Membaca Totto-chan di kali ketiga ini spesial, pasalnya kami-saya dan si Kecil-meniatkan untuk menamatkan buku Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela ini sebelum filmnya turun dari layar bioskop.
Sebelum tanggal 1 Mei 2024, sekelebat saya melihat tayangan di feed Instagram bahwa kisah Totto-chan akan ditayangkan di bioskop. Kesempatan, pikir saya, untuk membaca ulang kisah gadis Jepang cilik yang unik ini. Kali pertama membacanya, saya masih menjadi anak kuliahan tingkat 3 rasanya. Saat itu masih menggebu-gebunya diskusi pendidikan di himpunan mahasiswa dan bersama beberapa teman yang satu interest ngeriung ribut-ribut diskusi mau buat sesuatu. Pas banget buku Totto-chan ini hadir dan terjadilah diskusi dari mulai yang santai sampai yang berat tentang wajah pendidikan di Indonesia.
Konkritnya waktu itu, si Teman inisiator masih rajin buat bedah buku yang mengundang Pak Cik, Andrea Hirata, dan terus ghibahin pendidikan yang gak sudah-sudah. Dari sana, lahirlah gerakan kakak asuh yang dijalankan oleh beberapa teman. Juga jam-jam melakukan volunteering untuk menjadi reader di Wyata Guna yang sebelumnya sudah diprakarsai oleh teman dari jurusan lain.
Setelah jadi orangtua, saya merindukan kisah Totto-chan untuk saya baca dan bacakan ulang. Waktu itu, A, putri kami masih berusia 4 tahun rasanya. Bagian favoritnya dari buku itu adalah scene saat gerbong kereta perpustakaan baru datang di sekolah Tomoe. Ada sebuah buku, singing picture, yang memandu anak-anak tentang bagaimana menggambar seorang wanita dusun-hausfrau yang saya nyanyikan dengan nada kira, kira-kira. Hehe. Tapiii, nyanyian itu begitu lekat diingat A pada kurun waktu usia itu. Sehingga saat berkunjung ke rumah orangtua, ia mengajarkan sang Kakek, ayah saya, bagaimana menggambar hausfrau
Lingkaran, titik; Lingkaran, titik;
Tanda pagar untuk hidung;
Lingkaran dan titik lagi.
Tiga rambut, tiga rambut, tiga rambut—dan wow!
Sekejap mata, jadilah wajah gendut hausfrau
Nonton Bioskop vs Buku
Di akhir minggu yang lalu, kami sekeluarga akhirnya nonton bareng film animasi Totto-chan. Reaksi saya? Meleleh-leleh air mata di banyak bagian adegan. Ahhhh, mungkin akan berbeda kalau saya nontonnya pas masih mahasiswa dulu. Jadi ibu-ibu dan melewati berbagai segmen kehidupan, rasanya punya arti lain. Apa lagi setelah kali ketiga membaca kisah Totto-chan. Meskipun kali ketiga, waktu menonton itu belum tamat, karena ketakutan filmnya keburu turun tayang.
Setiap membaca, buat saya, seperti ada lapisan baru yang tercipta. Saya memang bukan ahlinya mengomentari perkara animasi sih ya, tapi, tapi, tapi film layar lebar Totto-chan ini, untuk saya, banyak menggambarkan imajinasi saya saat membaca bukunya.
Kami memang terbilang bukan keluarga movie goers, jadi pemandangan norak seperti lupa bawa baju hangat ke bioskop bisa diselesaikan A, putri kami, dengan meminjam sarung bapaknya sebagai selimut selama pertunjukkan berlangsung. A juga menikmati menonton di kursi bioskop dengan teater ukuran kecil saja dengan bantuan booster, bantalan kursi tambahan anak, agar ia bisa leluasa menonton di kursinya tanpa terhalang kepala penonton di depannya.
“Rocky Pah itu!”
Saya tersenyum, ternyata bukan hanya saya yang merasakan visualisasi ini cukup mewakili perasaan para pembaca. Tetapi juga pembaca baru seperti A yang langsung mengenali Rocky, anjing penggembala Jerman sahabat Totto-chan.
Selama film berlangsung, kami kerap berbisik ini adegan yang ini dan yang itu di dalam buku. Untuk A, waktu saya bacakan nyaring, kisah Totto-chan mencari dompet bergambar anjingnya yang jatuh di kakus cukup berkesan. Maka, saat melihat fragmen itu di layar, saya intip ekspresinya. Sambil ia juga sibuk membisikkan adegan itu pada neneknya yang duduk di sebelahnya tapi belum pernah membaca utuh bukunya.
