Sejak 21 tahun yang lalu, setiap tanggal 18 Desember diperingati sebagai Hari Migran Internasional. Sesuai namanya, Hari Migran diperingati secara meluas, oleh 193 negara yang tergabung di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Hari Migran Internasional berdasarkan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang diadakan pada 18 Desember 1990.
Tujuan utama penetapan hari internasional ini adalah sebagai sarana untuk mengedukasi publik terhadap berbagai isu dan masalah yang dihadapi oleh pekerja migran. Diharapkan, seluruh negara akan memberikan perlindungan kepada para pekerja migran, menghormati hak – hak asasi mereka sebagai manusia, dan menghapus segala bentuk diskriminasi.
Hari Pekerja Migran Internasional 2021
Dalam peringatan Hari Migran Internasional tahun ini, Sekjen PBB, António Guterres menyampaikan bahwa solidaritas dengan para migran tidak pernah lebih mendesak, terutama di masa pandemi Covid 19. Para migran terus menghadapi stigmatisasi, ketidaksetaraan, xenofobia, dan rasisme yang meluas.
Solidarity with migrants has never been more urgent. We need more effective international cooperation and a more compassionate approach to migration.
António Guterres
Dengan tema Memanfaatkan Potensi Mobilitas Manusia, PBB mengajak masyarakat dunia untuk melakukan kerja sama yang lebih efektif dan pendekatan yang dalam terhadap migrasi. Hal ini berarti mengelola perbatasan secara manusiawi, sepenuhnya menghormati hak asasi manusia dan kebutuhan kemanusiaan setiap orang, dan memastikan bahwa para migran dimasukkan dalam rencana vaksinasi COVID-19 nasional.
Aspirasi yang sangat bagus tentunya. Saat ini ketika saya tinggal di Malaysia, di era pandemi, saya merasa bersyukur dengan kemudahan mendapatkan vaksin COVID-19 secara gratis. Bukan saja untuk pekerja migran legal, tetapi pihak Kerajaan Malaysia juga memberikan vaksin untuk pekerja ilegal sekalipun. Semoga hal yang sama bisa didapatkan juga di negara-negara lainnya.
Definisi Pekerja Migran
Dikutip dari situs PBB, per Juni 2019 ada 272 juta orang jumlah migran internasional atau kurang lebih 3.5 persen dari populasi global. Jumlah ini meningkat sebanyak 20% kalau dibandingkan dengan data tahun 2010. Didukung oleh kemajuan teknologi dan informasi, dan tentunya transportasi yang semakin murah, berpindah dari satu negara ke negara lain menjadi semakin mudah.
Tapi, apakah sebetulnya definisi pekerja migran itu ?
Saya berusaha mencari definisi yang tepat dari berbagai situs dan menemukan penjelasan yang paling lengkap di situs Buruh Migran. Definisi pekerja migran adalah orang yang bermigrasi atau berpindah dari wilayah kelahiran atau lokasi tinggal yang bersifat tetap untuk keperluan bekerja, para pekerja akan menetap di tempat bekerja tersebut dalam kurun waktu tertentu.
Ada dua tipe pekerja migran, yaitu internal dan internasional. Pekerja migran internal adalah pekerja yang bermigrasi dalam kawasan satu negara, contohnya urbanisasi dan transmigrasi. Mamah tentu familiar dengan istilah urbanisasi dari desa ke kota untuk mencari kerja. Atau para transmigran yang pindah dari Pulau Jawa ke Sumatra atau Kalimantan. Sesuai definisinya, mereka adalah pekerja migran internal.
Sedangkan pekerja migran internasional akan bermigrasi ke luar negeri, untuk keperluan bekerja. Definisi yang sangat luas , walaupun saat ini pekerja migran lebih sering di artikan sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW). Pekerja migran dengan keterampilan khusus lebih memilih menyebut dirinya sebagai diaspora, perantau atau orang yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Padahal keduanya memiliki definisi yang sama, pekerja migran adalah diaspora.
