“Mam kok ada jerawat. Kamu bukan istriku ya. Kembalikan istriku yang dulu!”
Sebuah candaan yang uhhh sakitnya tuh di sini. 🙁
***
Berada di belahan dunia lain ternyata memang tidak melulu ditunggu oleh sang kesenangan, namun juga ada sang tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah kondisi kulit wajah.
Belasan tahun mengandalkan dokter kulit untuk mengurusi muka; tetiba saya mengalami culture shock, di mana saya harus berjuang sendiri menentukan rejimen skin care yang tepat.
Pada awal kepindahan ke negara nun jauh di sana, hari-hari saya makin sibuk karena pagi siang malam membaca referensi jurnal dermatologi dan artikel-artikel yang berhubungan dengan kulit wajah. Ngejus udah, nge-gym udah, berjemur matahari udah, makan sehat udah… aktivitas sehari-hari saya sudah berada di jalan yang benar, tapi kok muncul jerawat. Saya juga bertanya-tanya, seharusnya kan di usia saya sekarang sudah tidak ada tuh yang namanya jerawat mampir.
Dari hasil bacaan tersebut, saya jadi tahu bahwa yang terjadi pada saya adalah breakout akibat melepas ketergantungan krim dokter. Breakout setiap individu beragam, ada yang muncul jerawat besar-besar dan merah, ada juga yang ringan. Pada kasus saya, jerawatnya kecil, namun ketika satu jerawat sudah kempes, muncul jerawat yang lain.
Jadi kalau ngaca, kesal sendiri. Sebaiknya memang jangan sering ngaca kalau kondisi wajah sedang tidak baik-baik saja, Mah, karena bisa menimbulkan stres yang juga menjadi faktor penyebab perubahan hormon dan ended up nambah jerawat.
***
Di sisi lain, menyerap banyak informasi membuat saya kewalahan dan makin bingung di persimpangan. Mencoba-coba berbagai cara dan produk yang mengakibatkan pengeluaran bulanan meningkat.
Ada yang bilang wajib eksfoliasi setiap hari, saya auto menuju ke Toko Beautymania membeli produk Paula’s Choice yang banyak menyediakan berbagai krim eksfoliasi, dari yang gentle hingga yang strong: AHA, BHA, asam glikolat.
Eh lalu muncul informasi yang menggarisbawahi agar jangan terlalu banyak menggunakan produk berbahan acid pada wajah. Saya pun auto mengurangi pemakaian AHA dan BHA menjadi 3 hari sekali, dan memberi jarak penggunaan retinol dan serum vitamin C.
Kemudian ada yang menyarankan pelembab tinggi agar menghindari sebum yang berlebihan, ganti lagi dengan krim asam hialuronat.
Selanjutnya ada yang bilang bahwa produk lokal adalah terbaik karena sang peracik krim sudah tahu korelasi alam dengan orang-orang yang tinggal di sekitar dengan memanfaatkan khasiat tanaman bunga lotus dan bunga chamomile. Beralihlah saya ke merek “Resep Nenek Agafi” (Банька Агафи).
Saya merasa sedang di kapal Kapten Blackbeard yang terkena badai, terombang-ambing. Di tengah kegalauan, saya menyempatkan berkirim WA ke dokter kulit saya yang dulu, “Buk, plis buka cabang ERHA di Kazakhstan, pasti laku Buk.”
***
Lelah. Akhirnya saya memutuskan untuk datang ke Dokter Vashurina di klinik Atyrau Beauty, yang juga rekomendasi kawan dari Indonesia. Di sini saya jadi tahu bahwa dokter kulit yang punya klinik tidak meracik obatnya sendiri, melainkan memberikan resep untuk dibeli sendiri di apotek atau toko kecantikan. Berbeda dengan klinik-klinik di Indonesia.
Di kunjungan pertama, saya diberi tindakan peeling untuk menghilangkan sel kulit mati yang ada di epidermis dan bagian teratas dari lapisan tengah kulit. Serta diminta untuk beralih ke produk skin care bermerek La Roche Posay.
Kunjungan berikutnya, saya diberi tindakan laser yang merupakan pengalaman pertama saya. Laser tersebut ditempelkan selama 1-2 detik di bagian wajah yang berjerawat. Saya tidak menyangka sakitnya bukan main, Mah. Panasssss bangettttt. Ini adalah 10 detik terlama dalam hidup saya, sangat tersiksa rasanya. Duh gini amat nyenengin suamik, batin saya kala itu.
***
Sambil tetap beraktivitas harian dan rutin ber-skincare La Roche Posay sesuai titah Dokter Vashurina, saya masih berusaha mencari-cari metode agar wajah bisa bebas jerawat dan glowing seperti saat memakai ERHA.