Adegan lain yang berkesan dan cukup powerful untuk A adalah melihat perjuangan Totto-chan membantu sahabatnya, Yasuaki-chan untuk naik ke atas pohon. Sementara sahabatnya itu mempunya keterbatasan fisik dengan kaki dan tangannya yang terkena polio. Kami ikut merasakan kelegaan Totto-chan dan Yasuaki-chan saat akhirnya mereka sampai ke atas pohon menikmati pemandangan bersama di suatu hari libur. Yang semuanya, selamanya, akan menjadi rahasia mereka berdua.
Triggering
Namun demikian, mengajak anak di bawah umur menonton film yang sudah dilabel untuk semua umurpun tetap butuh ruang dialog. Bukan, bukan karena ada adegan berdarah-darah, tetapi karena adanya setting waktu yang berlatar belakang perang dunia.
Bagian ini membuat saya agak deg-degan, terus terang, pasalnya kami belum sampai atau tepatnya belum siap ke pembahasan perang. Analogi yang kami gunakan untuk penjajahan masih sangat sederhana untuk dimengerti oleh anak umur 6 tahun seperti A. Misalnya waktu ia bertanya, “Apa artinya penjajah?” yang kami bahas belum sampai ke tentara, pahlawan dan lain sebagainya, tetapi masih sesederhana contoh kalau ada kucing yang masuk ke rumah kami tanpa diundang. Itu masuk trespassing. Eskalasinya saat kucing itu bukan hanya sekedar minta makan dan menerobos masuk, tetapi juga mengundang kucing-kucing lain dan hendak mengusir kami dari rumah, kemudian itu yang kami sodorkan sebagai contoh yang tidak absurd tentang penjajahan. Kemudian datang hal yang lebih nyata lagi, pendudukan Israel atas penduduk Palestina. Bukan lagi jadi hal yang ringan untuk kami bicarakan sepintas lalu.
Pertanyaan-pertanyaan seputar, “Kenapa rumahnya dihancurkan?”,”Kenapa Tomoe dibom?” meluncur dari mulut A saat dan sesudah nonton film. Saya, kemudian kami, jadi perlu tarik nafas lagi berpikir dari mana jalan paling mudahnya untuk masuk ke penjelasan itu. Mhhh…
Selain tentang perang, isu tidak mudah yang perlu dipersiapkan saat menonton film animasi ini adalah mengenai perundungan. Adegan ini diceritakan di dalam buku. Tentang sekelompok anak yang melewati sekolah di gerbong kereta ini dan mencela Tomoe sebagai sekolah yang usang. Kami belum sampai sejauh itu membaca di buku, saat kami menonton filmnya. Maka, yang A ingat, “Kenapa anak-anak itu ngata-ngatain gitu sih, Ma?”
Hari ini, saat kami menggelar tikar di carport rumah yang sengaja kami biarkan tak beratap, kami sampai ke bagian itu. Di mana celaan ini semula berawal dari sebuah jingle yang dimodifikasi anak-anak sekolahan kala itu dengan mengganti-ganti klausal bagian luar dan dalam sekolah sebagai sekolah yang usang dan sekolah yang bagus.
Penggambarannya serupa meskipun tidak sama persis. Totto-chan adalah anak pertama yang mendengar hinaan dari sekelompok anak-anak itu terhadap Tomoe. Ia juga yang lari mengejar mereka sampai masuk ke dalam gang dan kembali dengan kesal sambil menggubah jingle itu sesuai yang ia rasakan saat berada di Tomoe. Bahwa Tomoe adalah sekolah yang bagus, di dalam maupun di luarnya, bukan sekolah usang. Awalnya pesan ini hanya digumamkan, lama kelamaan ia berteriak, anak-anak lain datang dan menghambur mengikutinya bergandengan tangan merasakan hal yang sama. Bahwa Tomoe adalah sekolah terbaik untuk mereka. Visual di film, tentu saja perlu diperlihatkan lebih dramatis. Anak-anak Tomoe berhadap-hadapan langsung menentang kelompok perundungnya. Itu yang jadi sumber pertanyaan A.