Pekerja Migran Indonesia – Pra Kemerdekaan
Sejarah pekerja migran Indonesia terjadi jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia ketika pemerintah Hindia Belanda mengirim sejumlah besar kuli kontrak asal Jawa, Madura, Sunda dan Batak untuk dipekerjakan di perkebunan di Suriname, Amerika Selatan. Pertimbangan pemerintah Belanda sederhana saja, tingkat ekonomi penduduk Pulau Jawa terbilang rendah dan populasi penduduk padat. Sedangkan Suriname memerlukan pekerja akibat diberlakukannya politik perhapusan perbudakan di tahun 1863. Para budak asal Afrika dibebaskan dan boleh memilih lapangan kerja yang dikehendaki. Sebagai gantinya, pekerja migran Indonesia diberangkatkan ke Suriname.
Situs BP2MI, Badan Perlindungan Pekerja Migran, Indonesia menyebutkan bahwa gelombang pertama TKI dari Jakarta (saat itu Batavia) diberangkatkan pada tahun 1890. Terdiri dari 94 orang, 61 pria dewasa, 31 wanita dan 2 anak-anak. Kegiatan pengiriman TKI ke Suriname berjalan sampai tahun 1939 mencapai total 32,986 orang yang diberangkatkan dengan 77 kapal laut.
Sebagian besar dari mereka menetap di sana, berkembang menjadi salah satu etnis terbesar di Suriname. Berdasarkan sensus penduduk di tahun 2004, ada 71,900 orang keturunan Jawa di Suriname, menjadikannya sebagai etnis terbesar ke-empat, atau 15 persen dari populasi negara terkecil di Amerika Selatan ini. Bukan jumlah yang sedikit, tidak heran kalau Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang paling banyak digunakan di Suriname.
Agustinus Wibowo, seorang penulis perjalanan membagikan cerita perjalanannya ke Suriname dalam buku terakhir-nya Jalan Panjang Untuk Pulang. Agustinus menceritakan bahwa Bahasa Jawa masih digunakan sebagai bahasa percakapan sehari – hari di komunitas Jawa Suriname. Juga mengenai Agama Kejawen yang menjadi agama resmi yang diakui, campuran agama Islam dan tradisi yang bahkan di tempat lahirnya sendiri tidak diakui. Berawal dari pekerja migran, orang Jawa saat ini menjadi bagian tak terpisahkan dari Suriname.
Pekerja Migran – Era Kemerdekaan
Ketika saya kecil, orang tua saya memiliki kenalan yang putri-nya bekerja di Saudi Arabia, sebagai TKW. Saat itu di tahun 1990-an, bekerja sebagai TKW masih merupakan hal yang luar biasa. Kenalan orang tua saya tergolong sebagai orang yang berkecukupan dengan rumah cukup mewah di masa itu, tentunya karena kiriman rutin dari luar negri. Di satu Lebaran, saya ingat saya mendapat oleh-oleh kerudung yang sangat cantik, kerudung dari Saudi. Putri kenalan keluarga kami ini cukup beruntung, mendapat majikan yang baik, bisa menabung dan setelah bekerja cukup lama bisa kembali ke Indonesia dan membuka warung kecil-kecilan. Walaupun sayangnya sang suami selingkuh dan membawa kabur putri satu-satunya, kisah klise para TKW.
Sejak lama, Malaysia dan Arab Saudi memang menjadi tujuan utama pekerja migran Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan hingga akhir 1960-an, penempatan TKI ke luar negeri belum melibatkan pemerintah, namun dilakukan secara orang perorang, kekerabatan, dan bersifat tradisional.
Untuk Arab Saudi, para pekerja Indonesia pada umumnya dibawa oleh mereka yang mengurusi orang naik haji/umroh atau oleh orang Indonesia yang sudah lama tinggal atau menetap di Arab Saudi.
Sedangkan pekerja migran Indonesia di Malaysia sebagian besar datang begitu saja ke wilayah Malaysia tanpa membawa surat dokumen apa pun, karena memang sejak dahulu telah terjadi lintas batas tradisional antara Indonesia dan Malaysia. Hingga saat ini cukup banyak orang Indonesia yang tinggal di Malaysia, kebanyakan dari mereka telah menjadi penduduk Malaysia, memegang IC merah, sebutan untuk warga Indonesia yang telah berpindah kewarga negaraan. Banyak kenalan saya, orang Malaysia, mengaku sebagai orang Jawa, mereka adalah generasi kedua atau ketiga yang lahir dari para pekerja migran di awal tahun 1950-an.
Saat ini, pekerja migran Indonesia ada dimana-mana. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas negara yang menjadi tujuan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) selama 2019-2020 berada di Asia : Hongkong, Taiwan, Malaysia, Singapura dan Arab Saudi.
