka kita biarkan saja pertanyaan-pertanyaan dan keganjilan-keganjilan tersebut tetap tersimpan di kepala. Bagaimanapun ini film petualangan bukan film drama romantis.
Dibalik plot nya yang standar, entertainment wise, film ini amat sangat menghibur. Chemistry antara kedua tokoh utamanya, Sherina (Sherina Munaf) dan Sadam (Derby Romero) meletup-letup di layar. Walau kadang agak kaku dan kelihatan “aktingnya”, tapi gesture, ekspresi, dan tatapan mata keduanya sangat meyakinkan. Terlihat memang saling sayang dan genuinely happy bisa bekerja bersama lagi. Menyenangkan sekali melihat banter mereka di layar. Sepertinya persahabatan kedua pemeran di kehidupan aslinya membantu membangun chemistry tersebut. Bagaimanapun, 23 tahun adalah waktu yang lebih dari cukup buat mereka memiliki hubungan sangat akrab dan nyaman satu dengan lainnya. Maybe they would not get any Oscar. But they definitely got our hearts.
Sebagai film musikal, lagu-lagu dan scoring, yang digarap oleh Sherina Munaf sebagai music director, indah, easy listening, relatable, dan very nostalgic. Mengambil nada-nada dari film pertama lalu mengembangkannya menjadi lagu baru, Sherina berhasil menciptakan karya yang fresh dengan tetap menjaga legacy guru musiknya, almarhum Elfa Secoria. Music director di film pertama. Irama-irama ikonik membangkitkan core memory, membuat kepala otomatis mengikuti musik walaupun baru pertama kali mendengar.
Buat saya pribadi, sangat disayangkan lagu “Terlalu Gegabah” tidak masuk ke film, padahal liriknya, menurut saya, sangat menggambarkan konflik batin Sherina dan juga pengembangan karakternya. Tapi mungkin dengan durasi film yang sudah mencapai 126 menit, kontemplasi dirasa tak perlu lama.
Panggung utama diberikan pada lagu “Mengenang Bintang” yang jadi punchline adegan nostalgia. Lanjutan dari lagu “Bintang-Bintang” di film pertama ini disajikan dalam adegan yang mencerminkan iconic scene di Bosscha. Masalahnya di bagian ini ada adegan yang cukup mengganggu, dengan kilas balik digambarkan dengan tarian di depan layar hijau. Agak dipaksakan kalau menurut saya. Lebih bagus dan mengena video klipnya daripada yang ada di film. Karena buat saya, “Mengenang Bintang” lebih pas menggambarkan perjalanan Sherina, Derby, juga seluruh penonton film Petualangan Sherina tahun 2000 yang bertumbuh bersama, daripada Sherina dan Sadam di film. Lagian daripada nari-nari mendingan kaca segede alaihim gambreng itu dipecahin deh buat lolos dari sekapan. Gemesh.
Soal tokoh antagonis, film kedua ini lebih serius daripada film pertama. Komplotan penjahatnya tak lagi lawak, dan motif kejahatannya lebih rumit dengan menyentil kondisi sosial saat ini. Padahal Randy Dhanistha yang berperan sebagai Dedi, si kepala komplotan kriminal, comical banget di kehidupan nyatanya, tapi sayangnya di film ini dia tidak diberi porsi untuk menunjukkan kelucuannya. Begitupun dengan Kelly Tandiono yang berperan sebagai Pingkan. Sadis beut tampangnya. Sampai kesel beneran lihatnya.
Perlawanan yang diberikan oleh Sherina dan Sadam di film ini juga lebih serius dengan adegan-adegan action yang lumayan seru. Berantemnya beneran, bukan lucu-lucuan seperti dulu. Punya basic beladiri yang cukup mumpuni, Sherina dan Derby melakukan semua adegan action sendiri. Entah mengapa memuaskan untuk melihat koreografi bela diri yang apik diperankan dengan lumayan lihai. Tenang saja, walaupun serius, adegan-adegan action-nya masih age appropriate buat anak SD. Tidak berdarah-darah. Walaupun di salah satu adegan tetap eksplisit terlihat senjata tajam.
Sementara itu, porsi komedi terbesar diserahkan kepada Ardit Erwandha yang berperan sebagai Aryo, kameramen tandem Sherina, dan duo penjahat utama, pasangan Ratih (Isyana Saravasti) dan Syailendra (Chandra Satria). Aryo dengan celetukan-celetukannya yang jenaka menjembatani plot pertemuan kembali Sherina dengan Sadam, sementara Ratih mencuri perhatian dengan tingkahnya yang super unik. Kedua tokoh ini diperankan dengan sangat natural dan memorable. Walaupun hanya muncul di beberapa scene saja.
Tokoh lain yang mencuri perhatiannya adalah Sindai yang diperankan oleh Quinn Salman. Walaupun penokohannya menurut saya agak nanggung. Antara gadis hutan yang bisa menavigasi rimba Kalimantan dengan sangat baik atau gadis pelajar Kalimantan yang lebih lekat dengan kehidupan sipil. But anyway actingnya superb. Tatapan matanya itu loh menjiwai sekali. Sayang di film ini dia tidak diberi kesempatan menyanyikan lagu. Padahal di kehidupan aslinya Quinn Salman adalah penyanyi anak-anak yang populer juga aktor musikal Petualangan Sherina.
Apapun pendapat saya mengenainya, banjir kenangan membuat saya menonton film ini dua kali. Pertama dengan si sulung dan teman-teman sekolahnya, kedua sendirian. Karena saat yang pertama saya lebih sibuk menyuruh si Sulung untuk diam. Haha. Baru meresapi momen-momen (dan juga musiknya) saat nonton yang kedua. Terlepas dari ketidaksempurnaannya ini adalah film yang menarik (podcast interview cast and crew-nya lebih menarik lagi). Hal yang perlu diingat, film kedua ini bukanlah film anak-anak, melainkan film dengan sudut pandang dewasa yang cukup ramah anak. Bagaimanapun tokoh-tokohnya sudah bertransformasi menjadi manusia dewasa di usia 30-an dengan segala dilema dan romansanya.
Satu faktor yang mungkin membuat film ini bisa sukses, menurut saya, adalah Sherina Munaf dan Derby Romero yang tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang nampaknya baik. Two decent adults. Smart, polite, eloquent dalam bicara dan tahu maunya apa. Nggak macam-macam, walaupun tenar sejak belia. Coba kalau salah satu dari mereka langganan disorot infotainment karena kasus, pasti impact film kedua tidak akan sebesar ini. Melihat keduanya kembali di layar mau tak mau saya juga teringat masa-masa menonton film pertama, dimana saat itu saya masih SMP.
Can’t be helped juga merasa tua. Ya ampun. Ternyata sudah selama itu waktu berjalan.
BRB, mau nyetel “Mengenang Bintang dulu buat kesejuta kalinya….
[…] kebanyakan kisah cinta romantis yang digambarkan di buku, serial TV, atau film memang isinya cerita anak remaja sampai usia awal 30-an. Untuk usia di atasnya, biasanya genrenya melodramaer yang berputar di konflik pernikahan dan […]
[…] Review Jujur Petualangan Sherina 2 […]