Selain itu, ada juga adegan lain yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Yakni saat Totto-chan mengajak Yasuaki-chan mengintip latihan kelompok orkestra Papa Totto-chan. Ada kata-kata makian kasar yang diungkapkan pemimpin orkestra saat kelompok itu tidak menunjukkan performa yang baik. Dengan tambahan visual adegan bapak-bapak merokok saat break latihan dan ngobrol santai di teras gedung latihan.
Cross Cultural Learning
Banyak hal mengenai budaya yang saya pikir seru menjadi bahan diskusi ataupun pintu masuk belajar untuk A. Berkaitan dengan latar waktu, tempat, kebiasaan bahkan keyakinan yang berbeda.
Kisah Totto-chan telah membawa nuansa Jepang dalam rumah juga pembicaraan keseharian kami. Karena membaca buku, maksudnya membacakan nyaring, tidak dilakukan dalam sekali duduk. Kami punya banyak jeda untuk merenungkan, mendiskusikan hingga membuat sebuah adegan jadi reka ulang.
A jadi tahu, di Jepang memberikan salam dan hormat adalah dengan membungkukkan badan. Sementara pengetahuannya selama ini, membungkukkan badan hanya pernah ia lihat di akhir sebuah pertunjukkan teater/tari saat semua pemain menghambur ke depan sebelum lampu menyala. Menarik untuk tahu juga pemusik jalanan di Jepang, agak berbeda dengan pemusik jalanan di Indonesia yang hanya bawa gitar atau seperangkat akustik kecil bahkan geng parade ondel-ondel beserta tanjidornya. Selain itu, A juga jadi tahu posisi kuil sebagai tempat suci untuk beribadah juga tempat bersejarah di masyarakat Jepang.
Di rentang waktu itu, belum ada televisi, radio menjadi salah satu alat komunikasi yang penting. Digambarkan Totto-chan hampir setiap pagi diminta Papanya untuk mengecek berita di radio mengenai ramalan cuaca di hari itu. Sampai di saat menjelang perang, ramalan cuaca tidak lagi disiarkan. Tetapi berita terkini mengenai situasi saat itu yang kian menyedihkan.
How to Parent
Pesan penting untuk saya, kami sebagai mama papa, tentu saja didapatkan sebanyak satu karung penuh dari membaca dan menyaksikan film Totto-chan. Tetsuko Kuroyonagi, nama asli Totto-chan, telah menuliskan memoir ini untuk menyampaikan pentingnya mengapresiasi keunikan setiap anak lewat sosok kecintaan anak-anak Tomoe, Sosaku Kobayashi—sang kepala sekolah. Bagaimana pun mereka terlahir.
Tomoe, meskipun dalam kurun waktu yang cukup singkat (1937-1945), telah berhasil mempraktikkan sebuah model pendidikan yang inklusif. Tidak membeda-bedakan anak-anak yang datang dengan kebutuhan khusus dan anak-anak yang terlahir normal. Kobayashi menyulap gerbong kereta lama untuk menjadi kelas-kelas serta perpustakaan. Segalanya, selain infrastruktur yang dibuat untuk anak-anak merayakan dirinya sendiri, telah dipikirkan masak-masak terangkum dalam kurikulum dan metode pengajaran yang menumbuhkan.
Kalau mau mengintip, kita bisa melakukan riset kecil tentang petikan-petikan hikmah yang ditinggalkannya. Dari mulai dengerin Totto-chan 4 jam ngoceh tanpa henti di hari pertama, senam euritmik, piknik dan memasak di alam, makan “sesuatu yang berasal dari laut dan sesuatu yang berasal dari gunung”, membiarkan anak-anak belajar dari hal yang disukainya, pelajaran tentang tes keberanian, lomba yang berhadiah lobak besar yang bisa dibawa pulang anak-anak dan dimakan bersama keluarga, kemping di aula, ahhh banyak!
Selain sekolah, kisah Totto-chan juga menggambarkan bahwa pendidikan anak bisa sejalan, saat nilai-nilai hidup tempat anak membuka dan menutup mata setiap harinya juga memberikan ruang untuknya bertumbuh. Keluarga Totto-chan digambarkan sebagai sebuah tempat yang hangat menerima seluruh keunikannya, alih-alih menganggapnya anak bandel.
Mama Totto-chan tidak pernah memberitahukan kepadanya sampai ulang tahunnya yang ke-20, bahwa sebelum bersekolah di Tomoe, Totto-chan dikeluarkan dari sekolah pertamanya. Karena guru-guru sudah tidak tahan dengan kelakuannya yang dianggap ‘tidak wajar’,’tidak menurut’, dan ‘tidak mudah diatur’.