TKI yang sering disebut sebagai pahlawan devisa umumnya adalah pekerja kasar yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pegawai pabrik atau pekerja konstruksi. Kendati demikian, menurut data Bank Indonesia (BI), TKI berhasil menyumbangkan devisa sebesar 1,43 miliar dollar AS pada 2019.
Tidak ada laporan khusus untuk pekerja migran Indonesia dengan keterampilan khusus seperti pekerja di sektor oil and gas, pilot, ataupun peneliti dan pekerja universitas, tapi saya yakini jumlahnya juga cukup banyak.
Isu Pekerja Migran Indonesia
Wahyu Susilo, pendiri Migrant CARE, membagikan opininya mengenai isu utama yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia, terutama pekerja tanpa keterampilan khusus. Ada beberapa hal menarik yang bisa saya simpulkan dari tulisan beliau :
- Ancaman terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Wahyu memberikan contoh kasus Yuli Riswati, pekerja migran Indonesia di Hongkong yang dideportasi dengan alasan overstay, lalai memperpanjang ijin tinggal. Menurut pengakuan Yuli, kasus deportasinya bukan saja semata-mata karena masalah overstay tapi karena postingan dan tulisannya di media sosial yang dianggap berbahaya, karena mewartakan kondisi Hongkong di tengah demonstrasi menentang RUU ekstradisi. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia untuk mengeluarkan pendapat. Dalam lingkup lebih sederhana, banyak sekali kasus pekerja migran yang tidak boleh mengerjakan ibadah atau tidak diberi waktu beristirahat.
- Kepasifan dari pihak perwakilan RI di luar negeri dalam perkara merawat nilai-nilai ke Indonesiaan, toleransi dan penerimaan pada perbedaan dari para pekerja migran Indonesia yang ada di luar negeri. KBRI dan KJRI hanya berfungsi (dan memfungsikan diri) sebagai layanan stempel administrasi tetapi jarang memposisikan diri sebagai melting pot dan media interaksi sesama warga Indonesia. Pendapat yang saya setujui 50 % saja, dari pengamatan saya pribadi di KBRI Kuala Lumpur, pihak KBRI telah bekerja keras, tapi sangat banyak masalah yang dihadapi, bukan hal mudah mengurus 3 juta penduduk Indonesia yang ada di Malaysia.
Selain opini di atas, menurut saya adalah satu hal utama yang menjadi isu pekerja migran Indonesia : keterampilan dan kemampuan berbahasa Inggris. Dari pengamatan saya melalu interaksi langsung dengan para pekerja migran dan membaca di surat kabar atau media online, dua hal ini adalah masalah utama yang menyebabkan pekerja migran Indonesia umumnya dibayar lebih rendah.
Kalau saja pemerintah bisa memberikan pelatihan yang baik sebelum mereka berangkat ke luar negeri, tentunya mereka akan memiliki bargaining position yang lebih tinggi. Sebagai gambaran, di tahun 2015, pemerintah Indonesia menetapkan gaji minimal pekerja rumah tangga di Malaysia adalah RM 900 per bulan, gaji yang sangat kecil kalau dibandingkan dengan gaji minimal ART Phillipina yang RM 2000 per bulan.
Isu lain adalah masalah pekerja migran ilegal. Mulai dari pekerja yang memasuki suatu negara secara ilegal ataupun overstay. Kasus overstay ini biasanya diawali dengan kunjungan sebagai turis dan kemudian tinggal untuk mencari kerja. Pekerja migran ilegal tentunya tidak mempunya hak dan secara legalitas tidak dilindungi oleh negara. Bukan sekali dua kali kan kita mendengar kasus deportasi pekerja migran Indonesia.
Penutup
Pekerja Migran Indonesia adalah pahlawan devisa, mereka membantu mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia. Sepertinya pepatah hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik di negeri sendiri sudah agak bergeser. Banyak pekerja migran wanita yang saya kenal memilih membanting tulang di luar negeri demi menyekolahkan anak dan menghidupi keluarga di kampung.
Pemerintah melalui Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia telah berusaha melayani dan melindungi Pekerja Migran Indonesia secara terpadu. Selaras dengan tema besar untuk memerangi sindikasi pengiriman pekerja migran non prosedural, dan menempatkan pekerja migran yang terampil dan profesional guna meningkatkan kesejahteraan mereka dan keluarganya.