Ilham pun datang. Pikiran masa lampau terbersit ketika dulu saya sering membeli sarapan nasi pecel tumpang di kampung halaman.
Penjualnya adalah seorang Ibu dan anak perempuannya (yang kala itu mungkin berusia 20an), dari pagi sampai siang blekuthekan di dapur ngebul, ngadhep nasi panas dan merebus sayuran berulang-ulang tanpa henti. Rumahnya pun sederhana ala kadarnya, tapi wajahnya bening dan bersih.
Jelas bukan karena paparan krim geje yang hasilnya terkenal instan itu. Hasil pemakaian krim tersebut terlihat tidak alami, kulit wajah akan berwarna putih maksimal, pucat, tidak segar, dan sangat njomplang dengan warna kulit tubuh lainnya.
Memakai produk mahal? Jelas tidak betul. Selain karena mereka berjualan demi memenuhi kebutuhan dasar, juga karena kala itu belum booming segala skincare teknologi tinggi di kota sekecil Kediri. Hanya ada VIVA dan sebangsanya.
Hasil analisis saya adalah STEAMING! Yes Mah, mereka tidak menyadari bahwa setiap harinya mereka melakukan suatu ritual yang bagus untuk kulitnya. Mereka memaparkan diri ke uap-uap masakan jualannya yang membantu membuka pori-pori wajah sehingga minyak dan kotoran yang menempel akan lebih mudah dibersihkan, yang juga bagus untuk mencegah infeksi jerawat dan muka pun jadi bersih kinclong.
Dari hasil ingatan dan perenungan ini, saya memasukkan ritual steaming. Tidak perlu membeli facial steamer yang harganya ratusan ribu di Amazon, Mah, cukup dengan mendidihkan air lalu mendekatkan wajah kita di atas panci berisi air panas tersebut yang ‘dikunci’ dengan handuk besar dan tebal. Jadi wajah kita bagaikan terperangkap diantaranya. Cukup 5 menit sampai 10 menit.
Baru beberapa hari, wajah saya terasa lebih kalem, kalau dipegang pun lebih halus. Menguapi wajah ternyata memang seefektif itu untuk menghilangkan komedo.
Saya makin bersemangat dan optimis bahwa cara-cara mudah dan sederhana begini memiliki hasil yang baik.
***
Beberapa waktu kemudian, di laman Youtube muncul video tentang masker tomat, yang oleh kreator kontennya disebutkan bahwa ini sempat populer beberapa tahun lalu karena merupakan rutinitas seorang beauty influencer bernama Lizzie Parra.
Dengan optimis, saya memborong tomat. Cara aplikasinya pun sangat mudah dan simpel. Satu buah tomat akan saya bagi 2, separuh saya makan, separuhnya saya gosok-gosokkan memutar dengan lembut ke wajah dan leher setelah steaming. Lalu didiamkan minimal 15 menit. Selanjutnya saya cuci muka dan memakai krim wajah.
Tomat kaya akan vitamin C dan likopen yang merupakan antioksidan kuat, juga asam salisilat yang membantu mengatasi jerawat dengan cara membersihkan pori-pori dan mengurangi peradangan.
Rangkuman studi yang dipublikasikan dalam “The British Journal of Dermatology” dan “Journal of Dermatological Science” menemukan bahwa konsumsi tomat dapat mengurangi kerusakan kulit akibat paparan sinar matahari dan menurunkan risiko terjadinya eritema (kemerahan kulit). Juga menunjukkan bahwa masker tomat dapat membantu menghidrasi kulit, mengurangi tanda-tanda penuaan, dan memberikan efek menyegarkan.
And so forth… and so forth…
***
Saya bisa mengklaim bahwa TOMAT, uap wajah, dan make up adalah elemen penyelamat wajah saya saat ini.
Saya juga bisa bilang bahwa di tengah gempuran skincare yang tercipta dengan pondasi sains yang harganya jutaan, menjamurnya beauty devices (seperti guasha, LED therapy, microcurrant facial toning device), teknologi mutakhir kecantikan yang mahal dan namanya susah diingat (dual fraxel laser, intense pulse light, radio frequency skin tightening) hingga botox, filler, dan operasi bedah plastik; resep warisan nenek dengan memanfaatkan hasil alam sekitar tidak bisa dipandang sebelah mata.
Meskipun hasil pemakaian bahan alami tidak secepat prosedur modern, tapi signifikansinya tampak. Alternatif yang jitu untuk Mamah yang mau sabar, hemat, dan tidak mau sakit.
Jangan biarkan moto netizen “Tips kulit glowing dan awet muda adalah DHUWIT” menghantui Mamah. Yakinlah semua ada caranya. Banyak jalan menuju Roma.
Nah, resep bahan alami apa nih yang sudah Mamah terapkan untuk menjaga kecantikan kulit? Coba bagikan di kolom komentar yuk!