Mamanya juga cukup berbesar hati menerima semua kelakuannya dari mulai pulang dengan noda tanah, noda kotoran dari kakus, terjerembab dalam larutan semen dan eksplorasi Totto-chan lainnya.
Di Tomoe, semenjak hari pertama mamanya telah memberikan kepercayaan pada Totto-chan juga Mr. Kobayashi dan pihak sekolah. Untuk melakukan interaksi, layaknya dua pihak dewasa. Totto-chan diajarkan cara naik dan turun kereta untuk ke Tomoe di hari pertama, setelahnya, ia bisa sendiri. Mama juga memberikan ruang untuk Totto-chan yang punya impian-impian tidak lazim seperti mau jadi mata-mata, lalu berpindah-pindah seiring ia besar: penjual karcis kereta, penari balet Swan Lake dan banyak lagi. Karenanya, dengan mama, Totto-chan bisa menceritakan apa saja tentang harinya. Maka, mama juga bisa dengan mudah menyampaikan nilai-nilai keluarga dengan kemelekatan seperti itu kepada Totto-chan.
Figur papa, digambarkan sebagai seniman yang awut-awutan. Tetapi, papa yang mengajarkan Totto-chan arti kepercayaan dan arti janji juga dedikasi. Saat perang meletus, Totto-chan mendukung keputusan papanya yang tidak ingin memainkan melodi biolanya di pabrik senjata hanya demi mendapatkan kebutuhan pangan keluarga. Ah, bagian ini juga hati-hati membuat srat-srot!
Curiosity killed the cat!
A terpantau ketawa cekikikan gak berhenti pada bagian Totto-chan menutupi kebohongan yang tidak logis saat mama bertanya tentang bajunya yang kerap robek. Jawaban Totto-chan yang tidak logis, untuk A, membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Bayangkan, seorang anak kecil menjawab, “Ma, bajuku sobek itu gara-gara aku lagi jalan terus ada segerombolan anak yang melempar pisau ke punggungku.”
Sementara jawaban mamanya yang sudah tahu kebohongan itu hanya, “Pasti mengerikan sekali ya!”
Kami tertawa makin keras.
Baju dan celana dalam Totto-chan yang robek setiap harinya itu adalah perlambang keseruannya dalam bermain. Pemenuhan rasa ingin tahunya. Bahkan didukung oleh sekolah Tomoe, agar anak-anak mengenakan pakaian paling usang. Supaya anak dan orangtua tidak perlu mencemaskan pakaian bagus yang akan kotor dan mencegah anak dari bersenang-senang, memenuhi rasa ingin tahunya.
Mengintip kisah Totto-chan membuat rasa ingin tahu A, juga kami berpendaran ke berbagai arah. Termasuk ke kisah 47 Ronin. Kami sampai riset kecil tentang kuil Sengakuji tempat mereka dimakamkan, bahkan A meminta saya membacakan nama 47 ronin itu. Gempor lidah saya meleyat-meleyot menyebut nama khas Jepang dengan berbagai varian. Rasa ingin tahu ternyata begitu, menyedot kita semua terbang tinggi. Membawa kita ke sebuah hal baru, melapisi pengetahuan-pengetahuan sebelumnya. Ah kita semua berprogress kalau mau disadari.
Saya jadi penasaran saat menghitung-hitung umur Totto-chan, sudah berapa usianya sekarang. Lalu mengintip Instagram Tetsuko Kuroyanagi dalam rentetan kanji yang saya gak mengerti. Sudah nenek-nenek dan tetap nyentrik! Namanya juga Totto-chan! In between, pasti banyak lagi yang telah ia lakukan. Sosaku Kobayshi pasti bangga janji Totto-chan terpenuhi dalam bentuk yang lain. Setelah bertahun-tahun ia menanamkan kepercayaan padanya, “Kamu tahu, kamu anak yang baik kan?”
[…] Mamah Jade yang menyatakan bahwa perbedaan itu untuk dirayakan. Karena semua tulisan tersebut bernuansa optimis. Mamah Risna menampilkan 5 daftar pertanyaan yang seringkali diterima seorang Ibu yang jawabannya […]
[…] yang diterapkan di institusi pendidikan menentukan hal-hal yang dipelajari oleh anak dan bagaimana cara anak mempelajarinya. Oleh karena itu memilih institusi pendidikan yang sesuai dengan nilai dan tujuan pendidikan di […]