PBB telah menyampaikan aspirasi dan sikap yang mengajak masyarakat dunia untuk melindungi dan membantu pekerja migran.
Langkah berikutnya tentu dari kita sendiri sebagai pekerja atau calon pekerja migran.
Hal paling sederhana dan penting untuk dilakukan adalah : hindari bujuk rayu calo tenaga kerja, hindari menjadi pekerja migran ilegal. Jangan jadikan kita dan keluarga kita sebagai bagian dari statistik pekerja migran ilegal asal Indonesia di luar negri.
Bekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan, bersama-sama kita ubah steorotype pekerja migran Indonesia, menjadi tenaga kerja yang terampil dan cekatan. Bukan hal mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.
Selamat Hari Migran Internasional 2021, selamat bekerja keras dan cerdas untuk masa depan pekerja migran Indonesia yang lebih baik.
Membaca tulisan ini, baru menyadari kalau kami adalah bagian dari keluarga pekerja migran hehehe. Satu masalah dari dulu sebagai yg tinggal di luar adalah masalah perpanjangan KTP yang hanya bisa dilakukan di dalam negeri. Kalau harus nunggu pulang, liburan kepotong urusan birokrasi deh jadinya hehehe…
Maap jadi curcol. Untungnya Kedutaan Indonesia di Thailand sih udah bagus layanannya tapi regulasi yang tidak memungkinkan bikin KTP dari luar negeri.
Semoga ya regulasi nya diperhatikan juga untuk kita yg tinggal di negeri orang ini.
Kami pun bagian dari keluarga pekerja migran Risna hehe.
Betul urusan regulasi ini sebaiknya juga diperbaiki. Aku sempat ada masalah KTP juga, tapi akhirnya bisa bikin di Bandung beberapa tahun yang lalu, KTP seumur hidup. Ngga pakai lama karena ada yang “nolongin” eh.
Nanti kalau pas pulang buat KTP seumur hidup aja Risna, paling enak kalau dokumen-nya udah siap, datang tinggal foto.
KBRI Kuala Lumpur menurutku oke sih, tapi memang mereka sangat kewalahan, orang Indonesia di sini banyak banget. Tiap hari (sebelum covid), antrian perpanjang paspor itu bisa ribuan lho. Ngga sebanding jumlah petugas dengan WNI disini.
Smartly written! Cerdas banget artikelnya, May. Bagian strereotiping ini PR yang sangat besar, aku pun termasuk yang melakukan itu (ouch). Di Belanda, yang banyak bukan buruh migran tapi buruh cinta kekekeke… dan bahkan para buruh cinta ini pun merasakan ada kesenjangan perlakuan dari pihak kedutaan kita sendiri di sini. Susah kan kalau udah merantau, trus sama orang dari negara sendiri pun tidak dirangkul dengan hangat.
Pe er besar memang membuat buruh migran indonesia itu bisa punya keahlian supaya gak disewa di luar negeri semata2 karena lebih murah dari buruh migran lainnya. Dan Peer juga untuk buruh migran yang lebih intelektual buat merangkul buruh migran lainnya, karena kita juga sama-sama manusia sebenarnya…
Thanks May for writing this!
yup, PR kita bersama memang, pemerintah, dan pelaku/pekerja migran. Dulu aku sempat ikut ngajar tapi terus berhenti karena sibuk(malas), mudah-mudahan tahun depan bisa ngajar lagi
Sedih denger cerita dari Mba2 yang kukenal disini, they deserve better life tapi harus usaha juga kan. Entah kenapa Mba Mba di MY agak kurang semangat upgrade ilmu ga kaya di Hongkong gitu kan, mungkin karena sarananya juga kurang
Dea, penasaran juga tentang buruh cinta haha, siapa tahu nanti Dea bisa nulis tentang ini, pasti menarik
[…] pertama, anak yang tinggal di pedalaman Afrika, murid yang tinggal di sekolah berasrama di Inggris, keluarga yang bermigrasi ke negara lain, remaja Amerika yang punya mimpi menyelamatkan dunia, dan lain – […]
[…] ini tidak diterima baik oleh para pekerja, terutama dari kalangan pribumi. Karena sejak awal merasa kesejahteraan mereka sangat kurang dibandingkan dengan risiko yang ditempuh untuk bekerja di atas kapal perang. Upah yang sedikit dan […]